Tuesday, 17 September 2019

Dekapan Adat Sang Penyayang

Oleh : Muhammad Farhan Sufyan* 

(Image Source : Google)

"Bahwa semua amalan itu tak ditinjau dari berapa hebat hasilnya. Tapi selama prosesnya lantaran Allah serta ikhlas. Rasanya akan sangat berbeda. Bahkan ada nilai-niai kebaikan yang tiba tanpa disangka."



Sejak tadi pandanganku tak jenuh memerhatikan awan yang mengapung di udara. Mereka tak terikat dan terbebas kemana saja, sesuka hati. Sesekali tatapanku tembus menerjang kendala awan yang menghilang. Di sana tampak gedung-gedung besar tegak mempesona. Aku yakin, bagi siapapun yang melihatnya tak akan kunjung bosan. 


Pesawat ini akan segera mendarat usai keberangkatan pukul 12.00 Clt malam, dari bandara Cairo International Airport. Mendarat di Banda Kuala lumpur. Dan kini sempurna di bawah atmosfer tanah rencong, Banda aceh. 

Lelah telah menjadi sahabat semasa kehidupan di Mesir. Delapan tahun ialah waktu yang usang bagi sebagian orang. Namun tidak bagiku. Untuk menjadi seorang yang mumpuni dalam ilmu agama memang itulah salah satu syaratnya. Karena al ‘Alim itu tak hanya cerdik dan kritis. Akan tetapi, budpekerti dan etika harus selalu menjadi prioritas diri. 

"Al-adabu fawqal ilmi" 

Begitulah kata pepatah yang telah menjadi serapan keseharian. Kata yang singkat, tapi mengandung makna yang hebat. Singkat, padat tapi meluas dan susah diterapkan. Hanya bagi orang yang berpendirian tegak bisa menggapai. 

Teleponku berdering. Dari Umi. 

Kuangkat dan menyapanya dengan salam penuh kehangatan. 

“Assalamualaikum Umi” 

“Waalaikumussalam, kau pulang pake taksi saja ya? umi sibuk ga bisa menjemputmu di bandara. Bisa, Rusydi ?” 

“Iya, baik umi.” 

Ini ialah kepulanganku yang kelima dan terakhir, tapi selalu saja. Beliau berhalangan untuk menjemputku. Barangkali umi memang sedang sibuk. Kucoba tenangkan hati yang bergejolak berprasangka. 

Selama di Mesir, saya juga hidup berkecukupan. Menjadi seorang karyawan di resto kepemilikan orang jawa. Hari-hari selalu kubagi dengan pekerjaan dan perkuliahan serta mengimbangi dengan talaqqi. Perolehan honor hanya mencukupi diri untuk naik bus, beli kitab dan kebutuhan pokok lainnya. Tak pernah kujajaki seluruh daerah wisata. 

Itulah mengapa waktu yang kutempuh selama di Mesir jauh berbeda dengan saudara kembar yang berkuliah di Jakarta. Semenjak saya menentang kemauan Ibunda untuk tidak ke Mesir. Dirinya membatasi pengiriman uang untukku. 


*** 



Namaku Andre. Mahasiswa pascasarjana di Universitas Islam terkemuka seantaro Indonesia. Aku telah menghabiskan waktu dalam berguru sebanyak 6 tahun. 3 tahun untuk strata 1, dengan lompat kelas dan 4 tahun sampai sekarang. Menyusun tesis menjadi babak tamat penentuan gelar magister di jurusan tafsir. 


Semenjak di pesantren. Aku selalu menjadi orang nomor satu, baik di kelas maupun di jenjang menengah dan atas. Diriku merupakan alumni yang teruji dan menerima nilai tertinggi di seluruh pelajar se-Banda aceh. Tak heran, diriku menerima undangan tanpa seleksi ke ibu kota negara. 

Ibu kota metropolitan yang serba gampang dan tak perlu usaha dan pengorbanan. Apalagi diriku, dengan kejeniusan ini, saya sanggup berleha-leha dalam segala acara yang rumit di mata orang lain. Lah, walaupun ada suatu hal yang mendesak. Cukup minta dukungan dari mitra dan berikan ia sebongkah nilai rupiah sebagai ganjaran. Hidup ini jangan terlalu dibebani. Toh, saya masih punya ibu yang mengirimkan dana yang cukup untuk kehidupan. Yang penting prestasiku selalu melonjak. 

