Sunday 22 December 2019

Fikih I’Tikaf (10)

Ibnu Mundzir dan yang lainnya menyampaikan Fikih I’tikaf (10)


Syarat perempuan boleh beri’tikaf

Wanita boleh beri’tikaf jikalau memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Diizinkan oleh suami
Al-Hafidz Ibnu hajar rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Fathul Bari,
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ :فِي الْحَدِيث أَنَّ  الْمَرْأَة لا تَعْتَكِف حَتَّى تَسْتَأْذِن زَوْجهَا وَأَنَّهَا إِذَا اِعْتَكَفَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهَا , وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَلَهُ أَنَّ يَرْجِعَ وَعَنْ أَهْل الرَّأْي إِذَا أَذِنَ لَهَا الزَّوْجُ ثُمَّ مَنَعَهَا أَثِمَ بِذَلِكَ وَامْتَنَعَتْ , وَعَنْ مَالِك لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ , وَهَذَا الْحَدِيث حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ
“Ibnu Mundzir dan yang lainnya mengatakan,Dalam hadits ini menyampaikan bahwa seorang perempuan tidak boleh beri’tikaf sebelum minta izin kepada suaminya. Dan kalau perempuan itu beri’tikaf tanpa seizinnya, maka dia (suaminya) berhak untuk mengeluarkannya. Kalau telah diberi izin, (suaminya pun) diperkenankan mencabut izinnya dan melarangnya.
Menurut Ahli Ra’yi, kalau sang suami telah memberi izin, lalu melarangnya, maka dia berdosa dan boleh bagi istrinya untuk menolaknya. Adapun diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa ia memandang sang suami tidak berhak melaksanakan hal itu (yaitu melarang istrinya sesudah ia memberi izin kepada istrinya). Namun hadits ini yakni dalil yang membantah mereka.” (Sumber: Library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3720&idto=3721&bk_no=52&ID=1279)
2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki)
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini,
فالمرأة تعتكف ما لم يكن في اعتكافها فتنة، فإن كان في اعتكافها فتنة فإنها لا تمكن من هذا؛ لأن المستحب إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، كالمباح إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، فلو فرضنا أنها إذا اعتكفت في المسجد صار هناك فتنة كما يوجد في المسجد الحرام، فالمسجد الحرام ليس فيه مكان خاص للنساء، وإذا اعتكفت المرأة فلا بد أن تنام إما ليلاً وإما نهاراً، ونومها بين الرجال ذاهبين وراجعين فيه فتنة.
“Seorang perempuan diperbolehkan beri’tikaf selama tidak menimbulkan fitnah. Jika i’tikafnya menimbulkan fitnah, maka ia tidak boleh beri’tikaf, sebab sesuatu yang hukumnya sunnah, (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib dilarang, sebagaimana sesuatu yang mubah  (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib tidak boleh pula, (ini) seandainya kita katakan bahwa jikalau seorang perempuan beri’tikaf  menimbulkan fitnah.
(Hal ini) menyerupai yang terjadi di masjidil Haram. Di dalam masjidil Haram tidak terdapat kawasan khusus bagi wanita, sehingga jikalau ia beri’tikaf, haruslah ia tidur (di masjidil Haram), baik di waktu malam atau siang. Sementara tidurnya di tengah-tengah hilir mudiknya pria di dalam masjidil Haram, hal ini sanggup menimbulkan fitnah.” (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 510 (PDF)).

Apakah orang yang tidak diwajibkan padanya shalat jama’ah -selain wanita- itu aturan bagi mereka sama menyerupai aturan bagi wanita?

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,
نعم، فلو اعتكف إنسان معذور بمرض، أو بغيره مما يبيح له ترك الجماعة في مسجد لا تقام فيه الجماعة، فلا بأس.
“Ya (hukumnya sama dengan aturan bagi wanita, pent.), oleh sebab itu, seandainya orang (laki-laki mukallaf) yang sakit atau selainnya dari orang yang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah itu beri’tikaf di masjid yang tidak dipakai untuk shalat berjama’ah, maka hal itu tidaklah mengapa (baca : sah)”. (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 511 (PDF)).
Faedah Ilmiyyah
Konsekuensi mushalla yang terdapat di rumah, tidak sanggup disebut sebagai masjid -baik secara aturan maupun secara hakekatnya-, diantaranya yakni :
  1. Mushalla tersebut statusnya bukanlah masjid yang diwakafkan.
  2. Jika ada orang ajaib masuk ke mushalla tersebut, tanpa izin tuan rumah dengan alasan ingin menunaikan shalat, maka pemilik rumah berhak mencegahnya.
  3. Jual beli yang dilakukan di dalam mushalla tersebut sah.
  4. Tidak disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid di dalamnya.
  5. Boleh bagi perempuan haidh untuk berdiam di dalamnya.
(Asy-Syarhul Mumti‘, hal. 511 (PDF)).
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post