Tuesday, 31 December 2019

Menafsirkan Kembali Paham Relativisme Tafsir

google image
Oleh: Hasan Basri Usman, MA

“No method of Quranic exegesis fully objectives. Each exegete makes some subjective choice” (Tak ada metode penafsiran al-Quran yang sepenuhnya obyektif. Setiap tafsir selalu menciptakan pilihan-pilihan yang subyektif).

Paragraph diatas merupakan cuplikan wacana yang digulirkan oleh kaum liberal untuk menyerang tafsir al-Quran, baik di lakukan oleh orientalis maupun orang-orang Islam sendiri yang pemikirannya telah terpengaruh oleh pemikiran barat. Hal ini dilakukan dengan maksud menjauhkan umat Islam dari pemahaman terhadap al-Quran yang benar. Sehingga dengan demikian umat Islam akan hilang kepekaannya terhadap segala media interpretasi al-Quran yang menjadi penopang dan penjelas terhadap al-Quran.

Paham relativisme yaitu suatu paham yang menolak adanya kebenaran mutlak. Kebenaran yang ada semuanya ralatif, bisa jadi benar berdasarkan satu orang dan salah berdasarkan orang lain, atau bisa jadi benar berdasarkan satu kelompok dan salah berdasarkan kelompok yang lain. 

Manusia tidak bisa melahirkan sebuah kebenaran yang absolut. Karena insan berada pada tataran makhluk yang hanya mengetahui kebenaran adikara yang tiba (bersumber) dari Tuhan dan tanpa bisa melahirkannya. Kebenaran yang mutlak (absolut) hanyalah milik Tuhan semata. 

Berangkat dari pemahamn menyerupai ini, maka kelompok ini (kaum relativis) menganggap, bahwa segala interpretasi yang di lakukan terhadap teks (nash) tidak ada yang objektif, dan setiap interpretasi terhadap al-Quran selalu berada pada tataran subyektif. 

Oleh lantaran itu semua karya tafsir yang di hasilkan oleh ulama zaman dulu hingga kini bisa di interpretasi ulang lantaran tidak ada yang mutlak kebenaran interpretasinya. Selain itu mereka menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menafsirkan al-Quran sesuai dengan keinginannya.

Pemahaman menyerupai ini sengaja di populerkan biar kaum muslimin keluar dari pemahaman Islam yang benar, bahkan mereka menuduh bahwa orang yang masih berpegang pada metode tafsir klasik yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu yaitu sebagai golongan yang anti terhadap kemajuan dan anti terhadap pembaharuan. 

Akibatnya mereka juga menghina dan mencela ulama-ulama dahulu yang telah meletakkan pondasi metodelogi yang berpengaruh menyerupai Imam at-Tabari, Imam ibnu kastir, Imam al-Syafi’i (yang dikenal sebagai orang yang meletakkan kaidah undangan fiqh dan juga di kenal sebagai mufassir) serta lainnya yang telah berjasa meletakkan kaidah-kaidah undangan fiqh dan kaidah ilmu tafsir yang telah di pakai berabad-abad.

Pemahaman menyerupai ini akan meruntuhkan pondasi-pondasi kepercayaan yang telah mapan bahkan akan merobohkan Islam itu sendiri. Karena semua orang akan menganggap bahwa Islam bukanlah agama yang paling benar, lantaran paham ini menyakini sebetulnya semua agama benar. 

Semua tafsir al-Quran bukanlah tafsir yang mutlak kebenarannya lantaran ia ditafsirkan oleh insan yang berada pada tataran makhluk yang relativ dan insan tidak bisa mengetahui maksud Tuhan yang sebenarnya. Artinya, kalau semua insan memiliki pemahaman menyerupai ini maka tidak ada lagi orang yang bisa dipegang pembicaraanya, tidak ada lagi nilai-nilai nasehat yang diucapkan oleh para ulama, tidak akan berfungsi lagi para dokter yang mendiagnosa orang sakit. Karena orang sakit dilarang menyakini hasil diagnosa para dokter tersebut. 

Kerancuan Paham Relatifisme Terhadap Tafsir Al-Quran

Hasan Basri, MA
Dalam menafsirkan al-Quran, para mufassir dituntut menguasai beberapa macam ilmu biar sanggup menafsirkan al-Quran sesuai dengan kaidah Islam. Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah yang mapan untuk menafsirkan al-Quran, menyerupai imam al-Sayuti, Ia menulis dalam bukunya “al-Itqan” satu pecahan khusus yang memuat syarat-syarat seseorang boleh menafsirkan al-Quran. 

Hal ini di lakukan biar kita tidak sewenang-wenang menafsirkan al-Quran. Selain itu metodologi yang dipakai pun harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. lantaran Rasulullah yaitu orang yang paling mengetahui wacana al-Quran, begitu juga harus sesuai dengan kaidah para sahabat. 

