Tipe Pejabat pilihan Umar, bukan dilihat dari kekayaannya
Umar radhiyallahu ‘anhu adalah sosok yang mempunyai pandangan yang benar terhadap harta. Harta bukanlah menjadi patokan seseorang itu baik atau tidak, bertakwa atau tidak dan layak menjadi pemimpin atau tidak.
Oleh lantaran itu, sebagai kepala negara, dalam menentukan para pejabat yang menjadi bawahannya dia tidak menetapkan kekayaan sebagai kriteria dasar bagi kelayakan seseorang sebagai pemimpin kaum muslimin. Walaupun seseorang itu berasal dari kalangan budak, dia akan memilihnya menjadi pemimpin jikalau syarat-syarat kepemimpinan terpenuhi.
Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab radiyallahu ‘anhu di kawasan ‘Usfan. Saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’.
Umar bertanya,
من استعملت على أهل الوادي؟
“Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin kawasan lembah?”
Nafi’ menjawab,
ابن أبزى
“Ibnu Abza”
Umar bertanya,
ومَنْ ابن أبزى؟
“Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab,
مولى من موالينا
“Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan”
Umar bertanya kembali,
فاستخلفت عليهم مولى؟
“Engkau telah menawarkan kepercayaan tersebut kepada seorang bekas budak?“
Nafi’ mengatakan,
إنه قارئ لكتاب الله عـز وجل ، وإنه عالـم بالفرائض
“Sesungguhnya dia yakni seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham, dan mengamalkannya) dan pakar ilmu Syari’at Islam”
Umar berkata,
أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قال : إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما، ويضع به آخرين.
“Sungguh Nabi kalian shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian insan dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain lantaran alasannya yakni perilaku yang salah terhadap Al-Qur`an” (Shahih Muslim: 817) .
Jelaslah dari dongeng di atas bahwa pemimpin yang faham agama Islam dan semangat mengamalkannyalah yang dipilih dan disetujui menjadi pejabat pada masa beliau. Di samping itu, tentu dia memperhatikan kriteria-kriteria lain yang sesuai dengan kiprah yang diembannya.
Pembuktian terbalik
Umar radhiyallahu ‘anhu tidak hanya menerapkan kriteria-kriteria yang baik dalam menentukan seorang pejabat, namun dia juga tidak membiarkan pejabat pilihannya menyeleweng di tengah-tengah bertugas. Beliau menerapkan banyak sekali bentuk training dan pengawasan dalam banyak sekali hal, di antaranya yakni pengawasan dalam duduk masalah harta.
Salah satu bentuk pengawasan harta pejabat bawahannya yang dia terapkan yakni apa yang disebut pada zaman ini dengan istilah pembuktian terbalik, pembuktian yang berasal dari diri pejabat itu sendiri untuk menyatakan bahwa dirinya tidak menyelewengkan, mengambil, atau mengorupsi uang negara.
Suatu dikala Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu datang berkunjung menemui Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Umar telah mengangkat Abu Hurairah sebagai pejabat di Bahrain. Ia membawa kekayaan sebesar sepuluh ribu keping uang emas (sekitar 42,5 kg emas). Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
استأثرت بهذه الأموال يا عدو الله وعدو كتابه
“Engkau telah melebihkan dirimu dengan harta ini, wahai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya! “.
Berkatalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
لست بعدو الله ولا عدو كتابه، ولكني عدو من عاداهما
“Aku bukanlah musuh Allah dan bukan musuh Kitab-Nya, akan tetapi saya yakni musuh orang yang memusuhi Allah dan Kitab-Nya“.
Umar pun bertanya,
فمن أين هي لك
“Darimana uang ini engkau dapatkan?”
Abu Hurairah menjawab,
خيل لي تناتجت، وغلة رقيق لي، وأعطية تتابعت علي
“Kudaku berkembang biak, hasil perjuangan budakku naik, dan bagianku dari harta rampasan perang menumpuk“.
Umar radhiyallahu ‘anhu memberhentikan Abu Hurairah. Setelah itu para petugas Umar memeriksa asal dari uang tersebut, ternyata mereka dapatkan sesuai dengan ratifikasi Abu Hurairah, kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu pun meminta kembali Abu Hurairah untuk menjadi pejabat, namun Abu Hurairah menolaknya (Riwayat Hasan, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di Mushannaf dan Ibnu Sa’din dalam Ath-Thabaqat dan Abu Nu’aim di Hilyah Auliya`). [1]
Nampak dari dongeng di atas, Umar radhiyallahu ‘anhu meminta Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk pertanda darimana asal hartanya tersebut, sehabis itu para petugas Umar mengauditnya.
