Sunday, 9 February 2020

Bapak Rumah Tangga Dan Bencana Kaum Hawa

Oleh; Azmi Abubakar*
image doc. google

Dua ahad lalu, Rekan-rekan buletin elasyi meminta kami untuk menulis ihwal isu-isu wanita; peranan kaum hawa pada masa ini.  Jujur sesungguhnya kami kurang berani menulis tema ini, pertama alasannya penulis masih lajang, kedua masih ada guru-guru kami yang sesungguhnya sangat layak untuk menulis.  

Namun disisi lain kami berpikir bahwa inilah kesempatan  kami untuk mencurahkan apa sesungguhnya yang berkecamuk  di kepala  ketika memandang sebuah konsep yang layak bagi kaum hawa era post modern.  Idea-idea yang muncul  selanjutnya ialah pandangan dari kami sendiri, sehingga ruang-ruang diskusi yang lebih dalam dapat tercipta.

Ada sebuah novel yang menginpirasi kami untuk menulis tema ini, novel yang berangkat dari pengalaman langsung sang penulis; Sastri Bakri asal Minang. Beliau menulis perjalanan hidupnya dengan sangat dramatis. Tokoh Sastri ialah seorang perempuan karir yang begitu jarang berada di rumah.

Dalam alur dongeng tersebut, dia bercerai dengan suami pertama alasannya adanya ketidak cocokan. Kisah berlanjut saat Sastri dipertemukan dengan seorang  pria  berhati mulia, bekerja sebagai PNS di kota Jakarta. Pada perjalanan selanjutnya,  sang suami menentukan pensiun dini supaya dapat selalu menemani istri tercinta yang berkerja sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat.

Jadilah setiap hari istri tetap bekerja, sang suami menjadi bapak rumah tangga yang baik, membersihkan gudang dan rumah. Tulisan ini sendiri menjadi anti tesis lain dari sebuah pergelokan batin Sastri Bakri dalam memandang konsep berumah tangga. Posisi Sastri dalam novel selalu berada di pihak yang tersalahkan dikarenakan telah  menyia-nyiakan suami dan gagal memuliakannya. Suami yang berdasarkan tokoh Sastri sangat mulia dan sempurna. 

Tokoh Sastri kesudahannya merasa tersadar saat sebuah penyakit menggerogoti sang suami, Sastri merasa kehilangan. Pada kesudahannya penyakit sang suami mencapai puncak, ia lumpuh. Tibalah hari saat Allah menjemputnya ke alam keabadian. Tokoh Sastri pada alur ini merasa sangat kehilangan. Ghirah hidupnya telah sirna, ia begitu menyesal kenapa selama suami masih hidup tak banyak berperan mengabdi kepada sang suami. Waktu-waktu banyak dihabiskan di luar,dengan segala kesibukan sebagai politikus.

Ini ialah kisah konkret yang dinovelkan selain dari ribuan kisah konkret lain ihwal bencana perempuan sekarang.  Kisah ini bukan berarti perempuan karir gagal memerankan tugasnya sebagai istri.  Kita juga  melihat sosok-sosok yang sukses membangun karir, namun juga sukses mengasuh keluarga , namun penulis rasa hal ini sangat sedikit sekali  

Azmi Abubakar, Mahasiswa
tingkat akhir, Fak. Syariah,
Jur. Syariah Islamiyah,
Univ. Al-Azhar, Kairo
Di zaman penuh fitnah ini, kami sesungguhnya sangat setuju jikalau perempuan harus dihargai dan dihormati dengan menempatkan perempuan sebagai Rabbatul Bait atau Peureumoh. Wanita-wanita mulia akan menjadi pelindung keluarga dan menjadi pendidik bagi anak-anak.  

Sultanah-sultanah Aceh masa dulu sesungguhnya juga menjadi Rabbatul Bait bagi sebuah rumah besar berjulukan Aceh Darussalam, sementara yang menjalankan pemerintahan tetap berada pada seorang laki-laki. Ada filosofi yang cukup menarik, dimana urueng inong Aceh diberi laqab sebagai Ti atau Ni, maknanya perempuan yang dihormati. Ti atau Ni ini harus lah menjadi Teue, Teue ialah daun yang berbentuk ibarat payung. Filosofi payung ialah mengayomi. Maknanya para kaum hawa haruslah berperan sebagai Ti yang menjadi Teue bagi keluarga.

Para syaikhah-syaikhah selalu menjadi inspisrasi betapa ilmu pengetahuan tetap diutamakan untuk mendidik  buah hati. Kita juga  diingatkan dengan istri-istri para ulama, bubuk –abu Dayah dimana ummi- ummi berperan sebagai rabbatul bait  dengan sempurna. Sehingga ada pendidikan yang luas kepada bawah umur dalam University of Life rumah tangga yang sedemikian bersahaja.

Peureumoh yang dalam bahasa Aceh dimaknai sebagai pemilik rumah harus dipahami secara benar, jikalau peureumoh banyak menghabiskan waktu di luar berarti ini turut mengurangi kesakralan fungsi peureumoh itu sendiri. Kita begitu miris melihat ibu-ibu yang bekerja di luar contohnya menjadi PNS, fenomena yang terjadi ialah saat waktu istirahat banyak para PNS perempuan duduk ngerumpi sehingga timbul nilai-nilai yang bertentangan dengan norma agama.

Zaman yang penuh dengan fitnah ini harusnya kaum hawa lebih kondusif berada di rumah, mendidik buah hati secara penuh. Realita Para kaum hawa yang bekerja di luar sering menitipkan anak-anaknya pada orang renta yang seharusnya saat datang hari renta kita muliakan. Belum lagi realita yang sering kita lihat saat kaum hawa keluar rumah dengan aurat yang tak tertutup dengan tepat sehingga turut menambah dan memperluas fitnah.

Kami terenyuh dengan kisah seorang ummi yang berhenti bekerja di sebuah Bank di ibukota Jakarta demi waktu untuk suami dan anak. Tentu saja  Ada banyak kreasi lain ketiba seorang  wanita  berada di rumah. Menulis hatta bisnispun dapat dilakukan di rumah.

Akhirnya kaum hawa harus tetap diposisikan pada daerah yang mulia,  alasannya kaum hawa ialah makhluk yang begitu mulia. Kaum hawa harus dilindungi bukan membiarkannya ibarat ikon Yusniar atau Da Maneh yang begitu memalukan dan melabrak nilai-nilai agama dan pranata masyarakat Aceh. peureumoh atau Rabbatul Bait  ialah sosok yang luar biasa yang bersama suami berperan penuh menjaga dan mendidik keluarga sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat rujukan yang agamis.

*Penulis ialah Mahasiswa Fak. Syari’ah Tk IV. Univ. Al-Azhar, Kairo-Mesir. Tulisan in telah dimuat pada buletin el-Asyi edisi 119.
banner
Previous Post
Next Post