Sunday 22 December 2019

Fikih I’Tikaf (12)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (12)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَلاَ يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ يَعُودُ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدُ جَنَازَةً إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ
Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) dilarang keluar dari masjid kawasan i’tikafnya, kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.
Ia dilarang menjenguk orang yang sakit, dilarang pula menghadiri pengurusan jenazah, kecuali kalau ia mensyaratkannya.
Penjelasan
Penulis di matan ini, mulai menyebutkan ihwal aturan keluarnya mu’takif dari masjid kawasan i’tikafnya.
Beliau menyebutkan dua macam:
1. Keluar untuk keperluan yang wajib atau mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi.
Kesimpulan ini diambil dari perkataan dia :
إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ
kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.
Mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid kawasan i’tikafnya,untuk memenuhi keperluan yang ibarat ini, baik ia mempersyaratkannya dalam i’tikafnya atau tidak, namun sebatas keperluan saja.
Contoh keperluan jenis ini yaitu makan, minum, mengambil komplemen pakaian kalau suhu menjadi sangat masbodoh dan buang air kecil maupun besar, mengambil makanan,karena tidak ada yang mengambilkannya semua ini termasuk kedalam keperluan yang harus ditunaikan secara kebutuhan manusiawi.
Adapun kelompok keperluan yang harus ditunaikan secara Syar’i, seperti: berwudhu’ , shalat jum’at bagi mu’takif yang beri’tikaf di masjid yang tidak dipakai untuk shalat jum’at,padahal masa i’tikaf melewati hari jum’at dan mandi junub (mandi wajib).
Faedah
Adapun mandi sekedar untuk mendinginkan tubuh bagi mu’takif, maka yang ibarat ini terlarang. Namun kalau maksud mandi untuk menghilangkan amis tubuh dan kotoran yang menempel di badan, maka boleh. Demikian perincian Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah , bahwa aturan mandi bagi mu’takif ada tiga: wajib, terlarang dan boleh
2. Keluar untuk keperluan yang tidak wajib atau tidak mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi
Kesimpulan ini diambil dari perkataan beliau:
ولا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة إلا أن يشترطه
Ia dilarang menjenguk orang yang sakit, dilarang pula menghadiri pengurusan jenazah.
Keperluan jenis ini, dicontohkan oleh penulis rahimahullah, yaitu: menjenguk orang yang sakit dan  tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah.
Seorang yang sedang beri’tikaf  tidak boleh menjenguk orang yang sakit, dilarang pula menghadiri pengurusan jenazah, walaupun keduanya yaitu masalah yang disunahkan, dengan alasan:
Pertama:  Karena dalam kondisi ini, i’tikaf baginya lebih penting daripada menjenguk orang yang sakit dan mengurus mayit atau yang semisalnya dan ia tidak berdosa meninggalkan kedua aktifitas tersebut atau yang semisalnya. Namun, kalau ia berada dalam keadaan tidak ada satupun orang yang mengurus mayit kecuali ia, maka dalam kondisi ini, bermetamorfosis keperluan jenis pertama dan harus ditunaikan olehnya.
Kedua: Karena keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan memakan waktu i’tikaf beberapa lama.
Namun, ada satu kondisi yang menawarkan diperbolehkannya bagi mu’takif keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini, penulis rahimahullah mengatakan:
إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ
“kecuali kalau ia mensyaratkannya”,maksudnya adalah mu’takif boleh mempersyaratkan untuk keluar dari masjid kawasan i’tikafnya, di dikala akan memulai i’tikafnya. Namun, tidak selayaknya hal ini dilakukan, bahkan i’tikaf tanpa syarat itulah yang lebih utama, kecuali kalau orang yang sakit mempunyai hak atas dirinya, ibarat : orang yang sakit itu yaitu kerabatnya, yang kalau seandainya tidak menjenguknya akan terhitung memutuskan tali silaturrahmi, maka dalam kondisi ini, i’tikaf bersyarat lebih utama.
3. Keluar untuk keperluan yang penting bagi mu’takif, namun bertentangan dengan i’tikafnya.
Keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan membatalkan i’tikaf seseorang, baik mu’takif mempersyaratkannya ataupun tidak.
Contoh:  Keluar untuk keperluan bisnis, keluar untuk menggauli istri dan keluar untuk piknik.
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520 (PDF)].
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post