Sunday 29 September 2019

Cokelat Terindah

Oleh : Ardani Suburdin Daeman*

Pic Source: bp-guide.id

Malam terasa siang, bekerjsama sedari tadi saya terlampau resah dengan waktu yang ada di ponsel dan arloji milikku, ketika ku amati arloji jam menunjukkan 07.22 pagi, sedangkan pada layar ponsel terpapar waktu 02.22 dini hari. "Mungkin waktu di ponsel atomatis," ujarku dalam hati.


Tubuh sudah tak terasa tubuh, wajah apalagi. Bros jilbab yang ku kenakan ketika berpergiaan tak tahu lagi di mana letaknya, entah jatuh di Jeddah ataupun Malaysia, tepatnya bros itu bukan ketinggalan di Indonesia, tapi ia telah menjelajahi beberapa negara dunia.


Seturunnya dari pesawat, kami eksklusif berjalan menuju daerah pengambilan koper masing-masing. Aku tak tahu berapa tepatnya jumlah kami serombongan, hanya saja jumlah pria terlihat lebih mencolok daripada wanita. Laki-laki menang telak dari segi jumlah ketika ini, tak menyerupai di dayahku. Di letingku dahulu, jumlah perempuan lah yang menang telak hingga ketika wisuda kelulusan.


Kami keluar dari bandara dengan mendorong troli masing-masing. Ternyata di luar telah tersedia bus besar dengan muatan yang besar pula. Aku lupa jumlah busnya ada berapa, seingatku saya menaiki bus paling ujung dan duduk di pojok paling belakang. Sebab belahan terdepan telah dihuni oleh jenis manusia berkopiah dan bercelana.

Dari sekian banyaknya yang tiba menjemput, hanya satu orang yang tak aneh di mataku. Iya, itu abang kelasku selama di dayah. Tampaknya abang tersebut sedang mengamati adik-adik baru, yang gres saja setengah jam kemudian hingga di negeri Nabi Musa ini. Karena yang lebih banyak didominasi yaitu kami anak baru, maka ku terka akan sulit bagi Kakak tersebut untuk menemukanku, kemudian tanpa berpikir panjang, ku putuskan untuk mendekatinya. 

"Kak Fan," Sapaku dengan panggilan dekat di dayah.

Spontan lantaran mendengar bunyi yang tak asing, Kakak tersebut menoleh ke arahku. 

"Hei... Fha, Ahlan wa sahlan!" Sambutnya dengan bahasa arab yang khas untuk mahasiswa gres sepertiku.

Tak banyak bercerita, semua kami sibuk menaikkan barang ke bus dan bergegas masuk ke dalamnya, menuju daerah yang entah nanti akan terceritakan di sini.

***

"Fha, jangan pilih kuliner yang banyak micin Nak." Ucap mamak, sambil menghembuskan napas kesal alasannya yaitu melihat jajanan pilihanku yang tak sehat.

"Ini yummy jadi cemilan di perjalanan Mak." Jawabku dengan sedikit melemparkan senyum yang tak manis. Entah mengapa, senyum kali ini terasa cuek guys, menyerupai rasa hatiku yang tak enakkan dari kemarin-kemarin. 

"Memang anak zaman kini susah dinasehatin, suka dengan kehidupan yang enggak sehat." Celoteh mamak. 

Mamak kemudian mengahadap ayah, menurutku itu sebuah instruksi yang ditujukan mamak untuk ayah. Agar sekarang, ayah lah yang beralih menasehatiku dengan gaya khasnya. 

Tetapi, Ayahku tetaplah berbeda dengan sosok ayah-ayah lainnya, yang sangat paham betul dengan bahasa ribetnya mamak. Ayah hanya melontarkan senyum dan memberi jempol seraya berkata, 

"Gapapa Kak, ambil aja yang banyak, toh nanti Kakak engga bisa beli ini lagi di sana." Beriringan kemudian senyum khas Pepsodent Ayah yang kalah dengan iklan di Tv.

