Renungan!
Dari cerita Ummu Mihjan atau Ummu Mihjanah,
Wanita yang tinggal di Madinah yang lemah dan miskin, sang penyapu masjid, sosok yang dicari dan disholati jenazahnya oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana kisahnya disebutkan dalam Hadits riwayat Imam Muslim di atas, mari kita merenung dalam rangka mencontoh perhatian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perempuan yang lemah dan miskin tersebut, dengan bertanya kepada diri sendiri :
Seberapa banyak dari kita yang sudi memperhatikan orang lemah, miskin, rakyat jelata berprofresi tukang sapu di masjid, dan jalan raya?
Berapa banyak dari kita yang mau menyalaminya, tersenyum, menanyakan kabarnya, dan rela membantu memenuhi kebutuhannya?
Kalaupun telah banyak kita lakukan, seberapa banyak yang kita lakukan dengan ikhlas, dan atas dasar kasih sayang yang tulus lantaran Allah?
Padahal sanggup jadi, orang yang dianggap remeh kedudukannya di mata manusia, ternyata mulia di sisi Allah, bahkan sanggup jadi ia lebih mulia dan lebih senang daripada kita di sisi Allah!
Maka saat kita memperhatikan dan menolongnya, maka sanggup jadi kita itu sedang menolong orang lemah , namun dimuliakan oleh Rabbus samawati wal ardh!
Hadits Mush'ab bin Sa'ad rahimahullah
Simaklah Hadits riwayat Imam Al-Bukhari rahimahullah (2739) di kitab Shahihnya (penomoran dalam kitab Fathul Bari) berikut ini :
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ
Dari Mush'ab bin Sa'ad berkata : Sa'ad radhiyallahu anhu menyangka dirinya mempunyai “kelebihan (fadhl)” melebihi sobat lainnya (orang-orang yang miskin dan lemah, pent.).
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ
Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki semata-mata lantaran orang-orang lemah diantara kalian?
Penjelasan Hadits Mush'ab bin Sa'ad rahimahullah
Maksud orang yang lemah didalam hadits ini
Dan maksud orang yang lemah didalam hadits ini ialah orang yang lemah badan, jiwa/akal, dan keadaan materi, lantaran konteksnya wacana perang dan didapatkannya rezeki.
Dan tiga kekuatan itu dibutuhkan untuk menang perang dan mencari rezeki, namun dalam hadits ini ada lantaran lain untuk meraih kemenangan dalam perang maupun mendapat rezeki sebagaimana yang nampak terang dalam hadits ini.
Oleh lantaran itu Imam Al-Bukhari rahimahullah membawakan hadits ini dalam kitab Shahihnya di bawah judul pecahan :
“Memohon pertolongan (kepada Allah) dengan tunjangan orang-orang lemah dan sholih dalam peperangan”.
Ar-Raghib rahimahullah berkata:
والضعف يكون في البدن وفي النفس وفي الحال
“Dan 'lemah' itu sanggup meliputi lemah di badan, jiwa/akal, maupun keadaan (materi)”
Berkata Syaikh Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih :
“semata-mata lantaran orang-orang lemah diantara kalian!”, maksudnya ialah semata-mata lantaran adanya keberkahan (doa,sholat, dan ibadah) orang-orang lemah dan miskin diantara kalian!”
Tarbiyyah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya dan kaum muslimin
Sa'ad yang dimaksud dalam hadits ini ialah Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, sobat yang mulia dan termasuk salah satu dari sepuluh sobat yang mendapat kabar masuk surga.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi perhatian tarbiyyah yang besar kepadanya, oleh lantaran itu semua bentuk pendidikan yang bermanfaat bagi meningkatnya keimananannya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepadanya.
Dan hakekatnya dalam hadits ini terdapat tarbiyyah bagi para sahabatnya lainnya dan kaum muslimin.
Berkata Ath-Thibi rahimahullah dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih :
قوله إن له فضلا أي شجاعة وكرما وسخاوة ، فأجابه صلى الله تعالى عليه وسلم بأن تلك الشجاعة ببركة ضعفاء المسلمين ، وتلك السخاوة أيضا ببركتهم ، وأبرزه في صورة الاستفهام ليدل على مزيد التعزير والتوبيخ
“Ucapan (Mush'ab bin Sa'ad) : “ Sa'ad radhiyallahu anhu menyangka dirinya mempunyai kelebihan” , maksudnya ialah keberanian, dan kedermawanan (sehingga ingin mendapat rampasan perang yang lebih banyak, menurut klarifikasi Al-Hafizh Ibnu Hajar, pent.).
