*Darul Quthni
wallpaperstudio10.com |
Orang Aceh paling girang jikalau ikan asin disambal terasi, dicampur pula dengan asam belimbing wuluh yang kering. Jika aroma sudah bergolak dan bikin menagih, dicoleklah bertahap dengan ujung jari sebelum diseret ke meja makan. Wajah-wajah dengan pengecap menjulur keluar sudah menanti-nanti lumpur merah pekat itu. Kepulan aroma sajian ialah pamor perempuan Aceh.
Ayahku hidup 52 tahun lamanya, hingga ketika ini, kapal dan pukatnya masih kerap bertolak jauh ke tengah maritim Pulau Breueh, dan menangkap ikan Sori untuk diasinkan kemudian sebagian besar dijual di kedai. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan Lhokseudu, kupastikan mereka akan senantiasa singgah demi membeli satu-dua bilah ikan asin khas Lhokseudu yang kujual. Yang pulang ke kampung halaman, akan dibelinya gurita asin sebagai buah tangan untuk keluarga, yang bepergian ke kota Banda, akan dibelinya ikan asin Katamba, karena mereka suka diolah dengan sambal goreng tempe. Menurut iktikad orang Aceh Barat, orang Banda ialah paling lihai memperlakukan ikan asin katamba menjadi sambal goreng tempe atau tumis asam.
Mendengar kabar bahwa perjuangan dagang ikan asin laris berat, semangat ayahku untuk melaut meluap-luap. Ia berangkat ke dermaga sebelum azan Subuh, katanya ia akan bersalat di atas kapal. Pekerja bengkel mesin kapal, Bantimoh, dibanguninnya di waktu subuh pula, ia bangun sambil terhuyung-huyung. Ketika hendak masuk, pintu rumah Bantimoh diterjang ayahku, ia lupa rasa sakit. Bantimoh menjitak kepala ayahku, "Istriku sedang tidur, Gam!". Tak main lama, Bantimoh akan meninggalkan rumah, semangat Bantimoh meluap juga. Mereka terjun ke kapal.
Pulau Teunom terlewati, Bantimoh heran. Pulau Breueh terlampui, Bantimoh semakin heran. Satu jam Bantimoh memperhatikan durja ayahku yang dari Subuh tadi keras, pandangan terus tajam ke depan, tak ada kata yang dibicarakan, tapi seakan ia menyimpan kejutan untuk Bantimoh. Tuas kendali digenggamnya kuat-kuat, ayahku menahkodai kapal dengan handal.
"Kita tiba di Indira Point, Moh. Kutemukan di sini ikan Sori. Kau lihatlah bentangan air maritim itu, Moh."
Bantimoh bergerak, tak sabar. Terlihat gerombolan burung camar beterbangan, matanya ingin menggapai-gapai kawanan itu.
Bantimoh keluar dari ruang kendali. Melihat-lihat juga biru maritim yang terhampar luas, terbayang-bayang daging enak ikan dencis. Kapal sebesar itu hanya dinahkodai dua orang tanpa awak kapal lain yang melaut. Bantimoh meraih tali besar dan melepaskan sauh ke dasar lautan. Sedalam-dalam lautan, sedalam itulah jiwanya yang menanamkan tekad untuk harus melawan mara ancaman bilamana tiba dari segala segi kekacauan di bawah atau di sekitar kapal. Tak pernah ada yang menginjak pulau Indira Point kecuali ayahku. Wajarlah, Bantimoh heran dan bimbang.
Dari buritan kapal, ayah membopong gumpalan pukat yang berantakan. Biasanya, orang lelaki Lhokseudu menyerupai ayahku, membereskan pukat yang acak-acakan menyerupai ketika itu mengamalkan jurus Kirokirologi, hal terpenting ialah iktikad nan tegar. Dalam hitungan menit, sanggup dipastikan pukat yang bergumpal dan berbelit kembali terurai rapi dan siap untuk dilemparkan ke laut, memangsa ikan-ikan segar.
