Sunday 19 January 2020

Ratusan Tahun Vakum, Madrasah Syafi'iyah Mesjid Sultan Hasan Diaktifkan Kembali


wikipedia.org

Oleh : Khalid Muddatstsir*
Mesjid Sultan Hasan merupakan salah satu bangunan termegah di Kota Kairo, Mesir. Bangunan infinit ini juga merupakan salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan-wisatawan asing. Mesjid bersejarah ini dibangun atas perintah Sultan Hasan bin Nasir Muhammad bin Qalawun, penguasa dinasti Mamluk waktu itu. Sang Sultan ingin mendirikan sebuah mesjid yang juga berfungsi sebagai madrasah agama yang ditujukan kepada pengikut Ahlussunnah wal jamaah.
Didalam mesjid ini terdapat  4 ruangan besar yang dikhususkan untuk pelajar 4 mazhab fikih yang menjadi pijakan Ahlussunnah wal jamaah; Syafiiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Setiap mazhab mengambil satu ruangan tersebut untuk dijadikan madrasah. Dibangun tahun 757 H/1356 M, mesjid yang memiliki arsitektur menawan tersebut masih tampak sangat gagah dan kokoh meskipun usianya yang sudah ratusan tahun.
Diceritakan oleh guru kami, Prof. Dr. Ali Jum'ah, anggota dewan ulama senior Al Azhar yang juga mantan mufti Mesir, bahwa dulu Sultan Hasan menunjuk seorang ulama jago qiraat untuk berdiam setiap hari didalam Madrasah Syafi'iyah. Ulama tersebut berada di sana mulai sehabis subuh hingga tengah hari untuk mendengarkan bacaan atau hafalan para pelajar di sana. Sang Sultan juga memperlihatkan 50 dirham (senilai 1000 pound Mesir sekarang) kepada setiap anak yatim yang telah menyempurnakan hafalan Al Qurannya. Jadi, tidaklah heran jikalau mesjid ini merupakan pusat pengajaran 4 mazhab fikih di masanya.
Kamis (20/11) pagi, ratusan pelajar Al Azhar dari banyak sekali belahan dunia memenuhi mesjid sepuh tersebut. Nampak pelajar dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Rusia, Afrika, Turki, semuanya berkumpul di bawah naungan ilmu. Ada semangat membara yang tampak dari wajah dan gelagat mereka. Bagaimana tidak, mereka ingin menjadi saksi sejarah pembukaan kembali  Madrasah Syafi'iyah yang sudah berabad-abad vakum dari dunia turats (kitab klasik). Cuaca ekspresi dominan hirau taacuh yang mulai menyapa Kairo seperti hanya sarapan pagi yang semakin menambah energi mereka.
Syekh Hisyam Kamil di Pembukaan Madrasah Syafi'iyah Majid Sulthan Hasan

