google image |
Oleh: Farhan Jihadi
Menjelang fajar. Cahaya jingga buram belum mewarnai angkasa. Purnama di ujung timur masih damai di posisinya, berbaur mesra bersama bintang-gemintang. Ayam Pak Syuib yang biasanya berkokok berbarengan lantunan azan belum terdengar nyaringnya. Suasana komplek Darussalam tampak masih senyap. Hening, sehening dan setenang air di kolam mandi. Sebelum kesudahannya sebuah gayung dicelupkan, airpun bergelombang.
Seorang perjaka yang masih menggunakan sarung tidur mengambil air untuk berwudhu. Tubuhnya masih lemas. Saat air hambar menyentuh wajahnya, mata perjaka itu juga belum terbuka sempurna. Tubuhnya sulit digerakkan.
Subuh ini teramat istimewa bagi Amat. Setelah sekian lama, tekadnya untuk sanggup shalat subuh berjamaah kesudahannya terwujud. Ada perasaan besar hati ketika tahu bahwa dirinya terjaga sebelum ayam Pak Syuib berteriak lantang, perjaka itu menang pagi ini. Ingin rasanya Amat meluapkan ekspresi kemenangannya dengan pergi ke sangkar ayam Pak Syuib, membuka pintunya kemudian bersorak kencang di wajah spesies bersayap tersebut. Amat begitu ingin memaklumatkan bahwa ia menang pagi ini.
Amat terlalu benci dengan ayam Pak Syuib, tetangganya. Saban hari ayam tersebut mengolok-olok kebiasaan jeleknya. Biasanya ayam tersebut sudah kenyang mencari makan ketika Amat gres terjaga dari tidur yang panjang. Setelah kenyang, ayam-ayam itu sering bermain di depan kamar Amat, tak jarang mereka malah membuang kotorannya di atas sandal Swallow miliknya. Itu membuat Amat tambah benci dan sakit hati. Subuh hari yaitu kekurangan Amat.
Shaf-shaf pertama shalat subuh Mesjid An-Nur selalu kosong dari sosok Amat. Sudah terlalu usang rutinitas ibadah mulia tersebut ditinggalkannya. Hari ini Amat membuat sejarah, Ia bangkit lebih cepat dari siapapun termasuk Pak Syuib dan ayam-ayamnya yang sangat ia benci itu.
Banyak orang beranggapan bahwa beruntung dianugerahi tidur nyenyak layaknya Amat. Ia pecahan dari segelintir insan langka di muka bumi, dimana bila sudah tidur Amat akan lupa bagaimana caranya bangun. Bagi sebagian orang mungkin beropini menyerupai itu, tapi tidak bagi Amat. Baginya ini sebuah musibah. Bencana.
Amat tidak terlalu mempermasalahkan tidurnya, bahkan ia bahagia rasanya sanggup tidur menyerupai itu. Banyak orang harus minum obat khusus atau berkonsultasi dengan dokter seorang hebat semoga terlelap dengan nyenyak. Hal ini tidak berlaku bagi Amat, ia terkadang bersyukur dengan kondisinya.
Namun situasi ini tidak berlangsung lama, suatu hari ia meyadari ada hal luar biasa dalam shalat subuh berjamaah. Tidak sanggup terjaga untuk berjamaah shalat subuh merupakan sebuah petaka. Ada rahmat Allah luar biasa dalam barisan shaf jamaah shalat subuh, sama menyerupai rahmat Allah terhadap ayam-ayam liar Pak Syuib. Amat tahu, tapi tetap saja ia tidak sanggup merubah kebiasaan indahnya itu. Ia sulit merebut rahmat Allah yang sering didapat ayam-ayam Pak Syuib. Saat azan subuh berkumandang, ia tetap bertahan di posisinya sebagai “mayat hidup”.
Amat mulai berusaha berubah ketika mendengarkan khutbah jum'at seorang ustad yang menyampaikan ada pahala dan rahmat Allah yang tak terhingga dalam shalat subuh berjamaah. Ustad tersebut juga menambahkan orang-orang Yahudi tidak akan pernah takut kepada umat Islam bila jamaah shalat subuh tidak sebanyak jamaah jum'at. Penceramah muda itu telah sukses aben semangat Amat. Kalau saja ustad itu tidak menyala-nyala dalam memberikan nasehat, sanggup dipastikan Amat akan tertidur bersandar di tiang mesjid dan berpetualang dalam mimpi-mimpinya.
Dulu ada Rizal, mitra sekamar yang setia membangunkannya untuk shalat subuh berjamaah. Rizal sudah menjadi mitra dan jam waker setia bagi Amat. Rizal tak perlu besusah payah menyerupai waker renta yang tergeletak di pinggir ranjang Amat. Segelas guyuran air selalu sanggup menjadi obat mujarab untuk membuyarkan mimpi-mimpi indah Amat. Awalnya Rizal enggan dan tidak tega dengan cara menyerupai itu. Amat sendiri meyakinkan untuk mengeksekusinya menyerupai itu.
"Jal, kamu taukan betapa shalat subuh berjamaah itu sangat penting. Nah, besok tolong kamu siram mukaku pake segelas air," pesan Amat memohon.
"Kalau tidak bangkit juga, apa harus kupanggil pemadam kemari, membanjiri kamar kita ini Mat...?"
"Aku serius. Aku niscaya bangun, cuma itu caranya," tambah Amat meyakinkan.
"Pasti...? yang niscaya itu cuma kesepakatan Allah Mat. Janjimu mana pernah ada kepastiannya.”
"Aku yang akan murka kalau kamu tidak melakukannya Jal...!"
"Terserah kamu sajalah. Kalau ngak bangkit juga, Besok sanggup kutambah debu cabai ke dalam air itu, Mat."