Umi sangat terpukau dengan segala prestasiku. Ke mana saja, diriku selalu menjadi buah bibir di kalangan orang. Itu lantaran umi tak sungkan memuji kehebatanku yang sanggup diandalkan. Lain halnya dengan saudara kembarku, Rusydi. 

Abang bodoh yang tak sanggup diperlukan oleh seorang adik. Entah tertukar DNA, dirinya menjadi bual-bual temanku sejak di pesantren. Dia tak bisa diperlukan dalam segi kejeniusan dan kepintaran. 

Cuma satu talenta yang ia miliki, konsisten berbahasa Arab. Kemana saja ia pergi, selalu dengan kosakata dan berbicara sendiri. Seperti orang gila yang tak tau arah hidup. Tak hanya itu, omong kosong akan impiannya untuk ke Mesir dan menjadi orang ‘alim selalu menjadi tujuan yang tak pernah berubah. Walau Umi menentang. Dirinya tetap memaksa untuk kesana. 

Kami hidup bertiga, Abi telah duluan berpulang ke hadirat Allah. Yang kusayangkan selama di sana ia tak pernah diberikan kasih sayang dari umi. Dan lagi, lantaran kedunguannya. Dia rela menghabiskan delapan tahun hanya untuk sarjana. 

Aku tak tau, apa yang ada dipikirannya. Apa yang ia inginkan dalam kehidupannya. Sehingga ia mau mendapatkan banyak sekali resiko hanya demi mimpi-mimpi anehnya. Ah, saya hanya bisa menghela napas mendengar nasibnya. Sungguh miris. 

Seharusnya ia telah tiba di bandara. Hari ini kepulangan permanennya dari Kairo. Katanya, ia tak akan kembali lagi ke negara gurun panas dan bodoh di benua afrika itu. Kucoba untuk menghubunginya. Mungkin ia butuh pinjaman dariku. Ya hitung-hitung bisa kujadikan hutang bergilir dengannya. 

Argh, sial. Dia tak menjawab teleponku. 


*** 


Hari itu, seorang perempuan paruh baya sedang berbincang dengan kerabat dekatnya. Arah pembicaraannya tak jelas. Tapi kerabatnya sangat terkesima dengan banyak sekali kesan kebanggaan yang diutarakan. Tampak perempuan itu pun merasa dirinya tersanjung ketika terpaan ketakjuban menghampiri. 


“Oh, untuk menyambut kepulangannya akan ada tasyakuran ya, Buk?” 

“Iya, anakku yang di Jakarta memang sangat berbakat.” 

“Beruntung ya Buk, punya anak yang sangat jenius. Boro-boro anakku bisa” 

“Oh jelas, Andre telah menjadi bintang kelas dikala di pesantren.” 

“Jadi, bagaimana dengan anak Ibuk yang gres pulang dari Mesir ?” 

Wanita itu menghela napas panjangnya. Ia berbisik pelan ke kerabatnya yang bertanya. Sosok yang kerap disapa Ibu Maimunah memperlihatkan raut mukanya yang meradang. 

“Oh iya?” Gumam kerabatnya tercengang. 

“Aku kecewa sama dia. Delapan tahun ia habiskan hanya untuk sarjana.” Ujar Ibu Maimunah tak puas. 

“Tapi sejak kepulangannya, masjid menjadi aktif, Bu” sanggah Ibu berkacamata. 

“Eeh iya loh buk. Para perjaka yang kebiasaanya nongkrong di warkop pun sudah banyak yang ke masjid” 

“Warkop di bawah masjid itu ?” 

“Iya” 

“Kalau cuma itu, saya yakin Andre bisa melakukannya. Lha, Jauh-jauh ke negeri orang cuma bisa menjadi marbot tanpa penghasilan.” Keluhnya sembari bangun dan mengambil kunci dalam tas kecil. 


“Tapi, apa ia bisa untuk menjadi orang populer dan hebat menyerupai Rusydi?"

"Tentu, berdasarkan Kabar anakku yang di Jakarta ini, ia telah direkrut oleh salah satu universitas di Banda aceh untuk menjadi Dosen.” 