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawabnya bahwa keberanian itu ialah dengan lantaran keberkahan yang dianugerahkan kepada orang-orang lemah kaum muslimin, demikian pula kedermawanan itu juga lantaran keberkahan yang dianugerahkan kepada mereka.
Dan disebutkan klarifikasi ini terhadap Sa'ad radhiyallahu 'anhu ini dalam bentuk pertanyaan (yang mengandung abolisi dan pengecualian, pent.) untuk menyampaikan teguran, dan tidak terpujinya hal itu, secara lebih tegas”.
Dalam Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan perkataan Ibnul Muhallabi:
أَرَادَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ حَضَّ سَعْدٍ عَلَى التَّوَاضُعِ وَنَفْيِ الزَّهْوِ عَلَى غَيْرِهِ وَتَرْكِ احْتِقَارِ الْمُسْلِمِ فِي كُلِّ حَالَةٍ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan dengan sabdanya tersebut mendorong Sa'ad untuk bersikap rendah hati (tawadhu'), dan tidak merasa besar diri di atas selainnya, serta tidak merendahkan seorang muslim bagaimanapun keadaannnya!
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menyatakan:
وعلى هذا فالمراد بالفضل إرادة الزيادة من الغنيمة فَأَعْلَمَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ سِهَامَ الْقَاتِلَةِ سَوَاءٌ فَإِنْ كَانَ الْقَوِيُّ يَتَرَجَّحُ بِفَضْلِ شَجَاعَتِهِ فَإِنَّ الضَّعِيفَ يَتَرَجَّحُ بِفَضْلِ دُعَائِهِ وَإِخْلَاصِهِ
“Atas dasar hadits (Abdur Razzaq) ini, maka yang dimaksud “kelebihan (fadhl)” dalam hadits (Mush'ab bin Sa'ad) ini ialah keinginan mendapat harta rampasan perang melebihi lainnya.
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada Sa'ad bahwa andil tiap tentara yang ikut perang ialah sama (pentingnya).
Apabila tentara tersebut ialah orang kuat, maka ia mempunyai kelebihan berupa keberanian yang melebihi selainnya. Sedangkan apabila tentara tersebut ialah orang yang lemah, maka iapun mempunyai kelebihan berupa (keistimewaan) doanya dan keikhlasannya!”.
Hakekat kemenangan peperangan dan didapatkannya rezeki dari Allah Ta'ala
Imam Al-Bukhari rahimahullah membawakan hadits ini dalam kitab Shahihnya di bawah judul pecahan :
“Memohon pertolongan (kepada Allah) dengan tunjangan orang-orang lemah dan sholih dalam peperangan”.
Oleh lantaran itu, konteks hadits ini wacana peperangan.
Hakekatnya dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan bahwa hakekat lantaran kemenangan peperangan itu ada dua macam: yaitu
Sebab Pertama : lantaran yang zhahir materiil, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Anfaal:60.
Dan diantara kelebihan Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu adalah keberanian, dan kehebatannya dalam peperangan.
Kelebihan Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu ini tidaklah dipungkiri oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Namun perlu diketahui, bahwa lantaran zhahir inilah yang mendominasi kebanyakan hati manusia, sampai dikhawatirkan ada keyakinan seakan-akan inilah lantaran satu-satunya meraih kemenangan.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan lantaran kemenangan peperangan yang lainnya,
Sebab Kedua, yaitu : lantaran yang ajaib maknawi, inilah lantaran yang pokok dan lebih penting!
Sebab maknawi ini berupa : bersandarnya hati dan tawakalnya kepada Allah semata, keyakinan kepada Allah yang sempurna, dan kekuatan menghadapnya hati kepada Allah.
Sebab jenis inilah yang biasanya berpengaruh ada pada orang-orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan lantaran zhahir materiil, sehingga mereka tidak bergantung kepada kekuatan zhahir mereka dan tidak pula bersandar kepada kekuatan zhahir makhluk lainnya!
Tidak ada kekuatan yang mereka bangga-banggakan dan sombongkan.
Justru keadaan lemah inilah yang menghantarkan mereka kepada legalisasi yang tepat bahwa diri mereka tidak berdaya sedikitpun bila tidak ditolong Allah, dan bahwa kemenangan itu semata-mata atas pertolongan Allah, dan merekapun lebih berpengaruh dalam mendekatkan diri dengan tulus kepada Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Kaya!
