Sunday, 9 February 2020

Jati Diri Aceh Mulai Memudar

Oleh; Irwansyah Husni Daud*

Who Am I? image doc. google
Aceh merupakan kawasan paling ujung barat Indonesia yang telah hidup menggelora dalam keberadaan zaman yang panjang. Kejayaan-kerajaan masa silam dan kepahlawanan jihad fisabilillah melawan penjajahan yakni kisah yang selalu membawa pujian bagi Aceh. Almarhum Prof. H.A. Madjid Ibrahim mengatakan, kawasan Aceh juga memiliki keistimewaan dalam tiga hal; istimewa dalam bidang pendidikan, istimewa dalam bidang keagamaan dan terakhir istimewa dalam bidang watak dan budaya.
Namun, apakah kini Aceh masih menggenggam bersahabat keistimewaan tersebut? Bukankah ketiga keistimewaan itu merupakan jati diri Ureung Aceh? Disini penulis akan menggambarkan sekilas kondisi rakan-rakan geutanyoe yang saya saksikan selama berada  di Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka liburan trend panas kemarin.
1. spesial dalam bidang pendidikan.
Pendidikan yang berlaku di Aceh di masa silam (baca: masa kerajaan pase, kerajaan peurlak dan lainnya) yakni pendidikan berdasarkan Islam, belum ada pada ketika itu yang namanya sekolah. Satu-satunya tempat berguru untuk umum yakni Dayah, sedangkan Meunasah selain tempat ibadah salat juga berfungsi sebagai tempat belajar  bagi masyarakat dan belum dewasa di kampung.
Sekarang bisa kita lihat di Aceh, telah banyak dibangun sekolah-sekolah baik dari tingkat terendah  TK, SD, SMP/Mts, SMA/MAN sampai perguruan tinggi tinggi. Dari satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan bagi Provinsi Aceh terlebih lagi ketika IAIN Ar-raniry gres saja resmi berubah namanya menjadi UIN ar-Raniry.
Tetapi sangat disayangkan dari segi kualitas dan mutu pendidikan yang ada di Aceh, di tahun 2013 tercatat lebih dari 1.700 an siswa tingkat Sekolah Menengan Atas dan sederajat gagal untuk lulus dari Ujian Nasional atau 95 persen tingkat kelulusan. Padahal jumlah dana yang dikucurkan Pemerintah Aceh begitu besar, namun tetap saja belum bisa meningkatkan mutu pendidikan di Aceh.
Siapa yang disalahkan? Anak didik, guru atau  Pemerintah Aceh. Belum lagi kita melihat betapa banyak belum dewasa Aceh yang putus sekolah. Apakah ini yang disebut dengan Daerah Istimewa?
Sebenarnya, Nanggroe Aceh Darussalam memiliki jati diri yang menciptakan orang lain terkagum-kagum. Dulu Aceh menjadi ladang ilmu bagi masyarakat Nusantara khususnya dan Bangsa Melayu pada umumnya, mirip Malaysia dan Thailand. Bahkan ulama-ulama Aceh menjadi tumpuan dan tempat bertanya mereka yang tiba dari negeri jiran.
Inilah yang sangat dibutuhkan oleh ureung Aceh pada masa sekarang, biar kegemilangan yang pernah dirasakan pada masa dulu bisa bersinar kembali di Provinsi Aceh.
2. spesial dalam bidang keagamaan.
Irwansyah Husni Daud;
Mahasiswa Tingkat Akhir,
Fak. Ushuluddin, Jur. Hadis,
Univ. Al-Azhar, Kairo.
Keistimewaan lain yang terdapat pada diri ureung Aceh yakni agama Islam yang dianutnya. Pastinya kita bangga, ketika melihat Islam di masa kerajaan-kerajan Aceh dulu yang mana masyarakatnya sangat antusias menjalankan syari'at Islam, Sehingga aceh populer dengan sebutan Serambi Mekkah.
Namun, apakah aceh yang kini masih aceh yang dulu? berdasarkan saya, realita yang ada di aceh ketika ini yakni jawabannya.
Jika kita melihat kehidupan Ureung Aceh kini terutama muda-mudi dan anak-anak. Mereka yakni generasi yang harus meneruskan estafet ureung-ureung awai. Kita masih ingat, muda-mudi aceh dulu mereka sibuk melaksanakan ibadah dan mengikuti pengajian di Meunasah pada malam hari.
Tapi berbeda dengan sekarang, mereka lebih asyik dengan kehidupan yang glamour, hura-hura dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak berguna. Contohnya saja, berilmu balig cukup akal Aceh kini lebih suka berkeliaran di malam hari dan tidur dari pagi sampai siang kalau tidak ada sekolah atau jadwal kuliah, mereka lebih sering berkumpul di tempat burger, warung kopi, cafe-cafe dan tempat-tempat yang mereka anggap tempat gaul yang menjadikan mereka lupa waktu, lupa ibadah dan lupa semuanya.
3. spesial adat
Adat dan budaya yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam yakni nilai plus bagi masyarakatnya. Di masa silam, seni budaya yang lahir dari masyarakat Aceh sangatlah berasaskan Islam. Sehingga yang mereka rasakan dalam kehidupannya hanyalah ketenangan dan keharmonisan. Akan tetapi, kenyataan yang ada di Aceh kini menciptakan kita malu, alasannya yakni sudah banyak yang dilakukan oleh masyarakat kita menyimpang dari anutan agama Islam.
Dalam rangka liburan kemarin, saya sempat berkunjung ke Taman Ratu Safiatuddin tempat digelarnya Pekan kebudayaan Aceh VI dengan tema "Aceh Satu dalam Sejarah dan Aceh Satu dalam budaya". Yang mana semestinya, harus menggambarkan identitas Aceh dalam keragaman seni dan produk budaya aneuk nanggroe yang berasaskan islam.
Namun sangat disayangkan, banyak panggung pertunjukan dari banyak sekali anjungan kabupaten/kota diisi dengan program dandutan, disko bahkan sambil berjoget.
Jelas ini bukan budaya Ureung Aceh, orang-orang renta kita dahulu tidak pernah mengajarkan apalagi melakukannya. Hal ini sangat merugikan masyarakat aceh dengan dana miliaran rupiah kita habiskan, malah kita salah kaprah menampilkan hasil cipta karya budaya orang lain.
Padahal, seni budaya yang diwariskan oleh ureung-ureung awai itu sempurna berada pada garis-garis islam. semetinya kita sadar kalau jati diri kita selaku Ureung Aceh sudah mulai memudar sedikit demi sedikit.
Orang-orang Aceh dahulu, kata-kata yang keluar dari ekspresi mereka itu menyerupai mutiara di lautan, sarat akan makna dan penuh dengan hikmah. bila kita sungguh-sungguh ingin kejayaan dan kegemilangan yang pernah membumi di Aceh itu kembali, kuatkanlah doktrin di hati ureung-ureung Aceh dan terus berjalan di atas garis-garis agama Allah Swt. serta ta pubuet peu yang patoet mirip nasehat orang-orang renta Aceh dahulu; “Ta mariet beungoeh ingat keu seupoet, Ta jak ukeu ingat u likoet, Ta duek di rumoeh bek ta meu phoet-phoet, Ta jak lam rame bek ta ceumaroet”.
*Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Ushuluddin, Jur. Hadis, Univ. Al-Azhar, Kairo.Tulisan ini sudah dimuat dalam buletin el-Asyi edisi 119.

banner
Previous Post
Next Post