Monday, 30 December 2019

Al-Quran Antara Bahasa Arab Dan Bahasa Asing

Ilustrasi/google
Oleh: Edi Saputra, MA

Apakah al-Quran murni bahasa Arab? sebuah pertanyaan yang sudah usang mencuat dikalangan para ulama. Tapi, hingga kini belum seorang pun sanggup memperlihatkan tanggapan yang ilmiah dan memuaskan.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa al-Quran itu murni bahasa Arab, di antaranya ialah al-Imam asy-Syafi`i, Ibnu Jarir, Ibnu Faris, dan lain-lain.

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran, yaitu:

Surat al-Fussilat ayat 44:

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا أَعْجَمِيًّا لَقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ آَيَاتُهُ أَأَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ

Surat Yusuf ayat 2:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Ayat-ayat diatas menjadi pegangan bagi mereka untuk mengatakan, bahwa al-Quran tidak terkandung didalamnya sidikit pun dari bahasa selain bahasa Arab.

Edi Saputra, MA
Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa didalam al-Quran terdapat kata-kata yang bukan bahasa Arab. Diantara kata-kata tersebut ialah (أباريق) yang bermakna "cerek", berasal dari bahasa Persia, (الأرائك) yang bermakna "dipan-dipan", berasal dari bahasa Habsyi, (الصراط) yang bermakna "jalan", berasal dari bahasa Romawi, dan masih banyak lagi kata-kata lain yang melebihi seratus kata.

Adapun komentar mereka terhadapt nash di atas ( (قرآنا عربياdan (لسان عربي مبين) yang jelas-jelas memperlihatkan bahwa Al-quran itu murni bahasa arab. Namun berdasarkan pendapat mereka, bahasa arab memang mendominasi al-Quran, tapi tidak menutup kemungkinan terdapat sedikit bahasa ajam, dengan bukti ibarat pola sebelumnya.

Begitu juga maksudnya bila al-Quran ini diturunkan kepada Rasul Saw. yang berbicara dengan bahasa Arab, jadi bukan unsur kata-katanya yang mesti dalam bahasa Arab. Hal ini dikarenakan bahwa al-Quran ini risalah alamiah, rahmatan lillalamin, mencakup semua bangsa, suku dan ras. Untuk golongan jin dan manusia, dan ini sesuai dengan firman Allah Swt 

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ﴾ (إبراهيم : 4

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun keculi dengan bahasa kaumnya.

(Kaum) dalam ayat ini mencakup semua bangsa, jadi kitab suci kaum tersebut juga mesti memuat banyak jenis bahasa.

Dari kedua pendapat di atas, maka sebagian ulama yang lain mencari jalan tengah antara keduanya. Di antaranya Abu Ubaid bin Salam, dia berpendapat, bahwa kata-kata ajam yang terdapat dalam al-Quran bergotong-royong memang bahasa ajam, akan tetapi bangsa Arab telah memakai kata-kata tersebut dalam percakapan mereka semenjak dahulu kala, bahkan semenjak al-Quran belum diturunkan. 

Jadi kata-kata tersebut dilihat dari segi asal mulanya memang benar bahasa ajam, dan dilihat dari sisi pemakaian orang Arab yang telah bebuyutan pada kata tersebut, maka ia sudah sanggup dikatagorikan dalam bahasa Arab. 

Pendapat ini ternyata didukung oleh banyak ulama, di antaranya al-Jawaliqi, sehingga dia mengistiahkan hal tersebut dengan istilah (المعرّب), yang bermakna perembesan bahasa gila kedalam bahasa Arab (saduran).

Akan tetapi al-Jawaliqi membatasi "penyerapan" tersebut hanya pada kata-kata yang telah usang dipakai oleh bangsa Arab dan telah termuat dalam al-Quran. Oleh alasannya ialah itu dia mendefinisikan al-muarrab dengan: "semua bahasa ajam yang pernah diucapkan oleh orang Arab, termuat dalam al-Quran, dan terdapat dalam ucapan para sahabat dan tabiin (r.a) serta termaktub dalam syair-syair Arab yang lama."