Demikianlah bertahun-tahun, ayah tak pernah temu buntu melaut. Bantimoh ialah teman setianya dalam badai, di bawah halilintar, di tepi-tepi hujan, di daerah hiu-hiu mamunculkan dirinya secara seram. Cakrawala amat hormat melihat daya tahan mereka di atas elemen biru yang bergelora, menciptakan mereka berupaya pontang-panting memilih nasib.
Aku besar hati punya ayah dengan semangat bersumbukan matahari, ia tak pernah kalah, tak pernah rubuh di lautan, tak pernah tumbang menarik dan melemparkan pukat. Matahari dan seluruh pasukan tata surya ialah sebuah tatanan dalam dadanya, dan hatinya ialah sentra peredaran semangat dan ketangguhan. Maka terbentuklah semenjak dulu dirinya dalam bungkusan fisik seakan matahari.
Kutatap wajahnya setiap kali lepas dari dermaga pulang ke rumah. Aku sudah hafal aroma ikan-ikan segar, hampir sama dengan bacin keringat yang tereban ke cambang telingannya. Terseok-seok ia mengangkat keranjang rotan.
"Gam, Kau uruslah ikan-ikan ini, ayah akan kembali ke dermaga." kurang lebih begitulah kata-katanya sepanjang tahun, seluruh tahun dalam hidupku. Keberadaanku dalam hidupnya ialah keberuntungan besar. Seakan ia melihat dirinya dalam diriku. Untuk hal-hal menyerupai ini, ia sudah mempercayaiku. Aku mulai hidup, jiwaku semakin bergejolak, pekik semangat bergemuruh. Aku ialah ayahku. Bisa saudara dapatkan diriku dalam diri sosok ayahku, atau sebaliknya. Maha Besar Allah, anugerah ini telah membuka mata keterpanaan Cut Nada di ketika disaksikannya saya menyisik ikan-ikan Sori yang akan kuasinkan. Cut Nada ialah cintaku di dasar lautan, tersimpan di antara karang-karang, dirawat oleh anak nelayan.
Siklus senang dan pilu ayahku berputar di dermaga dan di dalam rumah. Bilamana sauh mulai berkarat, artinya, proses kimia itu melambangkan kepiluan ayahku. Boleh jadi, karena Bantimoh pulang ke kampung istrinya. Dan rupanya, Bantimoh secara tak diperlukan telah kambuh asmanya, gara-gara makan ikan tongkol sehari tiga kali, dihitung dari senin hingga sabtu dalam sepekan. Ia tergeletak di atas ranjang berhari-hari, terurus dalam elusan kasih sayang istrinya.
Di waktu pagi, dermaga pelabuhan ramai menyerupai biasanya, kapal yang membawa pulang ikan dari tengah maritim tertambat rapat di kaki dermaga. Ikan-ikan dikeluarkan dari jaringan pukat. Keranjang-keranjang rotan besar siap menyambut dan menampung mereka. Para pemilik lapak, menyiapkan batang-batang es besar. Yang berprofesi sebagai pengangkut atau yang lebih tinggi sedikit sebutannya—distributor—mulai menstarterkan becak tiga roda, bersiap meluncur ke kerumunan pasar-pasar kecil di wilayah mukim. Ayahku menyaksikan dinamika bugar itu, maka dihirupnya semangat-semangat nelayan di atas kapal dari bawah sana. Pelabuhan ikan ialah panorama yang menyenangkan. Ayah tersenyum.
"Bang Khep, Si Diwa sudah lama tak berlapak di Lambaro Skep. Kepala mukim mengotot menanyai wacana Si Diwa kepadaku." kata Muhammadon dari buritan kapal, ialah teman maritim Si Lehman, pemilik kapal dengan mesin diesel New Yuchai bikinan Cina.
Mendengar demikian, ayah menyeringai. Diwa ialah salah satu pelapak ikan di pasar mukim Lambaro Skep. Kooperasi antara ia dan ayahku sudah terjalin lama dan serasi nian. Bilamana kapal para nelayan gres saja turun dari laut, yang paling pertama dicarinya ialah kapal ayahku. Dengan senang hati, ikan-ikan paling segar di antara yang segar-segar sudah disisihkan ayahku untuknya. Setan murka besar! Sebab, serasi yang berjenama anggun terjalin indah. Pembeli langganannya Diwa—Kepala Mukim—datang paling awal sebelum lapaknya digelar di pasar mukim.
