Thursday 26 September 2019

Berdua Dengan Uwuwu

Oleh: Darwin Robusta*
Image Source : Catster.com


1.

Nama pria yang memperlakukanku dengan gemulai setiap kali saya mengeong minta makan yaitu Darwin. Dia tinggal berdua denganku di sebuah rumah yang dikontraknya di Lampulo, tempat pesisir Banda Aceh.

Di dalam rumah, jikalau saya bersirobok dengannya beliau akan menyambar kemudian mengangkat tubuhku tinggi-tinggi hingga saya ketakutan dan mataku mendelik lebar sekali. Di dalam situasi ibarat itu, biasanya beliau akan menirukan bunyiku: ngiowng... ngiowng.

Sembarang waktu, meskipun beliau berpapasan denganku namun tengah disibukkan dengan sesuatu, beliau akan sekadar berbunyi saja, ngiowng... ngiowng. Tidak hingga menyentuhku. Di lain waktu, Darwin akan menemuiku di sudut lain di dalam rumah, mesti sesudah itu beliau menirukan bunyiku: ngiowng... ngiowng, kemudian mengangkat tubuhku tinggi-tinggi, saya bahkan terlambung!

Darwin memanggilku "Uwuwu", meskipun mula-mula namaku bukan itu. Sebutan nama itu merupakan kebahagian gres dalam hidupnya. Namaku Jiaw, seorang perempuan telah memperlihatkan nama itu kepadaku. Itu dilakukannya karena beliau terinspirasi oleh sebuah band Korea Utara yang ketenarannya melampaui langit ketujuh dan tercium ke seantero kerak bumi popularitasnya: Jiaw Soya.

Beberapa hari kemudian di suatu hari, beliau memenggal separuh label nama itu untuk diberikan padaku. Seterusnya saya dipanggil-panggilnya: Jiaw.. Jiaw… Jiaw, saya membalasnya: "ngiowng... ngiowng... ngiowng, beri saya makan, Manusia!"

2.

Seorang perempuan yang diberi nama oleh mamaknya Dianur, yang selama dua tahun terakhir telah merawat diriku dengan baik, akan merantau ke Australia untuk beberapa tahun ke depan. Dia kata, keluarganya juga ikut. Di sana beliau akan mendaftarkan diri di sebuah universitas dan menjadi seorang mahasiswi di Fakultas Kedokteran Hewan, begitu impiannya.

Pada suatu subuh, Dianur terjaga dari tidurnya karena mendengar azan dari masjid. Segera beliau menghambur ke kamar mandi mengambil wudu kemudian salat. Setelah salat, beliau ongkang-ongkang di pinggiran tempat tidur sembari berpikir, bagaimana beliau sanggup meninggalkan diriku sedangkan beliau sangat menyayangiku.

Dia tentu sangat sedih dan tak hingga hati mau meninggalkan diriku. Dengan muka kerut, Dianur berusaha bercakap-cakap denganku sembari mengelus punggungku sekenanya:

"Jiaw, Nur mau pergi jauh, bagaimana balasannya keadaan Jiaw di sini nanti?"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Nur tak tega tinggalin Jiaw di sini, Nur sedih."

"Ngiowng... ngiowng."

"Tapi Nur harus pergi ke Australia dan Jiaw mustahil Nur bawa ke sana." Dianur benar-benar sedih, tak hingga hati beliau denganku, mukanya semakin mengerut.

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

Lalu pagi itu, saya tertidur di depan kamar mandi, melaksanakan tren belalang sembah. Bangun-bangun tak kudapati Dianur di rumah—entah kemana beliau bertiup—dan tak pula kudapati biskuit di mangkukku. Padahal saya sangat lapar.

3.

Esoknya, menjelang Zuhur, Dianur menghampiri mamaknya di ruang tamu, saya sedang melendoti sofa nan empuk di samping mamaknya. Saat itu Dianur membawa kabar baik yang beliau dapatkan dari mitra SMA-nya. Kawan Sekolah Menengan Atas mendapat kabar itu dari sepupunya, Si Sepupu mendapat kabar dari abangnya yang tengah berkuliah di salah satu universitas swasta.

Abangnya kata, di sana ada kawannya yang berkenan dengan kucing, yang berdasarkan selembaran info yang dapatinya di sebuah tiang listrik, kucing itu mau dilepas oleh pemiliknya tanpa ketentuan apapun. Maka si Kawan memberi tahu sekaligus bertanya-tanya kepada si Abang—kawannya—barangkali si Abang itu tahu soal kucing itu.