Kerabatnya hanya mengangguk mengiyakan. Kini, dirinya mengambil beberapa rupiah serta diserahkan ke tukang sayur. Terus ia berpamitan menuju kereta Vario merah jambu yang dihadiahkan mendiang suaminya. 


Tangan kanannya menggandeng kantong hitam besar yang berisi daging dan bumbu pelengkapnya. Sedangkan tangan kiri mengepal beberapa daun pandan yang didapatnya dari kerabat tadi. 

Lusa Andre akan kembali dari Jakarta. Ia harus bergegas kembali ke rumah dan menyiapkan banyak sekali hidangan sajian kuliner untuk menyambut anak kesayangan. Dirinya juga akan merasa sangat terhormat. Bagaimana tidak, beberapa kerabat telah diundang menghadiri program tasyakuran. 

***



Rumah kotak berwarna putih itu tampil cerah. Tak hanya dindingnya yang putih dan bewarna cemerlang. Di sana juga tampak perjaka yang telah bersiap diri menghadiri panggilan ilahi. Tampilannya lah yang menciptakan rumah itu cerah dan semakin bewarna. Peci putih, sarung hitam dan baju batik putih menempel menawan. Aura kewibawaan juga hinggap ditambah Jenggot tipis nan rapi. Namanya Rusydi. 


Dirinya sedang menunggu ibunda tercinta. Ia ingin ke masjid, tapi jaraknya yang jauh mengharuskannya menunggu kereta. 

Siang ini, ia harus cepat. Masjid butuh seorang muadzin dan imam suka relawan, tanpa upah dan honor tetap. Jika tidak, maka akan sepi tak ada yang datang. Semenjak di Cairo dirinya juga selalu sempurna waktu dalam masalah shalat lima waktu. 

“Kamu mau ke masjid ?” Ujar sosok tercinta yang biasa dipanggil Umi. 

“Iya, umi” 

“Ditunda aja. Toh, bukan tanggung jawab. Umi butuh dukungan kamu. Andre lusa akan kembali dari Jakarta. Kita akan adakan tasyakuran.” 

“Tapi, Umi..” 

“Kamu keberatan? ya sudah, umi ga melarang. Padahal umi sangat berharap...” 

Rusydi beristighfar dan menurut. Dirinya menunduk dan meminta maaf. Dia tau, taat kepada orang renta lebih dahulu. 


*** 




Dua bulan berlalu. Andre telah pulang dari Jakarta. Tasyakuran telah usai dan berjalan lancar. Sesuai perkataan, Andre kini menjadi dosen tetap di salah satu universitas. Kesibukan menjadi jati diri. Tak pernah pulang ke rumah. Dan hanya mengirim pesan lewat telepon genggam, itu pun hanya demi kepentingan. 


Walau begitu ia tetap menjadi anak yang tersayang. Ibu Maimunah terus memuji kehebatannya di khalayak umum. Dia gembira mempunyai anaknya yang sudah terkenal. Dan terjamin masa depannya. 

“Umi, Andre besok pulang. Tolong siapkan hidangan kuliner ya? lantaran Andre bawa rekan kantoran.” Suruhnya lewat panggilan telepon yang mendesak. 

“Iya, Nak. Tapi Umi tak punya cukup uang untuk belanja.” 

“Umi pakai saja tabungan haji. Besok Andre bayar semua” 

“Tapi Nak, itu...” 

“Mi! Andre gak minta. Tapi ngutang, tau?” Bentak Andre dan seketika tetapkan panggilan. 

Dengan tertatih, perempuan itu menyiapkan banyak sekali sajian hidangan Istimewa kepulangan anaknya. Rusydi ikut bantu dan meminjamkan uang seadanya. Dengan hati yang berat, ia hanya terpana melihat anak pertamanya yang selalu hadir menemani dirinya. Walau dirinya membenci, tapi Rusydi selalu ada di dikala ia butuh. 

Tiga hari telah usai. Rekannya telah balik. Sementara Andre masih menetap di rumahnya. Dia dan beberapa rekannya cuti untuk beberapa hari. 

“Andre, mari kita ke masjid. Di sana kau yang ngimam nantinya,” ajak Rusydi. 

Dia berpikir sejenak dan menyetujuinya. Keduanya berangkat mengendarai Vario milik Ibundanya itu. 

