Sunday 22 December 2019

Fikih I’Tikaf (13)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (13)


Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :
وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ
Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya

Penjelasan:

Perkataan penulis rahimahullah :
Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya” , hal ini menurut firman Allah Ta’ala :
{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).
Alasan pendalilan:
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang sedang i’tikaf mencampuri istrinya, hal ini mengatakan bahwa jima’ (bersetubuh) ketika i’tikaf merupakan pembatal i’tikaf, lantaran larangan dalam ayat ini tertuju pada perbuatan yang khusus terkait dekat dengan i’tikaf, sedangkan kaidah dalam dilema ini yaitu jikalau sebuah larangan tertuju pada ucapan ataupun perbuatan yang khusus terkait dekat dengan suatu ibadah, maka jikalau larangan itu dilanggar akan membatalkan ibadah tersebut.
Contohnya: Berbicara dengan sengaja dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak terkait dengan maslahat shalat, makan ketika puasa dan bersetubuh ketika sedang ihram, disamping juga teladan pada pecahan ini, yaitu bersetubuh ketika i’tikaf.
Selain bersetubuh, mu’takif juga tidak boleh melaksanakan segala hal yang berkenaan dengan muqoddimah bersetubuh, menyerupai mencium dan meraba atau yang semisalnya, lantaran perkara-perkara tersebut mendorong mu’takif untuk bersetubuh, menyibukkan  mu’takif dari ibadah i’tikaf dan mengandung pelampiasan syahwat, yang semua ini tidak selaras dengan aktifitas ibadah i’tikaf.
Perkataan penulis rahimahullah :
Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya“, juga mengandung konsekuensi bahwa jika mu’takif menggauli istrinya, namun bukan pada kemaluannya, menyerupai di sela-sela kedua pahanya, maka tidak membatalkan i’tikafnya, kecuali jikalau keluar air mani, demikian keterangan ulama rahimahumullah.  Menggauli istri bukan pada kemaluan tidak membatalkan i’tikaf disebabkan lantaran masalah yang diharamkan ketika i’tikaf yaitu bersetubuh, sedangkan muqoddimah bersetubuh yaitu penghantar kepada bersetubuh, sehingga pengharamannya yaitu jenis pengharaman wasilah (sarana).
Bagaimana jikalau seorang mu’takif beri’tikaf dengan mensyaratkan bersetubuh ?
Jawabannya yaitu syarat tersebut tidaklah sah, lantaran termasuk syarat yang menghalalkan masalah yang diharamkan oleh Allah. Setiap syarat yang menghalalkan masalah yang diharamkan oleh Allah, maka itu yaitu syarat yang batil.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun dia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan, 2/ 421].
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post