(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Tepat jam 7.30 pagi bus MCV 500 yang kami tumpangi meluncur, berjalan hening melewati kota Kairo yang eksotik. Angin yang berhembus seolah mengajak para penumpang menari dalam ruang batin yang dalam. Betapa mozaik menyerupai ini mengingatkan kita pada kampung Mali, wacana sawah dan sungainya yang jernih. Beberapa ketika kemudian, Kairo tak lebih menyerupai lagunya Tommy J Pisa; Dibatas Kota.
Bus yang membawa 50 anggota Keluarga Mahasiswa Aceh terus berjalan, kita diajak untuk menghayati ciptaan sang Maha Pencipta, ternyata alam yang Allah peruntukkan untuk insan belumlah dimaknai dengan benar. Kita begitu serakah dan sombong menatap alam sekitar. Sementara padang pasir yang terhampar dengan santunnya menyapa; wahai.. Singgahlah disini, bacakan kami puisi…”
Padang pasir telah menjadi inspirasi, surganya para penyair. Bagaimana ketika sastrawan Mesir sekelas Syarnubi menatap dalam padang pasir kemudian menelurkan magnum opusnya. Dalam rentang waktu yang sangat usang padang pasir telah merasuk kedalam penyair-penyair Arab. Dan hari ini misalnya, pikiran kita boleh saja liar, menatap padang pasir. Mengumpulnya kedalam sebuah ide wacana bus yang tiba-tiba mogok, ada sebuah rumah milik keluarga Mesir, ada seorang gadis disana dan kita terpikat. Ide-ide menyerupai ini kalau dikembangkan akan menjadi sebuah dongeng romansa yang apik.
Kisah Laila-Majnun yang digambarkan sebagai hubbon jamman ialah wujud lain bagimana sastra padang pasir bergerak. Syair-syair Majnun benar-benar majnun. Ia melewati padang pasir, Majnun yang jiwanya dipenuhi pasir-pasir puisi. Berada disini kita sanggup terkenang dengan Buya Hamka, jiwanya terinpirasi lewat tanah Minang yang indah.
Kita diingatkan kembali suatu ketika wacana seorang sastrawan Mesir yang berkunjung ke Aceh, kemudian menyapa Hasyimi; Alam Aceh ini seluruhnya ialah puisi. Para serdadu Belanda ketika di Aceh juga tak sanggup lari dari sastra, kita ingat ketika Habib Abdurrahman Az-Zahir menyerah. Para Belanda dengan senangnya merayakan kegembiraannya lewat beberapa lirik. Matruh dalam hal ini kita dapati telah menjadi bab dari mozaik itu.
Lima jam perjalanan dari Kairo ke Marsa Matruh haruslah menjadi perjalanan sastra yang menyenangkan. Nilai-nilai sastra sanggup saja terkandung dalam bu luho pinggir pantai Ajiba atau bahkan pada kran-kran air yang tak lagi berfungsi. Dan kita berusaha untuk mengabadikan itu semua sebagai bab dari kuliah alam. Bersama beberapa tembang kenangan era 90-an, Matruh semakin nyata, bermetamorfosis menjadi Mali. Betapa kita sanggup merasakan gezah yang mendalam ketika mendengar lagunya Koesplus dan Ebit G Ade.
Aku tak sabar lagi
bernyanyi dan berdansa lewat kata
kemudian merasakan jamuan animo semi
Di hamparan Padang dan tepi bahari Ajiba
(Bersambung)
Hotel Cleopatra, Kota Siwa, Matruh. Pukul 3.00 Pagi.