Wednesday, 6 November 2019

Zaid Bin Tsabit, Sang Penulis Wahyu

Oleh: Fida Afifah*
http://www.smc.ae


Siapa yang tak kenal dengan sosok cerdas yang begitu masyhur dan cukup berjasa dalam perkembangan kejayaan Islam. Dari tangan beliaulah, abjad demi abjad Al-Quran menjadi infinit di atas lembaran mushaf. Jasa besar telah dirasakan oleh seluruh umat Islam yang telah Allah titipkan melalui salah seorang sahabat Rasulullas Saw. ini melalui amanah yang diembankan kepadanya. Satu-satunya sahabat yang dipilih untuk menuliskan wahyu Allah dan surat-surat Rasulullah Saw. Ini yaitu sebuah amanah yang begitu besar lantaran akan memperlihatkan efek yang besar pula terhadap generasi Islam mendatang.

Beliau yaitu Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahak bin Zaid Ludzan bin Amru. Seorang Anshar yang merupakan keturunan Bani Khazraj dan keluarganya berasal dari kabilah Bani An-Najjar. Dilahirkan pada tahun ke-10 sebelum hijrah atau 10 tahun lebih muda dari Ali bin Abi Thalib. Ketika berumur 11 tahun, dia telah menghafal beberapa surah dari Al-Quran. Beliau sudah menjadi yatim semenjak umur 6 tahun. Keluarganya termasuk salah satu kelompok awal yang mendapatkan Islam.

Di bawah bimbingan orang tua, Zaid dianugerahkan daya ingatan yang begitu kuat dan kecerdasan yang lebih. Sehingga dia menjadi salah satu tokoh yang terkemuka di kalangan para sahabat. Zaid juga turut ikut serta dalam mengikuti Perang Khandaq bersama Rasulullah Saw. dan juga perang-perang lainnya.

Pada dikala Rasulullah Saw. berhijrah ke Madinah, Zaid masih berumur 11 tahun. Pada dikala itu juga, Zaid dan keluarganya eksklusif mendapatkan Islam. Ketika dua tahun setelah hijrahnya Rsulullah Saw., terjadilah Perang Badar. Dengan umur 13 tahun yang masih begitu sangat muda, Zaid kecil meminta izin kepada Rasulullah Saw. biar diizinkan untuk dikutsertakan dalam mengikuti Perang Badar.

“Saya bersedia syahid untuk Anda wahai Rasulullah. Izinkanlah saya pergi berjihad bersama Anda untuk memerangi musuh-musuh Allah, dibawah panji-panji Anda,” ucapnya tegas.

Dengan penuh haru dan takjub, Rasulullah Saw. menepuk-nepuk pundak Zaid. Tapi sayangnya, Rasulullah Saw. belum mengizinkan Zaid untuk ikut berperang lantaran umur yang masih sangat muda. Ia pun pulang dengan wajah murung lantaran tak dizinkan berperang. Semangat jihad Zaid tak membuatnya patah semangat. Ia tetap berharap suatu dikala nanti biar sanggup mengikuti perang-perang lainnya bila umurnya sudah mencukupi. 

Walaupun berperang telah menghalanginya untuk berjihad, lantaran usia yang masih begitu sangat muda, kecintaannya kepada Islam tidak larut. Bahkan dengan semangat yang lebih tinggi, sang ibu pun, Nuwar binti Malik, menghadapkan Zaid kepada Rasulullah Saw. dan memberikan kelebihan serta kemampuan membaca dan menulis yang dimiliki Zaid. Ketika Rasulullah Saw. mengujinya, terbuktilah talenta Zaid tersebut.


Dengan kekuatan daya ingat yang dimilikinya, Rasulullah Saw. meminta Zaid untuk mempelajari bahasa Ibrani dengan tujuan biar tidak gampang ditipu oleh orang-orang Yahudi dan juga bahasa Suryani. Seketika dengan waktu yang begitu singkat, Zaid pun bisa menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik dan lancar.

Zaid pun menjadi orang kepercayaan Rasulullah Saw. Beliau diangkat menjadi sekretaris Rasulullah Saw. untuk menuliskan wahyu yang turun dan surat-surat Rasulullah Saw. serta menjadikannya salah seorang tokoh sahabat yang terkemuka diantara para sahabat yang lainnya.

Peran Zaid dalam Islam tidak hanya terbatas menjadi penulis kalamullah. Bahkan disaat Rasulullah Saw. telah wafat, ia pun menjadi sumber aneka macam solusi dan problem ditengah kaum muslimin dalam menuntaskan suatu perkara.