Tiba di masjid. Andre eksklusif ditunjuk menjadi imam oleh kakak kandungnya. Andre membalikkan badannya ke hadapan jamaah. Dia memandang sekilas, kebanyakan perjaka yang menjadi makmum. 

Andre membaca ayat yang sangat panjang. Satu rakaat dihabiskan dalam satu halaman Alquran. Usai salam, ia membalikkan tubuh lagi dan menatap jamaah. 

“Kenapa gak kau aja yang imam Rusydi? ia kagak bisa imam. Panjang amat dibacanya. Jangan sok alim kau orang sombong. Belagak diri seolah orang terhebat di kampung” seorang perjaka bangun dan berkomentar keras. 

“Apa kamu? mau ajak ribut? gres kemarin taubat, sok suci kalian.” Balas Andre.

“Ajak berantem ni orang” 

Tampak beberapa perjaka bangun ingin menghajar Andre. Tak tinggal diam, Rusydi juga ikut serta memecahkan permasalahkan. Dia menenangkan beberapa perjaka serta melerai antar keduanya. Rusydi mengajak berbincang nyaman dan tenang dengan perjaka itu. Laksana mata pisau nan runcing, kata-katanya seumpama menusuk hati perjaka dan meminta mereka untuk tenang, tak salahnya sesekali berdiri usang mengingat Allah. Mereka menurut. Tapi dengan syarat, Andre tak pernah lagi menjadi imam. 

Suasana telah damai. Para perjaka itu juga telah keluar dari masjid. Rusydi mendekati Andre dan menasehatinya baik-baik. 

“Jangan sok sholeh bang.” celutuk Andre. 

“Aku cuma memberi nasihat. Kamu harus paham mereka gres saja hijrah. Butuh waktu untuk itu semua” 

“Ah sudahlah. Aku besok mau balik ke Banda aceh. Tak akan ada perubahan jikalau selamanya menetap di kampung brengsek dan ketinggalan jaman ini” 

Keesokan harinya, Andre kembali ke kantor. Dia belum bisa membeli kereta pribadi, jadi hanya angkutan umum yang menjadi tranportasi andalannya. 

Dalam perjalanannya, ia mendapatkan panggilan dari nomor tak dikenal. 

“Halo, dengan siapa?” 

“Kami dari pegawanegeri kepolisian, meminta anda untuk kembali ke rumah. Jika tidak, seluruh anggota rumah akan kami tahan. Waktu anda 30 menit.” 

“Andreee....” 

Jiwanya linglung dan resah. Sesaat panggilannya berlangsung, teriakan umi terasa sangat histeris di balik itu. Apa yang dilakukan kakak bodoh itu, apa gunanya ia bersama umi

Andre tetapkan untuk turun dari angkot. Dia akan kembali memastikan apa yang bergotong-royong terjadi. 

Sesuai persyaratan dari panggilan telepon, 30 menit Andre telah tiba di depan rumahnya. Seluruh warga berkerumunan. Mobil berlampu merah biru juga terpampang di sana. Ternyata benar, itu yakni pasukan keamananan polisi setempat. 

“Anda ditangkap Pak Andre dan sekeluarga” 

“Atas tuduhan apa Pak ?” 

“Anda telah menyembunyikan distributor narkoba besar selama 3 hari di rumah. Sebagai bukti, anda kami tahan.” 

Hatinya remuk kolam diinjak-injak. Dia tak sadar telah ditipu. Tampang mereka yang sangat menjanjikan tapi itu hanya iming-iming biar menerima perlindungan. Mereka memang rekan sekantornya. 

“Ini bukti yang kuat.” 

Dia melihat sebungkus tepung berada di dalam koper. Itu sabu. Beberapa pil ekstasi juga terlihat terang di dalamnya. 

Beberapa polisi meringkus Andre dan memasukkannya dalam mobil. Abang dan Ibundanya juga telah berada di dalamnya. Ketika mobilnya berderum ingin meninggalkan pedesaan itu. Tiba-tiba segerombolan anak muda yang terpengaruh atas usul Rusydi menahan gerakan polisi itu. 

Mereka berteriak dan menuntut untuk melepaskan Rusydi. Mereka juga membawa banyak sekali bukti dan rekaman video dikala Rusydi mengajari mereka tata cara shalat dan perubahan desa yang disebabkan kehadirannya. 