Ayahku unik, tak seunik ulat bulu juga sih. Ayah suka berkata lelucon. Katanya, dulu ia pernah jadi murid tauladan dalam menebar senyum di sekolahan, entah itu benar adanya. tapi yang lebih unik lagi, ayah menunjukkan sertifikat dalam menjuarai ketauladanan tersebut, sehingga membuatku percaya, bahwa apa yang dikatakanya bukanlah sebuah dagelan belaka.

''Benar juga sih, apa yang dikatakan Ayah." Batinku. Ku tambahkan lagi varian rasa camilan yang banyak micin tersebut ke dalam keranjang jajananku.

Mobil berlaju sederhana, tak cepat ataupun lambat. Jalan menuju kepenginapan rasanya tentram, tak banyak kata yang keluar dari masing-masing penghuni mobil, sanggup jadi alasannya yaitu kelelahan sesudah seharian jalan-jalan.

Oh iya, lupa ku ceritakan. Saat ini, saya dan sekeluarga sedang berada di Medan untuk menunggu jadwal keberangakatanku esok hari dari bandara Kuala Namu. 

Sebenarnya mamak tak sepakat dengan permintaanku jalan-jalan seharian hari ini, menimbang akan lelah yang dirasakan dengan butuhnya tenaga flight esok hari. Tapi lantaran pasukkan perang mendukung, hasilnya terealisasi sudah dan telah berlalu.

***

Sungguh waktu tidur sangat berharga ketika ini, bayangkan saja guys! Kami tiba di penginapan sekitar jam 22.40, dan saya gres sanggup memejamkan mata pukul 00.00. 

Bukan lantaran mengurus barang untuk besok, beda lagi. Kali ini banyak teman sedayahku yang tiba jauh-jauh dari daerah kontrakkannya di Medan untuk memberi ucapan selamat menempuh perjalanan baru. Sedikit ku artikan kata 'menempuh perjalanan baru' di sini terlihat menyerupai ungkapan yang sempurna untuk orang yang akan menikah, tapi saya bukan pergi untuk menikah, serius.


Ku tahan kantuk yang terasa di ujung bulu mata, seperti bulu mataku selayaknya magnet yang ingin menyatu satu sama lain, saking berat dan inginnya terpejam.
Aku teringat kata mamak, "menghargai orang lain itu lebih penting dari kebutuhan diri sendiri, buang ego ke tong sampah dan jangan dicari-cari lagi, apalagi dipelihara." 

Pelajaran yang sanggup ku tangkap dari kata-kata mamak, muliakanlah semua orang, apalagi orang yang memuliakan kita, harus kita muliakan lebih mulia. Maaf untuk kebanyakan kata mulianya, lantaran saya termasuk orang kurang kosa kata dalam berbahasa.

"Fha ini untukmu." Tia menyodorkan sebuah plastik yang ku tak tahu apa isinya.

"Ini apa Tia?" Tanyaku dengan nada penasaran.

"Ini hadiahku untukmu, semoga bermanfaat. Kami pulang dulu ya Fha, jaga diri baik-baik"

Tak usang setelahnya, mereka berlalu untuk pulang. Sungguh teringat aku, bahwa Tia yang merupakan teman baikku itu, juga pernah bercita-cita berguru bersamaku di negeri para anbia, tapi apa hendak dikata, takdir berkata lain. Izin orang renta lah penyebab terhambatnya impian Tia.

***

Sebelum subuh kami sudah jalan menuju bandara, tak lupa mamak meminta ayah singgah di rumah makan. Ku rasa ini yaitu jam makan sahur bukan sarapan pagi, tapi terlampau masuk imsak kalau ini bulan puasa.