Adapun sebagian ulama yang lain, di antaranya al-Khafaji, menyebutkan beberapa syarat sebuah kata sanggup dikatagorikan muarrab, diantaranya ialah :

Pertama : kata tersebut harus mengalami perubahan bunyi. Artinya kata tersebut harus diubahsuaikan dengan suara huruf-huruf Arab, ibarat kata (درهم), kata ini berasal dari bahasa yunani (دْرَخْمْ) DRAHM, dan dalam bahasa Arab tidak dikenal cara mengucapkan (دْرَ) DRA , yang dimulai dengan harakat mati. 

Maka untuk memudahkan mereka melaksanakan pembiasaan dengan pengecap bangsa Arab, dikasrahkanlah karakter dal dan dimatikan karakter ra, lalu diganti karakter kha yang sukun menjadi ha yang berharakat di atas, jadiah (درهم) sesuai dengan wazan (فِعلَل).

kedua : kalau kata tersebut tidak mengalami perubahan suara huruf, sanggup juga ia dianggap muarrab, dengan syarat kata tersebut sesuai dengan wazan-wazan bahasa Arab, ibarat : (آجر) yang berwazan (أَفْعُل).

Adapun yang tidak sanggup dikatagorikan dalam muarrab cuma ada satu, yaitu bahasa gila yang dipakai oleh orang Arab yang tidak sesuai dengan wazan bahasa Arab, dan tidak memperoleh perubahan pada suara hurufnya, maka ia tidak sanggup dikatakan muarrab, berdasarkan al-Khafaji, ibarat kata (خراسان), dalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata-kata yang berwazan (فعالان).

Kesimpulan dari pendapat ini adalah, sebuah kata sanggup dikatakan muarrab kalau kata tersebut sesuai dengan etika bahasa Arab, baik dari segi suara hurufnya, atau pun dari segi wazannya.

Pendapat ini walau kelihatannya lebih ilmiah, akan tetapi penentuan perubahan kata hanya dibatasi pada suara karakter saja. Namun, pendapat ini dibantah Oleh Dr. Abdul Fattah Barkawi, dan beberapa ulama modern era ini.

Dalam bukunya yang berjudul (مقدمة في فقه اللغة العربية واللغات السامية) Beliau menyimpulkan, bahwa untuk memberi nilai sebuah kata muarrab atau tidak, tidaklah cukup dilihat dari segi perubahan pada suara huruf, di sisi lain juga perlu ditinjau dari segi gramatikal bahasa Arab, ibarat ilmu nahwu. Jadi, selama kata-kata ajam yang dipakai oleh bangsa Arab tunduk dengan kaedah ilmu nahwu, maka kata tersebut juga sanggup dikatagorikan muarrab.

berdasarkan pendapat ini kata (الخرسان) sanggup digolongkan juga dalam kata-kata muarrab, alasannya ialah ia tunduk pada kaedah bahasa Arab, yaitu kalau ia berposisi sebagai fail maka baris hasilnya ialah dhammah, kalau berposisi sebagai maf`ul, baris hasilnya fatah, kalau di dimasuki karakter jar ia berbaris kasrah, dan kalau tidak didahului oleh alif dan lam, maka ia tunduk dalam qaedah mamnuk min assharfi.

Dan tidak satu pun dikalangan ulama yang tidak sepakat, bahwa semua kata-kata yang terdapat di dalam al-Quran telah tunduk pada kaedah ilmu nahwu. Jadi, dapatlah disimpulkan, bahwa semua isi al-Quran ialah bahasa Arab, dikarenakan sudah tunduk pada kaedah bahasa Arab, dan ini sesusai dengan firman Allah Swt di atas : 

(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ( يوسف : 2

Wallahu a`lam. 

*Tulisan ini sudah dimuat pada Jurnal Seumike Dep. Pendidikan KMA, Edisi Perdana, 2010

banner
Previous Post
Next Post