Oleh lantaran itu orang-orang lemah dan miskin lebih gampang hatinya bersandar hanya kepada Allah, pengharapan ubudiyyah merekapun hanya kepada Allah, sehingga lebih tulus dalam berdoa, dan lebih khusyu' dalam beribadah, lantaran kosongnya keterikatan hati mereka dengan selain Allah!
Sedangkan orang-orang kaya dan kuat, lebih terbuka peluang untuk kagum dan membanggakan kekuatan fisik dan bahan mereka, sehingga sanggup melemah tawakal mereka kepada Allah, dan lebih berpotensi untuk menyandarkan keberhasilan dan kemenangan kepada kekuatan mereka!
Dan semisal inilah prinsip dalam mendapat rezeki, bahwa lantaran untuk mendapat rezeki itu ada yang zhahir dan ada yang maknawi. Dan salah satu lantaran seseorang diberi rezeki oleh Allah ialah doa, sholat dan keikhlasan orang-orang yang lemah dan miskin.
Oleh lantaran itu keberadaan orang-orang yang lemah, miskin, dan cacat fisik di tengah-tengah keluarga dan masyarakat hakekatnya bukanlah beban, justru keberkahan, kemenangan, dan rezeki sanggup didapatkan melalui doa, sholat, dan keikhlasan ibadah mereka.
Maka mari kita perhatikan, urus, sayangi, jaga, penuhi hak-hak mereka, berbuat baik kepada mereka, rendah hati kepada mereka dan tidak menyombongkan diri kepada mereka!
Bantuan apa yang diperlukan dari orang-orang lemah dan sholih untuk mendapat pertolongan Allah dan rezeki-Nya?
Hal ini sanggup kita ketahui dari riwayat lain terkait dengan hadits ini :
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلاتِهِمْ وَإِخْلاصِهِمْ
Semata-mata Allah menolong umat ini melalui orang lemah diantara mereka, dengan doa mereka, sholat mereka, dan keikhlasan mereka! [HR. An-Nasai, dishahihkan Al-Albani].
Dalam riwayat lainnya :
هَلْ تُنْصَرُونَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ بِدَعْوَتِهِمْ وَإِخْلاَصِهِمْ
Bukankah kalian ditolong semata-mata lantaran adanya orang-orang lemah diantara kalian, (yaitu) dengan doa mereka dan keikhlasan mereka? [HR. Abu Nu'aim di Hilyah, dishahihkan Al-Albani].
Berkata Ibnu Baththal rahimahullah :
تَأْوِيلُ الْحَدِيثِ أَنَّ الضُّعَفَاءَ أَشَدُّ إِخْلَاصًا فِي الدُّعَاءِ وَأَكْثَرُ خُشُوعًا فِي الْعِبَادَةِ لِخَلَاءِ قُلُوبِهِمْ عَنِ التَّعَلُّقِ بِزُخْرُفِ الدُّنْيَا
“Tafsir Hadits ini bahwa orang-orang lemah itu lebih tulus dalam berdoa, dan lebih khusyu' dalam beribadah, lantaran kosongnya keterikatan hati mereka dengan embel-embel dunia!”
Ibnul Muhallabi rahimahullah menjelaskan :
وَأخْبر، صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، أَن بدعائهم ينْصرُونَ وَيُرْزَقُونَ، لِأَن عِبَادَتهم ودعاءهم أَشد إخلاصاً وَأكْثر خشوعاً لخلو قُلُوبهم من التَّعَلُّق بزخرف الدُّنْيَا وَزينتهَا، وصفاء ضمائرهم عَمَّا يقطعهم عَن الله تَعَالَى: جعلُوا هَمهمْ وَاحِدًا
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dengan lantaran doa orang-orang lemah, mereka ditolong dan diberi rezeki, lantaran ibadah dan doa mereka lebih tulus dan lebih khusyu', lantaran kosongnya keterikatan hati mereka dengan embel-embel dunia, dan murninya hati mereka dari segala hal yang menetapkan relasi mereka dengan Allah Ta'ala, sehingga tekad mereka hanya satu saja (menggapai ridho Allah dan pahala-Nya, pent.)