Karena mereka yaitu orang-orang yang menyaksikan secara pribadi turunnya al-Quran, mereka mengetahui dimana, kapan dan kenapa di turunkan al-Quran. Begitu juga harus sesuai dengan kaedah-kaedah penafsiran yang telah di lakukan oleh para tabi’in dan tabi’ tabi’in lantaran mereka telah mendengar pribadi dari para sahabat. 

Berbeda halnya dengan penafsiran para ulama klasik (pertafsiran yang sesuai dengan kaidah), para pengusung paham relativisme kini telah mewacanakan paham interpretasi al-Quran yang sama sekali bertolak belakang dengan maksud al-Quran itu sendiri. 

Bagi pengusung paham ini yang paling penting dalam menafsirkan al-Quran yaitu melihat konteks sosial budaya-nya dan bukan pada nash (teks). Artinya nash bisa di pahami apabila konteksnya bisa di pahami dengan baik dan benar. 

Paham menyerupai ini akan membolak-balikkan pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Contonya, dalam al-Quran Allah telah mengharamkan khamar, zina, berjudi. Dan Allah mewajibkan syahadat, shalat lima waktu, menutup aurat, melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta lain sebagainya. 

Semua dalil-dalil yang berbicara wacana hal tersebut merupakan dalil-dalil qat’i stubut. Apabila aturan tersebut di pahami sebagaimana yang mereka inginkan, maka yang terjadi yaitu semua aturan yang sudah qat’i harus di tinjau kembali lantaran semua itu belum final, lantaran konteks sosial budaya ketika al-Quran diturunkan 14 kala silam tidaklah sesuai dengan konteks sosial budaya zaman sekarang, maka ayat-ayat yang berbicara wacana aturan syariat meskipun qat’i haruslah ditafsirkan ulang biar sesuai dengan konteks zaman sekarang. 

Sungguh menempatkan kontektual (realitas sosial dan budaya) sebagai faktor penting dalam menafsirkan nash sangatlah tidak sejalan dengan metode penafsiran al-Quran yang benar. Karena konteks sosial budaya merupakan sesuatu yang selalu berubah setiap saat. Oleh lantaran itu yang terpenting untuk didahulukan yaitu realitas sosial dan budaya yang harus di sesuaikan dengan al-Quran, lantaran kebenaran al-Quran itu tetap dan tidak pernah berubah-ubah. 

Selain itu al-Quran turun bukan untuk mengikuti kebudayaan yang ada ketika itu, akan tetapi al-Quran diturunkan untuk merubah budaya jahiliyah ketika itu menjadi budaya yang berperadaban. Al-Quran turun mengharamkan khamar yang menjadi kebiasaan orang arab jahliyah, mengharamkan berjudi, mengharamkan zina. Al-Quran juga turun mensyariatkan perempuan untuk menutup aurat.

Haramnya minum khamar, zina dan judi tidaklah di peruntukkan untuk orang arab saja meskipun ayat al-Quran turun di Arab. Begitu juga aturan wajib menutup aurat (memakai jilbab) juga tidak di khususkan untuk wanita-wanita Arab saja, dengan alasan menggunakan jilbab yaitu budaya mereka dan konteks sosial pada masa itu menuntut mereka untuk menutup aurat. 

Tentu tidak bisa kita mengambil kesimpuan demikian, lantaran larangan minum khamar, berzina, berjudi dan perintah menutup aurat tidaklah terikat dengan konteks sosial dan budaya pada ketika itu. Perintah dan larangan tersebut diperuntukkan untuk semua generasi tanpa memandang sosial budaya sebuah generasi. 

Selain itu mereka juga beranggapan bahwa semua produk tafsir yaitu relatif, tidak mutlak kebenarannya. Karena tafsir merupakan produk logika insan yang sifatnya terbatas dan bisa saja keliru. Dengan demikian, berdasarkan paham ini tidak ada sebuah penafsiran-pun yang sifatnya qath’i, dan tidak ada kebenaran yang tetap, semuanya bersifat relatif dan semuanya zhanni.

Argumentasi menyerupai ini sangatlah tidak beralasan, lantaran jikalau pengusung paham ini menyatakan bahwa semua produk tafsir yaitu relative, lantaran di hasilkan oleh logika insan yang terbatas, maka pernyataan mereka juga bersifat relative. Karena paham relativisme ini juga hasil produk pemikiran manusia. Ini yaitu salah satu alasan kenapa argumentasi mereka dianggap tidak beralasan. 