Maka si Abang menanyakan perihal itu kepada adiknya, si Adik iseng-iseng bertanya kepada sepupunya, si Sepupu teringat dengan kucing mitra SMA-nya, alasannya yaitu si Sepupu ini menduga kalau kucing itu yaitu milik mitra SMA-nya tersebut, maka beliau bertanya soal info wacana kucing yang tertempel di tiang listrik pada kawannya, Dianur.

Rupanya memang benar dugaan si Kawan. Kemudian Dianur lekas-lekas meminta si Kawan ini untuk menanyakan pria yang pada mulanya tadi mau menampung diriku di rumahnya.

Aku masih melendoti sofa di samping mamaknya Dianur. Kulihat Dianur merasa lega dengan adanya orang baik hati yang mau merawat Jiaw-nya ini. Kemudian, kulihat si Kawan Sekolah Menengan Atas kembali lagi ke rumah dengan membawa kontak hape seorang pria yang didapat dari sepupunya, si Sepupu niscaya dari abangnya tadi.

Maka, Dianur menghubungi si Laki-laki. Tak usang kemudian, pria itu tiba dan berhenti di beranda, kemudian Mamaknya Dianur mempersilakannya masuk, disambut pula oleh si mitra SMA.

Dianur menjamunya dengan segelas susu kedelai kesukaan Ayahnya dan dengan kue-kue di dalam toples. Setelah ba-bi-bu, si pria yang kini kukenal dengan nama Darwin berpamitan dan pribadi menenteng kandangku—aku di dalamnya—hendak dibawa pulang.

Di beranda rumah Dianur melinangkan airmata. Sedih nian. Semakin ke pundak jalan, semakin berkaca-kaca matanya kulihat. Kemudian Dianur melambaikan tangan untukku, berkali-kali, sambil memeluk mamaknya, mamaknya ikutan sedih. Aku mengeong.

4.

Benar kata orang, cinta tak mengenal waktu dan rupa. Nyatanya Darwin tengah memendam rasa cinta kepada Juhayna. Beberapa ahad sesudah kepindahan Dianur ke Australia, cintanya kepada Juhayna semakin aduhai, susah nian dikoyak perasaannya itu.

Sekali waktu, Darwin mengajakku bicara sambil goleran si atas lantai dan saya diletakkannya di dadanya.

"Wuwu, boleh tidak tuanmu ini jatuh cinta? Cinta pertama!"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Wuwu tahu tidak, jatuh cinta itu sangat menyenangkan?"

"Ngiowng... ngiowng... ngiowng."

"Aduh, Wuwu mengeong saja dari tadi. Tenang, Wu, entar saya carikan kucing pejantan untuk Wuwu."

Mendengar itu saya kaget bukan buatan, melonjaklah saya alasannya yaitu gres kali ini lagi saya mendengar kata jantan semenjak kegagalan di perkawinanku yang pertama—kala itu si jantan tak lihai menanamkan benih, sial!— namun kali ini sanggup jadi lebih mantap, Darwin mau mencarikan pejantan untukku, saya bakal kawin lagi.

Juhayna dan Darwin saling bertemu di rumah Dianur sewaktu menjemputku ke sana beberapa ahad yang lalu. Darwin matanya suka jelalatan. Namun yang kutahu, Juhayna itu yaitu cinta pertama dalam hidupnya. Aku yakin itu alasannya yaitu selama ini tidak pernah mencungul ke permukaan nama lain selain nama Juhayna itu.

Untuk lebih meyakinkan, di beberapa insiden contohnya, sewaktu bercokol di muka pintu di sore hari, beliau menulis puisi untuk Juhayna, begitu usai, beliau mendesis saking mantapnya gubahan puisinya. Sewaktu mandi, beliau melagukan nama Juhayna, pakai irama lagu Tuan James Brown: I feel good! tereret tetereret, menjadi: Juhayna! tereret tetereret.

Sewaktu mau makan, bukannya baca doa, malah beliau kata: "Juhayna sedang apa ya di sana?" Sambil menatap langit-langit rumah.

Hebatnya, di sembarang waktu, jikalau Darwin sedang berkutat dengan nama Juhayna sedangkan saya mengeong minta makan, lekas-lekas ditinggalkannya segala perihal demi kebutuhanku.

5.

Kepada Juhayna, Darwin hendak bertanya soal pejantan melalui hape yang menurutku itu hanya modus semata, padahal sanggup ditanyakannya kepada tetangga di mana gerangan pejantan-pejantan itu sanggup dicarikan. Tak tahan, beliau pribadi mengontak Juhayna saja, pasang tubuh tegak-tegak sambil waspasa terhadap sipu dan malu. Namun, melalui hape itu, kulihat Darwin gelagapan menjawab pertanyaan dari Juhayna untuk apa malam-malam begini menghubungi Juhayna.