Kedatangan ayah ke dermaga pagi itu, ingin mengeringkan kepiluan yang dibasahi air matanya di dalam hati yang bila tak ditindaklanjuti akan niscaya kian menderas: sudah tiga pekan lebih Bantimoh tak mencicipi nikmatnya sebuah kesehatan. Tadi, ayah menerka bahwa pemandangan orang-orang yang melaksanakan jual beli, nelayan-nelayan yang duduk lega di ujung perahu, dan seabrek suara gemeletuk mesin diesel sanggup menghidupkan lagi semangatnya, tapi nyatanya tidak, ia malah murung dengan adanya laporan memilukan dari Muhammadon.
"Tak boleh terus begini," ayah membatin. Sepulangnya dari dermaga, cepat-cepat ia kunjungi Bantimoh ke rumah. Ditinggalkannya kesedihan di dermaga, kemudian dibawanya dongeng apa saja yang dilihatnya kemudian digambarkan dengan apik, sehingga dua puluh satu jam sehabis itu Bantimoh sembuh. Gairah untuk melaut terbit bersamaan dengan fajar!
Mereka meluncur ke kapal.
"Sudah hampir satu bulan kita tak menyentuh laut, Moh. Diwa sudah lama pula tak menggesekkan pisau di kerikil asah." kata Ayah sambil merunduk.
"Istri Kau berpesan apa tadi?" tanya ayah lekas bangkit, mencoba melupakan kabar pilu wacana Diwa.
"Ia berpesan supaya saya tak lagi makan ikan Tongkol." Bantimoh terbahak-bahak.
"Istrikau berpesan apa, Khep?"
"Istriku tak berpesan apa-apa, Moh. Putraku Bagia yang berpesan, ia kata: sepulang dari laut, saya ingin bertemu dengan ayah yang sedang tak bersedih."
Ayah tersenyum kecil. Bantimoh memberi senyuman terbaiknya, mengalahkan seri senyum Ayahku.
***
Kepingan yang tersisa dari kekangenan ialah orang-orang bertanya kepadaku kenapa kedai ikan asin Aneuk Lhokseudu tutup dari hari ke hari selama tiga pekan. Aku tersenyum, mengerti bahwa yang dimaksudkan mereka adalah: kami sudah lama tak memasak ikan asin terlezat buatan anak Lhokseudu. Memang, mutu ikan asin yang saya usahakan telah tenar seantero jagad pesisir pantai Lhokseudu. Burung camar yang hinggap di kapal ayahku jemawa!
Pada suatu waktu menjelang azan ashar, Cut Nada mendatangiku. Aku gugup, namun amat senang, entah ia mencicipi yang sama, saya tak dalam-dalam mengharapkan itu. Sebelum dua langkah ia lebih erat kepadaku, saya berdiri menegapkan dada. Durjaku ramah, sepersekian detik sebelum ia memberikan sesuatu terlebih dahulu ia tersenyum, dadaku yang tadi gugup, kini tampil dengan deburan yang kian hebat. Sejurus seluruh jasadku diraup getaran, untuk menghentikan yang menyebalkan itu, maka kuambil sebilah ikan asin Jambal Roti kemudian kujadikan mainan tangan ketika berbicara. Cut Nada tersenyum lebih lebar lagi.
"Bang Bagia, Kemana saja? Lama tak lihat Bang Bagia buka kedai."
Duhai Cut Nada yang juga sudah lama tak kulihat alismu yang tumbuh menanjak. Ingin sekali rasanya kuhadiahkan untuk ayahmu ikan asin Kapas, kurasa ayahmu mufakat dengan ayahku dalam problem selera jikalau ikan asin Kapas dimasak dalam tempuran lezatnya terasi. Kata hatiku begitu. Cut Nada mengikir tumpukan ikan teri di sebelah kirinya.