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu
Dalam hadits lainnya, disebutkan :
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كَمْ مِنْ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِي طِمْرَيْنِ لَا يُؤْبَهُ لَهُ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ مِنْهُمْ الْبَرَاءُ بْنُ مَالِكٍ
Berapa banyak orang yang berantakan rambutnya, berdebu badannya, mengenakan sepasang baju usang, lagi tak dihiraukan manusia, namun seandainya ia menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan jadikan sumpahnya itu konkret terjadi! Diantara orang yang menyerupai ini ialah Al-Bara' bin Malik. [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani]
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
Dalam hadits riwayat Imam Muslim rahimahullah (2622),
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
رُبَّ أَشْعَثَ ، مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
Bisa jadi orang yang berantakan rambutnya, dan tidak dipersilakan masuk (tak disambut) bila ia berada di depan pintu rumah orang, namun seandainya ia menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan jadikan sumpahnya itu konkret terjadi!
Penjelasan Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
1. Maksud 'tak dipersilakan masuk bila berada di depan pintu rumah orang' adalah seandainya ia berada di depan pintu rumah orang, ia tak akan dipersilakan masuk rumah dan tak disambut, lantaran ia tidak dikenal, tidak mempunyai kedudukan tinggi di mata banyak orang, dan disepelekan banyak manusia.
Syaikh Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih mengatakan :
أي : ممنوع منها باليد أو اللسان والمعنى أنه لا يدخله أحد في بيته لو فرض وقوفه على بابه من غاية حقارته في نظر الناس ، وذلك لما أراد الله ستر حاله عن الخلق لئلا يحصل له بالغير شيء من الاستئناس ، فيحفظه من الوقوف على أبواب الظلمة وأكل الحرام ، كما يحمي أحدنا المريض عن استعمال الطعام ، فلا يحضر إلا باب مولاه ، ولا يسأل عما سواه من كمال غناه
“Maksudnya ialah dicegah dari masuk kedalam pintu rumah orang, baik dicegah dengan tangan maupun dengan verbal manusia.
Itu berarti andaikata ia berada di depan pintu rumah orang, maka tidak ada satupun orang yang sudi mempersilakan masuk kedalam rumahnya, lantaran ia sangat disepelekan manusia.
(Hikmahnya adalah) Allah hendak menutupi dari pengetahuan insan keadaan hamba tersebut yang sesungguhnya, supaya ia tidak dikenal bersahabat oleh orang, sehingga Allah jaga ia dari berada di pintu rumah (mendatangi rumah) orang-orang zholim dan pemakan harta haram, sebagaimana Allah menjaga salah seorang diantara kita yang sedang sakit dari memakan makanan tertentu (yang membahayakan kesehatannya).
Maka ia tidaklah hadir kecuali di depan “pintu masuk” menghadap Rabb nya, dan ia tidaklah meminta selain-Nya (ridho dan pahala-Nya), lantaran (ia yakin terhadap) kesempurnaan kemahakayaan-Nya!”
Beliaupun menjelaskan makna yang tidak tepat dari hadits ini :
وليس المراد منه أنه يأتي أبواب أرباب الدنيا فيطردونه عنها ، ويدفعونه عن دخوله منها ، فإن الأولياء محفوظون ، عن هذه المذلة وإن كان قد يقع لبعضهم من اختيار أرباب الملامة أو ممن صدر عنه الذلة
“Bukanlah maksudnya : ia mendatangi pintu-pintu rumah mahir dunia, kemudian mahir dunia itu mengusirnya dan menolaknya masuk kedalam rumah mereka, (bukan ini yang dimaksud) lantaran wali-wali Allah itu dijaga (oleh Allah) dari kehinaan menyerupai ini! Meskipun terkadang ini terjadi pada sebagian mereka lantaran karena pilihan orang-orang yang tercela atau orang yang terhina!”
2. Maksud dari : namun seandainya ia menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan jadikan sumpahnya itu konkret terjadi!
Berkata An-Nawawi rahimahullah :
أي لو حلف على وقوع شَيْءٍ أَوْقَعَهُ اللَّهُ إِكْرَامًا لَهُ بِإِجَابَةِ سُؤَالِهِ وَصِيَانَتِهِ مِنَ الْحِنْثِ فِي يَمِينِهِ ، وَهَذَا لِعِظَمِ مَنْزِلَتِهِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى ، وَقِيلَ مَعْنَى الْقَسَمِ هُنَا الدُّعَاءُ ، وَإِبْرَارُهُ إِجَابَتُهُ
“Maksudnya seandainya ia menyumpahi terjadinya sesuatu, maka pasti Allah akan jadikan sumpahnya itu konkret terjadi, untuk Allah muliakan dengan merealisasikan permintaannya, dan untuk Allah jaga ia supaya tidak menyelisihi sumpahnya, dan ini lantaran demikian tingginya kedudukannya di sisi Allah Ta'ala.