“Iya Jal. Kalau perlu Kau tambahkan juga irisan bawang, potongan tomat plus kecap manis. Pokoknya saya harus bangun. Bagaimanapun caranya, yang penting jangan Kau ajak ayam-ayam Pak Syuib itu bersamamu.” Rizal tertawa mendengar ocehan kawannya itu. Rizal tahu bagaimana rasa benci yang sangat dalam Amat terhadap ayam-ayam Pak Syuib.
Setelah hari itu, Amat mulai rutin shalat subuh berjamaah bersama Rizal. Yah, tentu saja sesudah guyuran segelas air ke wajahnya. Mesjid An-Nur yang berdekatan dengan kost mereka menjadi pilihan mereka untuk melaksanakan subuh berjamaah. Kalau bukan adanya rahmat Allah luar biasa dalam jamaah shalat subuh menyerupai pesan Rasulullah. Ia niscaya tak akan mengizinkan Rizal menyirami wajahnya tiap hari menyerupai itu.
Keadaan kemudian berubah. Semenjak ia ditinggal mudik oleh Rizal, Amat kembali ke tradisi lama. Weker yang selalu disetel setiap jam lima pagi hanya menjadi hiasan. Sama sekali tidak berkhasiat melawan tidur maut Amat. Tak cukup itu, alarm di handphone-nya juga diset dengan waktu yang sama dengan weker hijau miliknya itu. Pukul lima tepat, kamar itu riuh tak karuan. Kedua alat itu bersaing menjadi juara membangunkan pemiliknya. Amat lagi-lagi juara dalam persaingan itu, weker dan handphone kalah telak. Berulang-ulang setiap pagi.
Bisa tidur dimana saja dan dalam kondisi bagaimanapun merupakan kelebihan Amat. Tak berlebihan rasanya bila kawan-kawan Amat menentukan menjulukinya “mayat hidup”. Mayat hidup hanyalah panggilan konyol temannya sesudah tahu kondisi Amat yang tidur menyerupai orang tak bernyawa. Suatu ketika sobat kampus pernah mengerjainya, Amat dibiarkan tertidur di ruang sesudah kuliah bubar. Ia terbangun bersama azan magrib berkumandang di mesjid kampus. Kejadian itu tidak lantas membuatnya jera, ahad selanjutnya beliau tertidur lagi. Akhirnya, temannya yang jera dibuatnya.
Saat kecil Ibu Amat sering menidurkannya dengan bacaan ayat-ayat suci Qur'an, sesekali syair Prang Sabi dari mulut lembut ibunya membawa dirinya terlelap. Ibu Amat tidak pernah berhenti mengaji dan mendendangkan syair sampai Amat sampai ia pulas dalam ayunan. Mungkin inilah penyebab Amat mempunyai kapasitas tidur yang extra luar biasa.
26 Desember beberapa tahun lalu, Amat masih ingat ketika begadang di malam ahad peristiwa itu. Ia tidur sesudah melaksanakan shalat subuh. Pagi hari disaat orang-orang berhamburan keluar dari gedung menyelamatkan diri dari gempa bumi, tidak ada yang menyadari Amat masih tertidur pulas di lantai dua sebuah asrama sekolah boarding school Banda Aceh. Dahsyatnya goyangan gempa semakin menyenyakkan tidurnya, sama menyerupai ketika ibunya mengayun-ayunkan ayunan tidurnya waktu ia kecil.
Beruntung bagi Amat, gempa besar tersebut tak merobohkan asrama. Beruntung juga tsunami yang tiba sesaat kemudian masih menyisakan gedung itu beserta Amat di dalamnya. Jika saja Allah tidak menyayanginya. Bisa saja namanya akan terpajang indah di Museum Tsunami sebagai salah seorang korban malapetaka.
Amat sudah berusaha mencoba menghilangkan kebiasaan jeleknya ini. Ia tidur cepat sesudah selesai Shalat Isya, tapi hasilnya nihil. Ia tetap terjaga sendiri pukul 8 pagi. Amat selalu mengeluhkan hal ini pada Rizal.
"Mengapa ada obat biar cepat tidur tapi tak ada obat biar cepat bangkit tidur"
"itu PR buatmu mat, kamu yang harus menemukan obatnya...!"
Namun, hari ini berbeda. Amat bangkit sebelum azan berkumandang. Sebelum ayam-ayam Pak Syuib berkokok. Ia masih menggunakan sarung tidur ketika hendak mengambil air wudhu di kolam mandi. Tubuh Amat masih lemas. Saat air hambar menyentuh wajahnya, mata perjaka itu juga belum terbuka sempurna. Tubuhnya sulit digerakkan.
Amat gembira. Ia bangkit sebelum azan berkumandang, sebelum ayam-ayam Pak Syuib mengganggunya. Ia melangkah ke Mesjid An-Nur, melewati sangkar ayam Pak Syuib. Amat tersenyum, kali ini ia merasa juara.
***
Matahari mulai mengintip dari ujung timur ketika seorang perjaka dengan ransel besar dipundaknya masuk ke sebuah kamar. Alarm masih terdengar meraung-raung ketika ia mulai membuka jendela kamar. Cahaya indah matahari masuk penuhi seisi kamar. Ia membuka botol air mineral yang sedari tadi di genggamnya. Pemuda itu menuang air ke sebuah wajah yang masih tertidur polos di atas ranjang. Menyadari air menyentuh wajahnya sontak sosok tertidur itu terjaga.
"Tsunami...Tsunami... Tsunami..." Teriaknya mencakar-cakar udara.
"Tsunami gundulmu, shalat subuh dulu sana, Mat...! Sudah syuruq tuh."