Friday 4 October 2019

Isra’ Dan Mi’Raj Sebagai Mediator Meraih Puncak Keimanan

Oleh: Ali Akbar Alfata*

(Image: pixabay.com)

Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu insiden besar dalam Islam. Makna Isra’ sendiri jikalau pribadi ditinjau ke istilah masyhurnya yaitu perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Sementara Mi’raj yaitu perjalanan dia dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, yang ke semua itu dialami oleh baginda Nabi dalam satu malam saja, dan insiden itu terjadi pada malam 27 Rajab berdasarkan pendapat yang masyhur. 

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj bukanlah insiden yang terjadi begitu saja, terjadi tanpa pesan, maknanya hilang begitu saja atau berakhir begitu saja, tidak. Apa yang baginda Nabi alami malam itu sejatinya yaitu sesuatu yang nantinya akan menjadi bangunan yang kokoh bagi umat Islam hingga simpulan zaman. Dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah mendapatkan sebuah titah yang hal itu menjadi penyelamat umat Islam, hal itu menjadi pembeda antara yang haq dan bathil, titah itu ialah shalat lima waktu sehari dan semalam. 

Isra’ dan Mi’raj hakikatnya merupakan wujud dari kekokohan kepercayaan bagi umat Islam. Karena kita sendiri mengetahui secara rasional, mustahil ada seorang insan yang bisa menempuh perjalanan Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang merupakan kiblat sebelum Ka’bah dan menempuh perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha dalam waktu satu malam saja. Tidak ada daypikir yang bisa mencerna hal itu. 

Tapi apa yang diajarkan insiden ini pada kita? Kita berguru bagaimana untuk percaya pada hal-hal yang bersifat ghaib. Percaya kepada sesuatu yang wujudnya tidak pernah bisa kita gapai. Kita diajarkan bagaimana untuk percaya pada hal yang tidak bisa diraih oleh pemikiran rasional. 

Bagaimana dengan teknologi ketika itu ada perjalanan singkat dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha. Belum lagi Mi’raj-nya dari Aqsha ke Sidratil Muntaha yang hingga hari ini pun tidak ada pembuktiannya. Berarti Islam itu tidak masuk kebijaksanaan ya? Mari kita kembali kepada hal-hal kecil yang sering kita lupakan. Dalam surat Al Baqarah ayat 2, Allah menawarkan sebuah syarat pertama kekokohan iman. Iman orang-orang yang mendapatkan hidayah dan petunjuk dari Tuhan mereka dan mendapatkan hamparan kasih sayang-Nya;

الذين يؤمنون بالغيب و يقيمون الصلاة و مما رزقناهم ينفقون 

“Mereka yaitu orang yang beriman dengan hal-hal yang ghaib dan mendirikan shalat dan mereka berinfaq atas apa yang kami limpahkan rezeki ke atas mereka."

Dengan adanya Isra’ dan Mi’raj, kepercayaan inilah yang seharusnya tertanam dalam hati kita setiap kali kita memperingati insiden ini. Orang-orang yang menimbulkan ilmu pengetahuan hari ini yang syahid (nampak) sebagai tolok ukur atas hal-hal yang ghaib (tidak nampak) yaitu sebuah kekeliruan berpikir. Hal ghaib itu sudah berada di luar materi, hal ghaib sudah keluar dari hukum-hukum alam ini. 

Hal ghaib menyerupai Isra’ dan Mi’raj ini yaitu sebuah insiden kun fayakun yang Allah berikan pada Nabi sebagai sebuah mukjizat dari-Nya dan memperlihatkan pelajaran berharga kepada siapapun yang mengimaninya. 

Sejatinya insan itu selalu diikat oleh cara berpikir akalnya yang masuk melalui panca indera. Pemikiran yang dihasilkan insan niscaya mengikuti hal-hal yang sudah pernah dirasakan oleh pancera inderanya. Kapasitas pemikiran insan sangat terbatas, menyerupai kaidah populer yang sering kita dengar:

الحكم على شيء فرع عن تصوره 

Legalisasi seorang insan terhadap sesuatu bergantung pada hal yang pernah di tashawwurkan olehnya atau dialami langsung, sementara Isra’ dan Mi’raj yaitu sebuah kejaiban atau mukjizat yang berada diluar kebijaksanaan yang bisa insan capai, lantaran itulah tidak bisa diraih oleh daypikir kita. 

Hal yang bersama-sama terjadi dalam Isra’ dan Mi’raj merupakan fenomena kebijaksanaan yang mencapai batasan terakhir kebijaksanaan itu. Kecenderungan sains pada pembuktian-pembuktian ilmiah malah menciptakan mereka diperbudak oleh kebijaksanaan mereka sendiri. 

Mereka yang membaca literatur agama Islam yang notabenenya mengangkat wacana susila dan budi pekerti contohnya malah dianggap bodoh. Kita dibodohkan oleh keyakinan katanya, padahal hati mereka yang buta. Literatur Islamlah yang bersama-sama menjelaskan hal-hal yang tertutup oleh pandangan manusia. Dalam memahami Isra’ dan Mi’raj, kita harus merujuk pada tafsir dan hadis untuk paham. Untuk memahami makna dan risalah yang dikandungnya. 

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع العليم 

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya semoga Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari gejala (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia yaitu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.،" 

Ayat ini dimulai dengan menyucikan Allah yang Maha Kuasa. Maha suci Allah-lah yang telah menjadi Pencipta sebuah perjalanan suci dari hamba pilihan–Nya Muhammad Saw. Dalam ayat ini juga disebut wacana perjalanan malam hari yang jikalau ditinjau dari filosofinya kita mendapati perjalanan yang penuh ketidaktahuan, kebingungan, keanehan, dan lainnya yang merupakan citra dari perasaan baginda Nabi sendiri. 

Semua merupakan prosedur yang Allah atur dan harus disikapi dengan cara yang Allah atur pula, apa itu? Mengimaninya dengan haqqul yaqin. Perjalanan suci ini Allah adakan semoga makhluk-Nya melihat kebesaran-Nya. Perjalanan suci ini juga ada untuk mengangkat derajat Nabi pilihan-Nya, menghibur baginda akan sedihnya ditinggal oleh istri tercinta dan paman tersayang yang berpulang ke Rahmat Tuhan-Nya. Ayat ini juga diakhiri dengan “Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” yang merupakan sifat-sifat Allah Swt. 

Kalau hendak ditinjau dari sisi lain, Isra’ dan Mi’raj juga ingin memperjelas keagungan Aqsha dalam Islam, wacana kemuliaannya hingga ia menjadi bab dari perjalanan suci tersebut. 

Memperingati Isra’ dan Mi’raj berarti merupakan pembaharuan kekokohan iman. Menjadi self reflection bagi kita wacana sedang bagaimana keadaan kepercayaan kita. Karena kepercayaan selalu tidak stabil, perlu adanya sebuah reaksi atau dampak eksternal yang menyentuhnya. Dan memperingati Isra’ dan Mi’raj yaitu salah satu motivasi yang akan mengisi dan memperbaharui keimanan kita. 

Karena dalam hidup kita mengalami banyak sekali pasang surut. Usaha, kesabaran dan ketabahan merupakan pelajaran lain yang juga ada dalam Isra’ Mi’raj, dan hendaknya menjadi kerikil loncatan kita dalam meraih puncak keimanan dan keyakinan.[]

*Penulis yaitu Mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
banner
Previous Post
Next Post