Salah satunya terbukti disaat pemilihan khalifah yang pertama. Saat Muhajirin dan Anshar saling memperebutkan kedudukan pihak kekhalifahan, Zaid pun muncul dan berkata kepada kaum Anshar, “ Wahai kaum Anshar, bahwasanya Rasulullah Saw. yaitu adalah orang Muhajirin, lantaran itu, sepantasnyalah penggantinya dari orang Muhajirin pula. Kita yaitu pembantu-pembantu (penolong) Rasulullah Saw. maka sepantasnya pula kita menjadi pembantu-pembantu (penolong) bagi khalifahnya setelah dia wafat, dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”

Zaid telah menjadi seorang ulama yang mempunyai kedudukan sama dengan ulama dari kalangan sahabat lainnya. Beliau telah meriwayatkan 92 hadist. Lima daripadanya telah disepakati bersama oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sementara Imam Muslim meriwayatkan satu hadist lainnya dari Zaid bin Tsabit.

Dengan pengetahuan Al-Quran yang sangat dalam, Zaid pun diakui sebagai ulama Madinah yg mempunyai keahlian di bidang fiqih, fatwa, dan faraidh. Dalam ilmu waris (faraidh), Zaid yaitu orang pertama yang paling mahir dalam menguasai ilmu tersebut sebagaimana pernyataan Rasulullah Saw.

Selain itu, Zaid pun pernah menjadi salah seorang pejabat dalam pemerintahan Islam. Pada dikala pemerintahan Khalifah Abu bakar dan Umar, Zaid pun diangkat mmenjadi salah seorang pejabat, yaitu diamanahkan untuk menjadi bendahara. Ketika masa pemerintahan Ustman bin Affan, Zaid diangkat menjadi pengurus Baitul Mal. Zaid pun pernah menjadi khalifah sementara disaat Umar dan Ustman menunaikan ibadah haji.

Pada dikala terjadi peperangan Yamamah, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, jumlah pasukan umat Islam yang gugur begitu banyak, khususnya para penghafal Al-Quran. Hal ini menciptakan para umat Islam khawatir dngan penjagaan ayat-ayat Al-Quran. Oleh alasannya yaitu itu, terjadilah pengumpulan Al-Quran melalui saran Umar bin Khattab kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Awalnya Abu Bakar merasa keberatan lantaran melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. setelah dibujuk beberapa kali, hasilnya terbukalah hati Abu Bakar untuk menyetujuinya.

Abu Bakar dan Umar kemudian mengamanahi Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan seluruh ayat-ayat Al-Quran. Hal itu juga memberatkan Zaid sampai dia berkata, “Demi Allah, ini yaitu pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada kiprah menghimpun Al-Quran yang Engkau perintahkan tersebut.” Tapi setelah Abu Bakar dan Umar sanggup meyakinkan Zaid bahwa ini yaitu cara untuk melangsungkan kehidupan umat Islam, hasilnya terbukalah hati Zaid untuk menyusun Al-Quran.

Maka dengan pemberian para sahabatnya yang lain, Zaid pun melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti dan hati-hati. Walaupun Zaid telah menghafal seluruh isi Al-Quran, dia tidak hanya memanfaatkan bekal itu. Justru dia terus mencari-cari dan bertanya-tanya kepada para penghafal Al-Quran lainnya dalam membenarkan lafazd-lafazd serta tulisan-tulisan dari ayat-ayat Al-Quran.

Akhirnya, setelah selesai mengumpulkan goresan pena ayat-ayat A-Quran yang ditulis diatas kulit, pelepah kurma, tulang belulang, Zaid menyalinnya ke dalam satu mushaf dengan urutan surah dan ayat sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw.


Zaid bin Tsabit wafat pada tahun 45 H dalam usia 56 tahun (dalam riwayat lain 51 H/52 H). Putranya yang berjulukan Kharijah bin Zaid yang telah menjadi seorang tabi’in besar yang sangat kuat pada masanya, juga menjadi spesialis fiqih tujuh yang populer di Madinah.

Kepergian Zaid menciptakan umat Islam begitu berduka, terlebih-lebih lantaran ilmu yang dimilikinya. Bahkan Abu Hurairah berkata bahwa kepergiannya bagaikan kepergian samudera ilmu.

“Hari ini orang yang paling alim diantara Umat Islam telah wafat, semoga Allah memperlihatkan ganti dari keluarga Ibnu Abbas.”[]

*Penulis yaitu mahasiswi tingkat 1 Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar.
banner
Previous Post
Next Post