Adapun alasan lain yaitu logika insan terang bisa menjangkau hal yang mutlak, tentu saja dalam batasan logika manusia. Artinya logika insan bisa meyakini kebenaran yang satu. Tidak bisa dibenarkan kalau logika insan selalu berbeda dalam semua hal. Buktinya para ulama tafsir dari dulu hingga kini tidak pernah berbeda dalam menfasirkan ayat-ayat wacana haramnya aturan berzina, minum khamar, dan berjudi. 

Begitu juga dalam menafsirkan ayat-ayat yang mewajibkan perempuan menutup aurat, para mufassir tidak pernah berbeda antara satu dengan yang lain ketika menafsirkan ayat tersebut. Selain itu, ulama tafsir juga tidak pernah berbeda dalam menafsirkan ayat pertama dalam surat al-Ikhlas, bahwa Allah itu Esa. 

Para mufassir tidak pernah berbeda dalam menafsirkan ayat 72 dalam surat al-Maidah sehingga menyampaikan bahwa Tuhan itu yaitu al-Masih. Dan para mufassir pun setuju bahwa nabi Muhammad yaitu akseptor wahyu yang pasif dan Dia tidak pernah bertindak kecuali dengan perintah Allah. “Dan tiadalah yang di ucapkan itu (al-Quran) berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Ucapa itu tiada lain wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Kaprikornus penggunaan paham relativisme dalam memahami ayat-ayat al-Quran yaitu mutlak sebuah kesalahan dan harus diluruskan.

Konsekwensi Paham Mutlaknya Kenisbian Tafsir al-Quran

Klaim bahwa semua produk tafsir yang dihasilkan ulama semuanya nisbi (relatif) merupakan klaim yang tidak beralasan. Klaim menyerupai ini akan melahirkan dampak negatif yang sangat besar terhadap keberadaan al-Quran sebagai wahyu yang turun dari Allah lafdhan wa ma’nan. Dan juga akan berdampak terhadap kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang rasul yang mendapatkan wahyu dari Allah untuk dijelaskan kepada ummat-Nya, bahkan akan berdampak negatif terhadap Islam itu sendiri. 

Diantara dampak negatif terhadap al-Quran adalah: Pertama, paham menyerupai ini akan menyeret kita pada pengertian bahwa tidak ada penafsiran yang tetap dan niscaya di semua ayat-ayat al-Quran. Bahkan semua tafsir telah dianulir oleh kepentingan si penafsir. Kedua, kebenaran yang ada dalam al-Quran hanya milik Tuhan saja. 

Manusia tidak pernah bisa mengetahui kebenaran yang niscaya dari isi al-Quran tersebut, lantaran insan tidak pernah bisa mengetahui maksud Tuhan secara niscaya yang terkandung dalam al-Quran. Ketiga, semua umat insan bisa menafsirkan al-Quran berdasarkan kemauannya sendiri, lantaran setiap individu tidak bisa menyakini kebenaran yang di sampaikan oleh orang lain yang sifatnya nisbi (relatif).

Diantara dampak negatif terhadap kedudukan nabi Muhammad Saw. sebagai rasul adalah: Pertama, paham ini beranggapan bahwa nabi Muhammad Saw. bukanlah sebagai seorang rasul yang diutus untuk menjelaskan kepada umatnya maksud dari wahyu yang diturunkan kepada-Nya, lantaran Dia sejajar dengan insan lain yang tidak mutlak kebenaran yang di sampaikannya. 

Kedua, dalam menjelaskan wahyu yang turun kepada umat-Nya, Dia dipengaruhi oleh kepentingan pribadi dan juga psiko-sosial pada ketika itu, dan bukan semata-mata kebenaran yang datangnya dari Allah Swt.

Adapun dampak negatif terhadap Islam itu sendiri adalah: Pertama, paham ini akan menghilangkan keyakinan akan kebenaran dalam Islam yang sudah final. Kedua, paham ini akan menempatkan agama Islam sebagai agama yang hukumnya selalu berubah-ubah dan sebagai agama sejarah yang harus mengikuti zaman. 

Dengan demikian, memutlakkan kenisbian tafsir al-Quran bisa sangat berbahaya, lantaran berpotensi besar merobohkan ajaran-ajaran Islam yang sudah kokoh dan final. Bahkan itu sama artinya kita membubarkan Islam secara keseluruhan. 

Oleh lantaran itu, kita sebagai perguruan Muslim seyogyanya sadar dan paham akan besarnya paham menyerupai ini, dan jangan hingga lahir dari diri kita perilaku tidak peduli terhadap wacana kontemporer yang ingin menghancurkan Islam yang dibalut dengan bahasa-bahasa yang ilmiah, atau bahkan sekedar ikut-ikutan dengan tradisi kaum liberal yang diadopsi dari Barat. Wallahua’lam bissawaab. 

*Tulisan ini sudah di muat pada Jurnal Seumike Dept. Pendidikan KMA, Edisi Perdana, 2010.
banner
Previous Post
Next Post