Amanah Umar radhiyallahu ‘anhu dalam menunaikan hak para pejabat yang menjadi bawahannya berupa harta
Bukan hanya kewajiban pejabat saja yang dia awasi, namun dia juga memperhatikan pemenuhan hak-hak para pejabat bawahannya, dia berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pejabatnya, biar mereka tidak termakan menggelapkan uang negara. Berikut ini salah satu buktinya.
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk salah satu petugas penarik zakat dan termasuk orang yang mendapat kepercayaan mengurus harta kaum muslimin.
Pada masa kekhalifahan beliau radhiyallahu ‘anhu, dia pernah menunjuk Abdullah bin As-Sa’di untuk mengurus harta shodaqoh, dan ketika Abdullah bin As-Sa’di telah menuntaskan tugasnya, Umar pun memberi upah kepadanya, namun Abdullah bin As-Sa’di berkata,
إنما عملت وأجري على الله
“Sesungguhnya saya bekerja sedangkan balasanku dari Allah”.
Lalu Umar menjawab,
خذ ما أعطيت، فإني عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فَعَمَّلني فقلت مثل قولك
“Ambillah pemberianku ini, lantaran dulu saya bekerja di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia pun memberi upah hasil kerjaku, kemudian saya pun menyampaikan ibarat ucapanmu (tadi).
فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا أعطيت شيئاً من غير أن تسأل فكل وتصدق
“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Jika engkau diberi sesuatu tanpa meminta maka makanlah dan bersedekahlah (dengannya)’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).
Perhatian Umar bukan hanya kepada harta pejabat, namun juga kepada rakyat
Beliau radhiyallahu ‘anhu memperhatikan para pejabat bawahannya, namun dia juga memperhatikan nasib masyarakat yang dia pimpin. Sebagai referensi yakni Umarradhiyallahu ‘anhu memiliki perhatian yang besar terhadap status kehalalan kuliner yang dikonsumsi masyarakatnya. Beliau tidak ingin kuliner yang haram mengotori hati masyarakatnya, sehingga berdampak munculnya banyak sekali macam kemaksiatan akhir tidak dihiraukannya konsumsi kuliner yang haram tersebut.
Umar radhiyallahu ‘anhu suatu dikala pernah menulis kepada para pasukannya yang berada di Azarbaijan surat sebagai berikut :
بلغني أنكم في أرض يخالط طعامها الميتة، ولباسها الميتة، فلا تأكلوا إلا ما كان ذكياً، ولا تلبسوا إلا ما كان ذكياً
“Telah hingga kepadaku bahwa kalian tinggal di kawasan yang tercampur makanannya dengan bangkai dan demikian juga pakaiannya, maka janganlah kalian memakan kecuali binatang sembelihan (yang halal) dan janganlah kalian menggunakan pakaian kecuali dari (kulit) binatang yang disembelih (secara Syar’i)” (Riwayat Shahih,diriwayatkan oleh Ibnu Sa’din di Ath-Thabaqat). [2]
Dari dongeng di atas, terdapat pelajaran besar bahwa menjadi kiprah bagi pemerintah untuk menjaga masyarakatnya dari seluruh jenis konsumsi yang haram dan menjauhkan sarana-sarana keharaman, baik berupa toko, pasar maupun mall-mall yang menjual kuliner dan minuman yang haram.
***
Catatan kaki
[1] Dinukil dengan sedikit perubahan dari Dirasah Naqdiyyah fil Marwiyyaatil Waaridah fi syakhshiyyati ‘Umar Ibnil Khaththab, DR. Abdus Salam bin Muhsin Ali ‘Isa , penerbit: Al-Jaami’ah Al-Islamiyyah (PDF),2/639 dan Harta haram, Ust. DR. Erwandi
[2] Dinukil dari Dirasah Naqdiyyah fil Marwiyyaatil Waaridah fi syakhshiyyati ‘Umar Ibnil Khaththab, DR. Abdus Salam bin Muhsin Ali ‘Isa , penerbit: Al-Jaami’ah Al-Islamiyyah (PDF), 2/109
Referensi
- Dirasah Naqdiyyah fil Marwiyyaatil Waaridah fi syakhshiyyati ‘Umar Ibnil Khaththab, DR. Abdus Salam bin Muhsin Ali ‘Isa , penerbit: Al-Jaami’ah Al-Islamiyyah (PDF).
- Harta haram, Ust. DR. Erwandi.
- Sittu Durar, Syaikh Ramadhani.
- Al-Fiqhul Iqtishadi, DR. Jaribah Al-Haritsi.
—
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.Or.Id