Semula semua bukti ditolak oleh polisi. Tapi, semua perjaka juga tak hadir dengan tangan kosong. Lengkap dengan pisau, cangkul, palu dan alat tajam lainnya. 

Rusydi bebas. Tapi ia tak mau itu hanya berlaku pada dirinya, tapi untuk Umi dan juga Andre. Polisi mengecam tindakan itu. 

“Lebih baik diriku mendekap dalam penjara bersama umi, dari pada menikmati kebebasan tanpa kehadirannya. Seumpama dunia yang kehilangan bagiannya. Aku tidak mau bebas.” Ujar Rusydi yakin. 

Andre yang melihat ketulusan abangnya merasa sangat bersalah. Kemudian ia memutar kembali rekaman panggilan antara dirinya dan Ibunda dikala memaksa menyiapkan hidangan. 

Ibu Maimunah sama sekali tak tau akan hal itu. Yang ia tahu hanya rekan sekantornya bahkan dirinya terpaksa mengeluarkan tabungan haji demi memenuhi hasrat anaknya. Dia tak bersalah. 

Ditambah somasi dan teriakan perjaka itu. Akhirnya keduanya terbebas. Sebelum berpisah, Andre sempat meminta maaf atas keteledorannya. Kesadarannya tampak mencuat bahwa dirinya hanya mementingkan pakaian dan kejeniusan seseorang tanpa mengenal dari segi etika dan sikap keseharian. Namun, habis perkara, nasi sudah menjadi bubur. Semua tak sanggup diulang. 

Sekawanan perjaka itu membawa Rusydi kembali ke rumah. Mereka tampak sangat bahagia. Seseorang yang telah menjadi panutan kembali menenangkan jiwa kosongnya. 

Seketika rumah itu menyambut kembali kedatangan pemiliknya. Ibu Maimunah eksklusif turun mencium kakinya Rusydi. Dia meminta maaf sebesar-besarnya. Dirinya yang sangat bersalah kerena telah gagal mendidik anaknya. Kasih sayangnya tak pernah seimbang. Tapi Rusydi dengan tulus menyatakan dirinya sirna tanpa ibunda tersayang. 

Tak mau dianggap berlebihan. Rusydi juga turun memeluk ibundanya. Dia juga meminta maaf lantaran tak mendengar larangan uminya ke Mesir. Tapi ia berguru banyak di sana. Mulai dari keikhlasan beramal. Bersosial dengan teman. Dan memperbaiki akhlaknya. 

Dia sadar dikala bekerja sebagai karyawan. Bahwa semua amalan itu tak ditinjau dari berapa hebat hasilnya. Tapi selama prosesnya lantaran Allah serta ikhlas. Rasanya akan sangat berbeda. Bahkan ada nilai-niai kebaikan yang tiba tanpa disangka. 

Begitu juga dengan belajar. Pesan gurunya, budpekerti selalu menjadi raja antara seluruh kemampuan, talenta dan kepintaran. Terlebih lagi, bagi penuntut ilmu agama. Maka dari itu, sangat disyaratkan dalam mengemban kiprah mulia, yakni berdakwah. Memberikan referensi sebelum memerintah dan berkata-kata.[]


*Penulis merupakan mahasiswa Daurah Lughah, Universitas Al-Azhar. 




Baca juga Cerpen : Tersesat 


banner

Related Posts:

  • Dialog (Part 2) *Darul Quthni yandex.com Jika saudara berkunjung ke Aceh, lihatlah, akhir-akhir ini perangai … Read More
  • Perpolitikan Kamar Mandi Oleh : Zaid Ibadurrahman* (Image: imjussayin.com) April tiba bersama isu terkini semi di langi… Read More
  • Mahar Berduri Oleh: Farhan Jihadi rozana.fm "Saya terima nikah dan kawinnya Fatimah binti Daud dengan mas kaw… Read More
  • Dialog (Part 1) *Darul Quthni wallpaperstudio10.com Orang Aceh paling girang jikalau ikan asin disambal terasi… Read More
  • Selin Oleh: Darul Quthni* Sesuai dugaanku, minuman yang dipesan Borzah ialah kopi pahit dan s… Read More
  • Air Minum Oleh : Nurmirayani*  (Image : lazada.co.id) Pagi ini cerah. Matahari Timur Tengah… Read More