Indahnya ketika kita bisa memberi tanpa menuntut balas, give and forget. Menerima mungkin, tapi tidak mengharapnya kembali. Karena semua Ia lakukan hanya untuk menerima keridhaan Sang Khalik. Sesekali butiran bening itu meratapi semua tingkahnya selama puluhan tahun silam. Ketika Ia berani pergi meninggalkan keluarga tanpa kabar, walau hanya dengan sepucuk surat.
Alasannya sederhana, namun sangat menyesakkannya ketika itu, ibunya telah membuatnya malu, membuatnya hina dengan apa yang Ia punya. Tapi Kini, sempurna di final penyesalan itu tiba. Mengeluh dan menangis murung akan kepergian ibunya. Mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi, ibarat dahulu lagi.
*****
Ayahnya telah meninggal tujuh tahun kemudian ketika tsunami meluluhlantakkan Aceh. Sekarang Ia hanya tinggal dengan ibu. Yach, seorang ibu yang punya keterbatasan, alasannya ialah matanya tidak bisa melihat sebelah semenjak insiden itu. Tak jarang terdengar hinaan dan caci-maki dari sebagian bawah umur sekolah AL-TAFIA ketika bu Faridah menjajakan lontong. Tapi, semua itu Ia lalui kolam angin bertiup.
Seperti biasanya, bu Faridah mengayuh sepeda bututnya sembari menjajakan lontong.
Tepat di pekarangan sekolah.
“Eh, si buta datang“ kata Retno, anak kelas 3 A.
“Iya,yuk kita kerjain“ tambah Doni.
“Yuk“ sahut Dedi yang nggak kalah jailnya ngerjain orang tua.
“Hahahaha…si buta datang, si buta datang“ mereka sahut menyahut mengatai bu Faridah.
Mereka tidak hanya menghina, tapi mereka juga melukainya. Ditahanlah jalan laju sepeda miliknya dengan rantai, sempurna di tengah jalan. Ia jatuh tersungkur ke tanah, betapa malang nasib si ibu.
Dari kejauhan, Faiz melihat ibunya yang diperlakukan tidak hormat. Mata batinnya terluka, tapi ia mengabaikannya. Membiarkan ibu yang telah melahirkannya menjadi bualan teman-teman sekolah yang iseng itu. Berat Faiz meninggalkan ibunya dalam keadaan terluka, namun ia terlanjur aib untuk mengakui perempuan cedera itu ialah ibunya.
******
“Assalamualaikum pak“ Faiz mengucapkan salam pada wali kelas, pak Azman.
“Waalaikumsalam, masuk Faiz “ pinta pak Azman.
“Pak, Saya minta surat pernyataan wali murid perihal peluang beasiswa yang bapak bicarakan final pekan lalu.”
“Surat itu harus diambil oleh orang bau tanah Kamu“ lanjut pak Azman memberi pengertian.
“Pak, tapi…“suaranya terhenti.
“Iya, bapak mengerti Faiz. Tapi kau masih punya orang tua. Lain ceritanya kalau Kamu hanya tinggal sendiri”. Beliau menghela napas panjang.
“Okay, Saya izinkan Kamu untuk kali ini saja“, kata pak Azman sambil mencari surat yang dimaksudkan untuk Faiz.
“Iya pak,terima kasih“ sahut Faiz sembari menjabat tangan wali kelasnya.
Sepulang sekolah, Faiz membuka lembaran yang berisi kesediaan wali murid, kemudian menandatangani semua persetujuan itu.
“Anak ibu sudah makan?“ tanya bu Faridah dari ruang tengah.
“Iya bu, Saya sudah kenyang“ sahutnya mengharap ibu tidak membawakan masakan untuknya ketika itu.
“Eum, ya sudah. Nanti kalau mau makan ada mie goreng kesukaan Kamu lho,dimakan ya“ goda ibu.
“Iya bu, sebentar lagi Faiz makan “ia menjawab sekenanya, kemudian kembali fokus pada lembar beasiswa itu.
Keesokan harinya Faiz mengembalikan surat itu kepada pak Azman
“Pak,ini suratnya“ kata Faiz.
“Iya“, sambil mendapatkan surat dari tangan Faiz.
“Faiz“, panggil pak Azman.
“Iya pak“ sahut Faiz dan menoleh kearahnya.
“Faiz, tolong perhatikan ibumu, jaga Dia baik-baik. Jangan biarkan Ia terluka, alasannya ialah ridha Allah ada pada keridhaan orang tua,dan kebencian Allah ada pada kebencian mereka” begitulah notice pak Azman seakan tahu apa yang Ia perbuat selama ini.
“Baik pak “ jawab Faiz kemudian berpamitan.
*********
Tepat di sepertiga malam perempuan bau tanah itu bangkit dari tidurnya, memohon kehadirat Sang ilahi rabbi. Mengeluh dan mengadu semua keluh dan kesah yang Ia alami. Serta mencurahkan semua syukur atas dirinya dan Faiz.
“Ya Allah puji dan syukurku kepada-Mu, selawat dan salamku untuk Rasulullah yang tak pernah lelah dalam memberikan risalah-Mu. Tuhan Yang Maha Esa, ampunilah dosa-dosa yang pernah Aku lakukan dan yang dilakukan anakku, baik yang kami sengaja maupun tidak. Sesungguhnya ampunan-Mu sangat luas.
Ya Allah, syukurku atas nikmat sehat, Islam dan kepercayaan yang Engkau berikan. Ya Rabbi, Engkau yang mengetahui semua isi hati kami. Jadikanlah Faiz anak yang mempunyai kegunaan bagi nusa dan bangsa. Lindungi langkahnya, bahagiakanlah Ia didunia dan diakhirat, amin ya rabbal alamin…”
Setelah tahajud perempuan bau tanah itu menuju kamar Faiz, usang Ia mematung mengamati wajah buah hatinya yang sedang pulas. Hatinya amat senang mempunyai Faiz. Walaupun ketika ia menjajakan masakan di sekolah, Faiz tidak pernah muncul, apalagi makan bersama. Sungguh tulus perempuan ini mengais rezeki demi anaknya. Terkadang rindu membuncah, ingin melihat wajah dan polah aktif Faiz di sekolah.
Dikecupnya kening Faiz, “semoga Allah memberkahi dan melindungi langkahmu wahai anakku “ doa bu Faridah.
Itulah cinta tulus dan suci dari seorang ibu untuk anaknya. Cinta yang tidak pernah mengharap balas kebijaksanaan baiknya. Cinta yang menciptakan sang ibu merawatnya, mendoakannya sampai final hayat.
Bagian Kedua Click Here
Bagian Kedua Click Here