Sunday 22 December 2019

Fikih I’Tikaf (11)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (11)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya atau melaksanakan shalat di masjid (tertentu), selain ketiga masjid (yang paling utama) -(yaitu:) paling utama dari ketiganya ialah masjid Al- Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha- ,maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di daerah tersebut (yaitu: di masjid tertentu selain ketiga masjid yang paling utama).
Penjelasan kalimat
  1. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    وَمَنْ نَذَرَهُ
    “Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya”, yaitu melaksanakan i’tikaf.
  2. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    غَيْرِ الثّلَاثَةِ
    selain ketiga masjid (yang paling utama) ”, ialah seandainya seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jikalau ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu mempunyai keutamaan Syar’i.
  1. Perkataan penulis rahimahullah :
    وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى
    -(yaitu:) paling utama dari ketiganya ialah masjid Al-Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha-” ialah menurut dalil berikut ini:
    Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:
    لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
    Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al-Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Dari Abud Darda` dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam  bersabda:
    «فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة»
    “Shalat di masjid Al-Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di daerah lain, shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat (di daerah lain), shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha) (lebih baik daripada) 500 shalat (di daerah lain).” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunnan Ash-Shughra:1821, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami`:4211 dan Irwa`ul Ghalil:1129, lihat: http://bit.ly/1CEEK9i)
  2.  Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
    maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di daerah tersebut
    adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tersebut ialah masjid yang mempunyai keutamaan Syar’i. Inilah zahir dari perkataan penulis.
Penjelasan umum
Adapun maksud matan di atas secara global ialah :
Jika seseorang yang bernadzar untuk  melakukan i’tikaf atau shalat di masjid (tertentu) selain ketiga masjid (yang paling utama)maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di daerah tersebut, ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya dan nadzarnya sah tertunaikan. Adapun jikalau seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jikalau ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu mempunyai keutamaan Syar’i.
Kritikan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah terhadap matan ini
Zhahir dari perkataan penulis,
لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ
maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di daerah tersebut” ialah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tesebut ialah masjid yang mempunyai keutamaan Syar’i, menyerupai masjid yang lebih dekat, masjid yang usianya lebih usang atau lebih awal dibangunnya dan masjid yang di dalamnya ditegakkan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan benar, jauh dari kasus yang mungkar, kasus bid’ah apalagi kasus kesyirikan (Asy-Syarhul Mumti’ 6/519), masjid yang lebih banyak jama’ahnya, atau masjid Jami’ (yang dipakai untuk menunaikan shalat Jum’at) bagi seorang mukallaf yang beri’tikaf dan melewati hari jum’at (lihat: http://bit.ly/1TAu8N8). Perkataan penulis yang mengandung makna menyerupai ini tidaklah tepat.
Kalimat dalam matan di atas barulah tepat, jikalau masjid yang ditentukan dalam nadzar ialah masjid yang tidak mempunyai keutamaan Syar’i.
Oleh sebab itulah, seandainya masjid yang sudah ditentukan dalam nadzar tersebut ialah masjid yang mempunyai keutamaan lebih dalam Syari’at, walaupun bukan salah satu dari tiga masjid yang paling utama, maka bagi orang yang bernadzar dengan nadzar tersebut, wajib menunaikannya di masjid yang disebutkan dalam nadzarnya, sebab masjid yang disebutkan dalam nadzarnya itu mempunyai keutamaan Syar’i.
Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsamin rahimahullah,
فالصحيح في هذه المسألة أن غير المساجد الثلاثة إذا عينه لا يتعين إلا لمزية شرعية، فإنه يتعين؛ لأن النذر يجب الوفاء به، ولا يجوز العدول إلى ما دونه.
“Jadi, pendapat yang benar dalam persoalan ini ialah bahwa jikalau seseorang dalam nadzar memilih sebuah masjid selain ketiga masjid yang paling utama dan ia menentukannya semata-mata sebab masjid itu mempunyai keutamaan Syar’i, maka (dalam hal ini) hukumnya wajib dilaksanakan nadzar tersebut (sesuai dengan masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, pent.), sebab sebuah nadzar itu hukumnya wajib ditunaikan dan dihentikan beralih kepada sesuatu yang lebih rendah keutamaannya darinya (yaitu: dari apa yang disebutkan dalam nadzar).”
—-
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ
Jika orang yang bernadzar tersebut memilih masjid yang mempunyai keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia dihentikan beralih pada masjid yang mempunyai keutamaan dibawahnya.
Dan jikalau realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya.
Penjelasan:
  1. Perkataan penulis rahimahullah :
    وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ
    Jika orang yang bernadzar tersebut memilih masjid yang mempunyai keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia dihentikan beralih pada masjid yang mempunyai keutamaan dibawahnya”, contohnya ialah ia memilih dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, maka tidak sah jikalau ia beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi atau masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), sebab masjid Al-Haram mempunyai keutamaan lebih tinggi dari keduanya.