Eza adikku tertidur dalam kendaraan beroda empat menuju bandara, biasanya jam segini ia masih tidur pulas di atas kasur, berpelukkan dengan guling imut miliknya. Adikku telah dewasa, tahun ini ia telah menjadi Maha Santri di dayahku dulu. Sebenarnya mamak sedih memasukkan nya ke dayah, lantaran sekilas dari penampilan luar ia terlihat menyerupai anak yang kekurangan gizi. Padahal faktanya, ia yaitu anak yang selalu rusuh denganku dalam hal makanan, mungkin lantaran tak ada satupun antara kami yang mau mengalah.

Ayah yaitu seorang pria yang sangat sweet bagi kami. Sepulang dari kerja, ayah selalu membeli makanan. Entah itu mie spesial, sate madura, KFC, kolding, ataupun cokelat kesukaan kami. Awalnya masing-masing punya belahan tersendiri, tapi kadang kalau bukan saya yang mulai rusuh mengambil belahan Adik, Adik lah yang mulai melarikan bagianku, entahkah itu setusuk sate, ataupun sepotong cokelat.

"Kak, itu teman abang bukan?" Tanya ayah sambil menunjuk ke arah ujung jalan.

"Iya Yah, itu Amah."

Bandara daerah suka dan sedih bertemu, ada yang berpisah ada juga yang kembali. Kau tau? saya suka pertemuan dan perpisahan, itu sebabnya ku putuskan pisah dahulu semoga nanti akan bertemu kembali.

Jauh sebelum hari keberangkatan, saya pernah bertanya pada mamak, "Mak, nanti kalau Kakak pergi, kayaknya Mamak engga sedih ya, soalnya teman abang semua curhat ke kakak, kata nya Mamaknya sudah nangis-nangis jauh-jauh hari sebelum kami berangkat."

Seketika mata mamak berkaca-kaca, kemudian berkata "Kak, Mamak engga mau lah nangis depan Kakak, Mamak selalu suruh abang untuk kuat, tapi Mamak lemah, kan engga keren kali." Jawab mamak dengan nada sedikit parau lantaran sedang menahan tangis.

Itulah sebabnya dari awal kelulusanku hingga kini, tak ku dapati sedikit pun kata sedih terlontar dari verbal mamak. Belum tahu dengan hari ini.

Singkat cerita, kami flight.

Aku tak perlu menceritakan kisah perpisahanku di bandara, kamu tahu mengapa? Aku takut kamu akan sangat terharu dan alergi untuk merantau.

***

"Fha, ada pegang minyak angin?" Ammah meminta minyak angin, sepertinya Ammah pusing sesudah berjam-jam di dalam pesawat.

"Ada Mah, tunggu saya ambil di tas dulu ya."

Tas besar dan tas samping milikku ku pangku sendiri, alasannya yaitu di dalam bus kami duduk berdempetan tak ada lagi daerah untukku meletakkan tas besar. Kucari minyak kayu putih yang kumasukkan tadi di bandara, puasku mencari tak kunjung ku temui. Ku masukkan tangan ke dalam tas meraba-raba. 

“Hah, apa ini? Seperti cokelat yang biasa ayah beli, tapi saya engga beli cokelat sama sekali.” Batinku. 

Ku keluarkan benda yang menurutku menyerupai cokelat tersebut. Aku tersentak, haru, kaget, kagum, menjadi satu dengan tetesan air mata. Ternyata itu yaitu cokelat dari Eza adikku. Tertulis di bungkusan luar cokelat tersebut sebuah tulisan, 

"Kak, ini untuk Kakak, dan cokelat ini tak akan kita rebutkan lagi."

Ah, sungguh saya terhenyak. Kini gres kurasakan, bahwa adegan rebut- rebutan kuliner yang kerap terjadi di rumahku dahulu, terasa layaknya nirwana dunia bagiku ketika ini.

Maka Sobat… Pesanku, Hargailah ia yang ketika ini bersamamu, alasannya yaitu kalau telah berpisah kamu akan rindu dengan kehadirannya. Jangan sepertiku![]



*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 1 jurusan Lughah Arabiah 















banner
Previous Post
Next Post