Syaikh Hisyam Kamil Al Azhari, sosok yang sudah sangat familiar di kalangan pelajar Al Azhar, ialah orang yang sangat ditunggu-tunggu hari itu. Ya, Beliau akan menjadi tokoh sentral dalam penghidupan kembali tradisi mencar ilmu mengajar ilmu agama di Madrasah Syafi'iyah tersebut. Beliau akan memulai pembacaan kitab Tafsir Jalalain, karya dua ulama besar, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin Al Suyuthi.
Ketika sosok yang dinanti tersebut tiba, ratusan hadirin berdiri untuk menyambut dan menghormati kedatangan gurunya. Hal ini ialah pemandangan biasa disaksikan di kalangan Azhariyyin (pelajar Al Azhar). Karena ada slogan yang selalu dipegang oleh santri Al Azhar "Al Adabu Qabla al Ilmi", yang maksudnya lebih kurang, sebelum berilmu, beradablah terlebih dahulu.
Syaikh Hisyam Kamil memulai mukadimahnya dengan mengirimkan bacaan Al Fatihah kepada guru-guru dia dan kepada arwah para ulama terdahulu yang pernah mengajar di Madrasah Syafiiyyah. Beliau juga mengutarakan alasan dia menentukan membaca kitab Tafsir Jalalain. "Tafsir ini sangat cocok untuk pemula. Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin Al Suyuthi keduanya dulu bermukim di Kairo dan keduanya ialah ulama besar Al Azhar. Mereka berdua mengikuti mazhab Imam Syafii. Oleh jadinya dalam menghidupkan kembali madrasah ini, kita akan membaca kitab tafsir mereka". Tegas Syaikh Hisyam  hari itu.
Beliau  menceritakan biografi singkat dua ulama pengarang tafsir agung tersebut dan proses penulisannya. "Imam al Mahalli memulai tafsirnya dari surat Al Kahfi hingga surat Al Naas. Ketika dia menafsirkan surat Al Fatihah, dia dipanggil oleh Allah swt. Setelah beberapa tahun, masyarakat waktu itu meminta imam Al Suyuthi untuk menyempurnakan tafsir tersebut biar tidak hilang, mulailah Al Suyuthi menyempurnakan tafsir gurunya tersebut." Kisah Syaikh Hisyam.
Tafsir Jalalain walaupun dikarang oleh dua ulama beda generasi, tapi metodologi dan kualitasnya sama, seperti penulisnya hanya satu. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi tafsir ini.
Diceritakan juga oleh Syaikh Hisyam bahwa saudara imam Al Mahalli, Kamaluddin, suatu dikala pernah bermimpi bertemu dengan Imam Al Mahalli dan  juga Imam Al Suyuthi. Kemudian dia bertanya kepada Al Mahalli, "Manakah yang lebih anggun dari tafsir (Jalalain) itu, yang anda mulai atau yang dia (Al Suyuthi) sempurnakan?" Imam Al Mahalli hanya tersenyum senang. Lalu imam Al Suyuthi menjawab, "Yang saya sempurnakan lebih baik". Keesokan harinya saudara Al Mahalli segera menemui Imam Al Suyuthi dan menceritakan perihal mimpinya. Al Suyuthi menjawab dengan sangat tawaduk, "Karangan Imam Mahalli, guruku, lebih baik daripada punyaku. Aku hanya mengutip ilmu yang Al Mahalli berikan."
Sekilas wacana Syaikh Hisyam Kamil Al Azhari, dia ialah salah seorang ulama Al Azhar yang bermazhab syafii dan berakidah Asyari. Setiap harinya dia habiskan untuk mengajar ilmu syariah di banyak sekali majelis ilmu. Di usia dia yang masih relatif muda (42 tahun), Syaikh Hisyam merupakan ulama yang produktif nan dermawan. Ditengah kesibukan dia mengajar dia masih sempat menulis kitab. Terhitung hingga kini 17 kitab dari banyak sekali disiplin ilmu telah dia keluarkan, mulai dari Fikih Syafii, Aqidah Ahlussunah, Sirah Rasul, Mawaris dan sebagainya. Salah satu hal yang terbilang luar biasa dari Syaikh yang satu ini ialah dia selalu membagikan kitab karangan dia secara cuma-cuma. Bahkan tidak jarang terdengar dia melarang dan memarahi mereka yang membeli buku karangan beliau. Hal yang jarang ditemukan di kawasan kita.

Acara yang berlangsung tiga jam lebih tersebut ditutup dengan pembagian kitab secara cuma-cuma kepada hadirin.  Syaikh Hisyam juga menegaskan akan memperlihatkan sanad yang bersambung kepada pengarang kitab. Mesjid yang sudah sangat sepuh inipun menjadi saksi bernafasnya kembali Madrasah Syafiiyah yang telah melewati mati suri yang sangat lama. Dengan dibuka kembalinya madrasah tersebut, semoga tradisi belajar-mengajar ilmu agama yang bersanad hingga kepada kepada Rasulullah terus tumbuh subur di negeri kinanah ini.

*Penulis ialah Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat, Universitas Al Azhar, Mesir.
banner
Previous Post
Next Post