Suatu masa sebelum diutusnya Nabi SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal ketika itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan. Penghuni gubug itu, seorang perempuan renta dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja alasannya yaitu ketika itu tidak menggunakan pakaian kebesarannya.
Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan dia eksklusif mencicipi kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja untuk menerapkan hukum pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan (PAD) yang sangat tidak mengecewakan bagi kerajaan.
Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu menyerupai biasanya, tetapi dia tidak mendapat setetespun, maka dia berseru, “Wahai ibu, tampaknya raja memiliki niat jahat terhadap rakyatnya!!”
Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata menyerupai itu??”
Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!!”
Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya!!”
Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan terang mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang saya putuskan??”
Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan jadinya membatalkan keinginannya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan dia memperoleh hasil yang melimpah menyerupai sebelumnya. Maka dia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!!”
Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan sang raja yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, sang raja berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak usang berselang, tiba serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubug sederhana itu ke kotakerajaan. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.
Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam yaitu penguasa yang sempat ‘dirasani’nya (dibicarakan, dighibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu??”
Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi bila raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”