"Ini, Ju, penting sekali... Hmmm. Apa ya?"

"Kau kenal aku, kan?" kata Darwin.

"Tidak, siapa ya?"

"Ini saya Darwin, yang kamu mintai nomor hape melalui sepupumu, kita berjumpa di rumah Dianur tiga ahad lalu."

"O, kamu ternyata Bang. Maaf, Bang, nomormu tak tersimpan." Setelah itu Juhayna cengar-cengir, merasa cihui.

Percakapan mereka menjalar-jalar hingga jauh malam, padahal gres pertama kali saling bersapa meskipun melalui hape. Ketika di rumah Dianur tiga ahad lalu, Darwin berlagak seolah tak mau menyapa, padahal matanya bolak-balik pada Juhayna.

Sementara itu, saya merasa senang menunggu saat-saat Darwin akan menanyakan soal kucing pejantan kepada Juhayna meskipun beliau berlama-lama di dalam dialog lain. Darwin memang mabuk, dimabuk cinta, awalnya mau menanyakan kucing jantan tetapi obrolannya malah loncat ke sana kemari.

Lama-lama saya tak tahan, saya mengeong lancang secara sengaja biar Darwin sanggup mendengarku yang semenjak tadi tak diacuh. Dia menoleh padaku, sesudah itu, karena ingat, beliau pribadi menanyakan kucing pejantan kepada Juhayna untuk dikawinkan denganku. Amboi, sungguh, perasaanku ketika itu... ah, saya jadi aib menceritakannya, mabok!

Namun sayang sekali, saya belum beruntung, "Aduh, maaf, Bang, saya tak pelihara kucing, di rumahku tidak ada kucing." Begitu jawab Juhayna.

Tanpa menghiraukan nasibku yang mestinya diratapi sementara waktu, Darwin merasa sangat senang dengan respon dari Juhayna yang baik sekali. Tak usang kemudian Juhayna minta diri, mau istirahat, "Oke oke, moga-moga mimpi indah ya," kata Darwin.

Dikarenakan rindu, keesokannya, pagi-pagi sekali Darwin mengirimkan pesan kepada Juhayna, dan menyampaikan bahwa pada sembarang sore beliau suka meronce puisi untuk Juhayna. Senang nian, Juhayna pribadi meminta salah satunya. Maka Darwin menulis dua deret puisinya melalui pesan singkat di hape:


"Semua rindu sudah menjadi udara



Kini saya hanya hidup dengan merindukanmu saja"


Di rumahnya, di dalam kamar, di hadapan cermin, Juhayna tersipu.

6.

Kepada Dianur, Juhayna mengirimkan pesan, bahwa pria yang kini merawat Jiaw mulai merapat. Maksud baik Juhayna yaitu membuatkan kabar gembira, rupanya Dianur malah tersinggung. Maka, dari kepingan dunia sana, Dianur deras mengirimkan pesan kepada Darwin:

"Oi, rupanya matamu jelalatan. Bukannya kamu urus kucingku, malah kamu urus si Juhayna."

Darwin membaca pesan itu sekilas, kemudian menulis balasan: "Jatuh cinta itu hak segala bangsa kepada bangsanya sendiri, hak kucing jantan kepada kucing betina. Jadi, mana kupeduli."

Dalam beberapa detik pesan itu sudah bertiup ke Australia, maka dibalasnya lagi: "Terserah, pokoknya kucingku kamu urus, kesal saya tu."

Darwin membalas: "Eu eu, kucingmu rakus sekali, Nong, kini beliau gemuk sekali sepertimu."

Dianur terheran, bukannya gres tiga minggu?

7.

Kepada siapapun yang membaca, sebenarnya, kisah ini yang menulisnya bukan aku, tetapi Darwin Robusta. Aku hanya sanggup mengeong saja, alias mendikte alur cerita. Barangkali si Darwin juga sedikit menambah atau mengarang.

Masalah paham atau tidaknya Darwin dengan ngeong-ngeongku itu kuserahkan padanya. Yang penting, jikalau beliau paham, itu bukanlah mukjizat macam Nabi Sulaiman, jangan salah duga. Semalam suntuk beliau menulis, membangun cerita, hingga berkerak tangannya. Suatu waktu beliau bilang, tak apa-apa begadang, yang penting berdua dengan Uwuwu.[]

*Catatan:

• Dua deret puisi yang sempat menyempil di dalam narasi merupakan hasil dari galian di pekarangan Instagram.

• Cerita pendek ini kupersembahkan untuk Paduka Raja: Jio De Janeiro.

*Penulis merupakan Mahasiswa jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar.

Baca juga Cerpen : Sudah Saatnya Aku Pergi
banner
Previous Post
Next Post