Monday 23 December 2019

Fikih I’Tikaf (7)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (7)


Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullahdalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
وَيَصِحُّ بِلاَ صَوْمٍ
“I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa”

Penjelasan

Matan ini menyampaikan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan tanpa harus berpuasa. Inilah pendapat penulis rahimahullah dan ulama selainnya, namun gotong royong dalam dilema ini telah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama rahimahumullah.
Perbedaan pendapat ulama
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan matan Zadul Mustaqni’ ini mengatakan,
وهذه المسألة فيها خلاف بين العلماء: القول الأول: أنه لا يصح الاعتكاف إلا بصوم. واستدلوا بأن النبي صلّى الله عليه وسلّم لم يعتكف إلا بصوم إلا ما كان قضاءً. القول الثاني: أنه لا يشترط له الصوم
“Tentang dilema ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Pendapat yang pertama tidak sah i’tikaf  kecuali dengan berpuasa. Mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa ketika beri’tikaf, kecuali ketika mengqadha` i’tikaf.  Pendapat kedua bahwa tidak disyaratkan berpuasa untuk melaksanakan i’tikaf.” [1]
Pendapat yang kedua ini ialah pendapat ulama syafi’iyyah, pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah dan pendapat sekelompok ulama Salaf.  Demikian pula Ibnu Hazm, Ibnu Daqiqil ‘Iid, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin juga menentukan pendapat ini. Inilah pendapat yang benar [2].
Dalil wacana kesahan i’tikaf tanpa puasa
1. Dari Nash
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta anutan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كنت نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melaksanakan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab penuhi nadzarmu”(HR. Bukhari dan Muslim).
Sisi pendalilan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya beri’tikaf di malam hari, sedangkan malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Dengan demikian, puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf.
Dari logika
Adapun secara logika, maka Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
وبأنهما عبادتان منفصلتان، فلا يشترط للواحدة وجود الأخرى.
“I’tikaf dan puasa ialah dua ibadah yang bangkit sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lainnya, maka tidaklah dipersyaratkan bagi kesahan ibadah yang satu, adanya ibadah yang lainnya.”
Kesimpulan
I’tikaf yang dilakukan tanpa puasa sah adanya, sehingga puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf, alasannya ialah memang tidak ada dalil yang mewajibkan orang yang melaksanakan i’tikaf harus dalam keadaan berpuasa. Dengan demikian, seseorang yang sakit, sehingga tidak sanggup berpuasa pada bulan Ramadhan, namun ingin dan berpengaruh beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka sah i’tikafnya, walaupun tanpa berpuasa.
(Bersambung)
***
Catatan kaki
[1] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 506-507 (PDF).
[2] Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyahhttp://www.dorar.net/enc/feqhia/2001
[3] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 507 (PDF).
___
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post