  1. Maksud perkataan penulis rahimahullah :
    وعكسه بعكسه
    “Dan jikalau realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya” adalah  jika orang yang bernadzar tersebut memilih masjid yang mempunyai keutamaan yang kurang (baca: kurang afdhal), maka boleh memenuhi nadzarnya di masjid yang mempunyai keutamaan lebih tinggi (baca: afdhal), contohnya :  ia memilih dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi, maka sah jikalau ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, begitu pula jikalau ia  menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), maka sah jikalau ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram atau masjid Nabawi. Karena keduanya lebih utama dari masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha).Dalil ihwal bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik adalah
    عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ قَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (شَأْنُكَ إِذَنْ ) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ لَوْ صَلَّيْتَ هَاهُنَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ صَلَاةً فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ)
    Dari Jabir bin Abdullah, bahwa bersama-sama ada seorang pria berdiri pada hari Fathul Makkah kemudian berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya saya telah bernadzar sebab Allah. Jika Allah memenangkan Anda dalam menaklukkan kota Makkah, saya akan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis”. Beliau bersabda, “Shalatlah di sini!”, kemudian lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka ia bersabda,“Shalatlah di sini!”lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka ia bersabda, “Kalau begitu, terserah padamu”. [HR Abu Dawud, dishahihkan oleh sejumlah ulama, diantaranya : Al-Hakim dan Al-Albani ].
    Hadits ini menawarkan bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik.
Faedah
Bahkan sebagian ulama mengqiyaskan aturan waqaf terhadap aturan nadzar ini, maksudnya: sebab mengganti nadzar itu dengan yang lebih baik hukumnya boleh, maka mengganti waqaf dengan yang lebih baik hukumnya juga boleh. Namun qiyas ini ialah untuk persoalan aturan memindah waqaf umum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فعلى هذا، فلو نذر أن يقف شيئا فوقف خيرا منه كان أفضل
“Berdasarkan ini, jikalau seseorang bernadzar bahwa dia akan mewaqafkan sesuatu, kemudian dia mewaqafkan (sesuatu tersebut) yang lebih baik darinya, hal itu lebih baik”.
(Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520 (PDF)).
Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, maka ia mulai masuk daerah i’tikafnya (baca: masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya sehabis final batas waktu.
Penjelasan (Syarah):
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, misalnya: seseorang bernadzar untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
    Inilah yang dimaksud “dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, baik tertentu dari sisi hari,pekan maupun bulan tertentu.
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “maka ia mulai masuk daerah i’tikafnya sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut“, dalam teladan masalah di atas,yaitu : ia wajib masuk masjid daerah i’tikafnya, sebelum terbenamnya matahari menandai malam ke-21 Ramadhan. Dengan demikian, ia harus masuk masjid daerah i’tikafnya, sore hari ke-20 Ramadhan, sebelum terbenamnya matahari, sebab hari dalam Islam (Tahun Hijriyyah) dimulai dari terbenamnya matahari (malamnya). Adapun malam dalam Islam (Tahun Hijriyyah), dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir dengan terbitnya fajar, sedangkan siang, di mulai dari terbitnya matahari dan berakhir dengan terbenamnya matahari.Dan sehari semalam ialah di mulai dari terbenamnya matahari (masuk malam), kemudian pagi, siang, sore dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Itulah definisi hari, malam dan siang dalam istilah Syar’i.
  1. Perkataan penulis rahimahullah : “dan keluar darinya sehabis final batas waktu.“, berarti ia keluar pada final hari yang telah ia tentukan dalam nadzarnya, yaitu malam Hari Raya (malam pertama bulan Syawwal), yang ditandai dengan tenggelamnya matahari. Pembahasan diatas ialah bagi orang yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, menyerupai sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajib beri’tikaf dengan urut dari hari pertama hingga hari terakhir dan dihentikan diselingi dengan jeda hari tanpa i’tikaf.
Nah, bagaimana jikalau seseorang bernadzar untuk rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya?
Misalnya, seseorang bernadzar untuk beri’tikaf sepuluh hari, begitu saja tanpa memilih bulan apa atau pekan ke berapa. Apakah diwajibkan baginya beri’tikaf secara urut?
Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,
والحاصل، أنه إذا نذر عدداً، فإما أن يشترط التتابع بلفظه، أو لا، فإن اشترطه فيلزمه، وإن لم يشترطه فهو على ثلاثة أقسام:
Kesimpulannya, jikalau seseorang bernadzar untuk bilangan (rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya), maka kemungkinan pertama: Ia mensyaratkan dalam ucapan nadzarnya harus urut atau
(Kemungkinan kedua:) Tidak mensyaratkan harus urut dalam ucapan nadzarnya.
Jika ia  mensyaratkan harus urut, maka wajib urut. Namun, jikalau ia tidak mensyaratkan harus urut (dengan lisannya), maka terdapat tiga keadaan:
الأولأن ينوي التفريق؛ فلا يلزمه إلا مفرقة.
الثانيأن ينوي التتابع، فيلزمه التتابع.
الثالثأن يطلق فلا يلزمه التتابع، لكنه أفضل؛ لأنه أسرع في إبراء ذمته.
Pertama: Ia berniat tidak urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara tidak urut.
Kedua: Ia berniat urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut.
Ketiga: Ia tidak berniat urut maupun tidak urut, maka tidak wajib  dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut. Namun yang lebih utama dilakukan secara urut, sebab lebih cepat tertunaikan tanggungan nadzarnya.
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan].
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post