Fikih I’Tikaf (14)

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.

Penjelasan:

Maksud perkataan penulis rahimahullah,

وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ

“Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus)”  adalah disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang khusus, ibarat baca Alquran, dzikir, shalat di luar waktu larangan dan ibadah yang semisal itu. Hal ini lebih utama daripada menghadiri majelis Ta’lim, kecuali jikalau sesekali dan kemungkinan tidak sanggup didapatkan pada kesempatan yang akan datang, barangkali ketika itu sanggup dikatakan menuntut ilmu lebih utama daripada menyibukkan diri dengan melaksanakan ibadah-ibadah khusus yang disebutkan di atas. Maka silahkan hadiri majelis yang jarang didapatkan tersebut, sebab majelis tersebut tidak menyibukkan seorang mu’takif dari ibadah i’tikafnya.

Maksud perkataan penulis rahimahullah,

وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at”

Penjelasan:

Disunnahkan bagi mu’takif untuk menjauhi perkara yang tidak bermanfa’at, baik berupa ucapan, perbuatan maupun selainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang yaitu jikalau dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya).

Hadits di atas mengatakan bahwa termasuk keindahan Islam seseorang, keindahan adabnya, ketenangan dan istirahat hatinya yaitu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya, sebab jikalau seseorang suka mencari sesuatu yang tidak bemanfaat, maka akan sibuk hatinya dan berat pikirannya dan letih serta rugi dunia akherat.

Bolehkah keluarga mu’takif mengunjunginya dan berbicara beberapa ketika dengannya?

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan, sebab Shafiyyah radhiyallahu ‘anha pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid daerah dia i’tikaf dan berbicara beberapa ketika dengan dia sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Dan pembicaraan dia berdua termasuk perkara yang bermanfaat, sebab pembicaraan keluarga.

Pembicaraan antar anggota keluarga sanggup menjadi hal yang menggembirakan hati serta perkataan yang sanggup menjalin keakraban diantara keluarga. Dan ini termasuk perkara yang bermanfaat yang dimaksud dalam hadits mulia yang telah disebutkan di atas.

Disamping itu, pembicaraan tersebut juga termasuk perkataan baik yang terdapat dalam hadits berikut,

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih).

Karena yang dimaksud “berkata baik” disini ada dua macam, yaitu:

1. Isi kata-kata yang diucapkan yaitu kata-kata yang baik.
2. Tujuan atau akhir dari sebuah ucapan yaitu tujuan atau akhir yang baik (selama kata-katanya bukan kata-kata yang terlarang).

[Diringkas dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/529-530].

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat. Sampai disini, usai sudah matan terakhir dari penggalan I’tikaf yang diambil dari kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, karya: Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah.

***

[serialposts]

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Sumber : Muslim.or.id

• Tweet
• Share
• Share
• Share
• Share