Saudara, izinkan saya memperumpamakan Cut Nada menyerupai gilap-gemilapnya mutiara dalam tangkup, saya berenang dari bibir pantai hingga seyojana mata mencarinya ke dasar lautan. Kudekati karang-karang nan garang, kutembus kawanan ikan yang tajam memesona. Tak ada arah yang bersabda bahwa ia ada dalam luasnya samudera lain. Tidak lain tidak bukan hanya di bawah sini, saudara, di bawah alis mata yang tengah memandang cinta seluas lautan. Kutemukan Cut Nada di sini.
persiakids.com |
Di Lhokseudu, cinta yang tersisa ialah Ayah, sehabis ibu wafat diracuni ikan Pari di jarak satu kilometer dari bibir laut. Belum kutemukan perempuan setelaten ibu memasak ikan asin disambal terasi, kecuali sehabis sewindu lamanya telah kudengar kabar dari ayah, "Cut Nada sangat lihai memasak ikan asin Kapas persis ibumu, Bagia." saya terpana, selebihnya, saya jatuh cinta.
Ketika suatu hari hujan di bulan Agustus, saya memberanikan diri menanyakan pamor itu kepada Cut Nada. Aku ajak ia berjalan kaki sepanjang bibir pantai, menikmati pesona formasi cemara. Kami banyak meninggalkan bekas jejak kaki di pasir pantai. Oh, kenangan di senja hari. Hal yang tak kusangka, Cut Nada murka kepada hujan, karena hujan telah menghapuskan jejak kaki dua insan kekasih. Aku membujuknya, kataku, "Hujan telah benar, Nada. Ia mengecup jejak kaki kita, cemburu ia pada kita, karena hati kita berbunga-bunga di bawah rebas-rebas halus yang dimilikinya." Cut Nada terima bujukanku.
Jika ayahku nelayan, dan ayahnya pelapak—Diwa—maka, keharmonisan sudah ditorehkan oleh orangtua-orangtua kami. Kurasa, ini bukan kesalahan alam mempertemukan dua insan. Mana mungkin kita sanggup menyalahkan angin yang mendesak langkah-langkah kaki menjelang pertemuan-pertemuan nan mendebarkan. Mana mungkin kita sanggup menghardik hujan yang mematahkan kenangan walau sesaat. Justru untuk yang patah itu, kuajak Cut Nada memandang langit gelap, menjemput penghayatan.
Seusai senja, malam turun. Kedai kututup. Ayah dan Bantimoh beberapa hari ke depan akan pulang. Sesuai kabar dari Lehman yang pulang dari maritim lebih awal, angin kencang sedang rewel.
Langit yang digelar Tuhan penuh awan hitam, bulan tersaput. Persis menyerupai banyanganku, langit gelap malam ini. Duduklah Cut Nada menghadap gulungan ombak-ombak kecil. Tepi pantai yang landai menciptakan kami duduk belunjur.
"Apakah kita akan menyerupai ikan asin, kaku dan mati dalam sunyi?" sapa Cut Nada.
"Bukannya saya tak mau bicara, Nada, tapi saya harap kesunyian sanggup menjadi obrolan antara kita dengan alam. Lihatlah dalam-dalam, bulan dengan malam tak mungkin sanggup diceraikan, tetapi, ketika awan meleraikan keduanya, tak ada yang menghardik satu sama lain. Bahkan kita insan masih sanggup terang-terangan menikmatinya." jawabku, dan kutatap Cut Nada tersenyum.
Bila seseorang mempertahankan kenangan menyala dalam maya, maka, ia telah menyeruakkan penderitaan. Kenangan dalam maya ialah akar penderitaan. Di langit gelap, biarlah apa yang dilihat, apa yang dirasakan Cut Nada malam ini menjadi sesuatu tak terpatahkan, tak tersakitkan dalam sesaat. Tak menjadi kenangan yang akan diingat melulu. Mesti kita menjalani obrolan sutradara setiap waktu, tanpa perlu dijadikan sebagai kenangan. Nanti, bila salah satu dari kita pergi, tak ada yang patah, dan tak ada kata patah arang maupun patah hati. Sebab, obrolan kita tak lebih dari sekedar berbagi.[]
Baca juga: Dialog (Part 2)
Baca juga: Dialog (Part 2)
*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 1 Jurusan Ushuluddin