Ada ulama yang beropini bahwa makna sumpah disini ialah doa, sedangkan maksud (Allah) merealisaikannya ialah mengabulkan doanya.”
3. Maksud : menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah dan hukumnya
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa Al-Iqsam 'alallah (menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah ) ialah seorang menyampaikan : “Demi Allah, tidak akan terjadi insiden demikian dan demikian!” atau “Demi Allah, Allah tidak akan melaksanakan demikian dan demikian!”.
Hukum menyumpahi sesuatu menyerupai ini ada dua macam Pertama,
Apabila pendorong bersumpah ialah kuatnya kepercayaan orang yang bersumpah kepada Allah, dan kekuatan imannya kepada Allah, disertai dengan legalisasi kelemahan dirinya di hadapan Allah, serta tidak mengharuskan kepada Allah sesuatu apapun dan tidak memaksa Allah atas sesuatu perkara. Maka menyumpahi sesuatu dengan menyebut nama Allah menyerupai ini hukumnya boleh.
Kedua,
Apabila pendorong bersumpah ialah orang yang bersumpah tertipu dan terkagum-kagum terhadap kebaikan diri sendiri (membanggakan diri), ia merasa bahwa ia berhak mendapat dari Allah keadaan tertentu yang diharapkannya.
Maka ini -wal 'iyadzu billah- diharamkan, bahkan terkadang sanggup menggugurkan amal!
Bagaimana cara mendapat pertolongan Allah dan rezeki-Nya melalui orang-orang lemah?
Hal ini sanggup kita ketahui dari hadits berikut ini :
Dari Abu Darda' berkata saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ابغوني الضُّعفاءَ، فإنَّما تُرزَقونَ وتُنصَرونَ بضُعفائِكُم
Carikanlah untukku orang-orang lemah (diantara kalian), lantaran kalian diberi rezeki dan ditolong senata-mata dengan lantaran adanya orang-orang lemah diantara kalian! [Shahih Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani].
Ulama menjelaskan salah satu kandungan hadits ini - sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih - ialah bahwa dalam hadits ini terdapat perintah untuk berbuat baik kepada mereka dan membantu mereka. Serta perintah untuk menjaga hak-hak mereka dan menutupi kesedihan hati mereka.
Berkata Syaikh Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih menjelaskan hadits Mush'ab bin Sa'ad rahimahullah :
وحاصله أنه إنما جعل النصر على الأعداء ، وقدر توسيع الرزق على الأغنياء ببركة الفقراء ، فأكرموهم ولا تتكبروا عليهم
“Kesimpulannya bahwa Allah jadikan kemenangan melawan musuh (kaum muslimin) dan Allah menetapkan kelapangan rezeki bagi orang-orang kaya ialah dengan lantaran keberkahan (doa dan ibadah) orang-orang miskin, maka muliakanlah mereka dan jangan bersikap sombong kepada mereka!”.
Dengan memperhatikan orang-orang lemah, mengasihi mereka, berbuat baik kepada mereka, membantu mereka, menjaga hak-hak mereka dan menutupi kesedihan hati mereka, maka semoga Allah menolong kita dan memberi rezeki kepada kita melalui doa mereka , serta keikhlasan dan kekhusyu'an mereka dalam berdoa, sholat, dan beribadah!
Sehingga satu hal yang perlu kita pahami dari hadits ini, bahwa tertolongnya dan menangnya kaum Muslimin bukanlah semata-mata lantaran karena dzat dan kedudukan atau kehormatan orang-orang shalih yang lemah dan miskin dari kaum Muslimin.
Bukan lantaran hal itu. Ini harus kita perhatikan, lantaran erat kaitannya dengan permasalahan ‘aqidah.
Maka Hadits ini bukan dalil atas bolehnya seseorang bertawassul dengan dzat atau kedudukan dan kehormatan orang-orang shalih yang lemah dari kaum Muslimin.(baca wacana peringatan tawassul yang salah di atas pada https://almanhaj.or.id/3078-kemenangan-umat-Islam-dengan-sebab-orang-lemah-diantara-mereka.html)
(Bersambung, in sya Allah)