Rukun Lā ilāha illallāh dan Kandungannya
Sebagaimana telah diketahui, bahwa makna lā ilāha illallāh adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah atau diibadahi kecuali Allah. Di dalam kandungan kalimat tauhid tersebut terdapat dua rukun, yaitu:
- An-Nafyu (Peniadaan/penolakan), rukun ini diambil dari petikan kalimat tauhid lā ilāha. rukun pembatalan di sini maksudnya adalah:
- Meniadakan seluruh sesembahan selain Allah.
- Menolak mempersembahkan ibadah kepada selain Allah.
- Rukun Iṡbāt (Penetapan), rukun ini diambil dari petikan kalimat tauhid illallāh. Rukun penetapan disini maksudnya:
- Menetapkan satu-satunya Sesembahan yang benar ialah Allah Ta‘ala.
- Menetapkan bahwa peribadatan hanya ditujukan kepada Allah saja.
Faedah:
- Ibadah, sebagaimana didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah raḥimahullāhadalah sebuah nama yang meliputi seluruh yang dicintai Allah dan diridai-Nya, berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.
- Tauhid itu meliputi ucapan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, demikian pula syirik dan kekufuran pun meliputi ucapan dan perbuatan lahir maupun batin.
- An-Nafyu saja bukan tauhid dan Al-Itsbat saja bukan tauhid, alasannya ialah tauhid adalah An-Nafyu dan Al-Iṡbāt. Sudah seharusnyalah dalam mendidik umat Islam ini dengan pendidikan An-Nafyu dan Al-Iṡbāt sekaligus, yaitu dengan penolakan,berlepas diri, benci alasannya ialah Allah, membenci kesyirikan dan kekafiran serta pelakunya, juga menyatakan kekafiran orang yang dikafirkan Allah dalam Quran dan As-Sunnah, tanpa berlebihan ataupun mengurangi dari batasan yang telah disebutkan dalam Quran dan As-Sunnah. Demikian pula mendidik masyarakat dengan Al-Iṡbāt, Al-Walā`, cinta Allah, cinta alasannya ialah Allah dan cinta kepada tauhid dan Ahli Tauhid.
Konsekuensi Kalimat Tauhid
Seseorang yang bersaksi dengan kalimat tauhid lā ilāha illallāh ini punya konsekuensi sebagai berikut.
- Mencintai Allah di atas segala sesuatu.
- Mencintai tauhid.
- Mencintai dan menolong hebat tauhid.
- Membenci syirik.
- Membenci musuh Allah, orang musyrik dan orang kafir.
Tentunya bentuk cinta dan benci disini, sesuai dengan hukum syari’at Islam yang agung tanpa bersikap melampaui batas syari’at atau menguranginya, sebagaimana dalam syahadat yang kedua. Di dalamnya terdapat penjagaan dari dua perilaku yang tercela tersebut, yaitu dari perilaku melampaui batasan syari’at atau menguranginya, alasannya ialah dalam syahadat yang kedua seorang bersaksi, bahwa Muhammad ialah utusan Allah. Syahadat tersebut mengandung keyakinan bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah ialah hanya sebatas hamba Allah, tidak boleh dilebihkan dari batasan syar’i hingga melampaui batasan hamba, sehingga menjadi sesembahan. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, syahadat yang kedua mengandung keyakinan bahwa Nabi Muhammad bin Abdullah ialah sosok utusan Allah -bahkan utusan Allah yang paling mulia-, sehingga tidak boleh dikurangi derajatnya dari batasan syar’i ini.
[Bersambung]
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id