Oleh: Abdul Hamid M Djamil*
Dekandensi ahklak semakin meraja rela dalam kehidupan sosial masyarakat muslim hari ini, terutama di kalangan remaja. Pada mulanya kemerosotan ahklak ini hanya terjadi pada remaja-remaja yang tidak tersentuh dengan dunia pendidikan. Pada tahun berikutnya dekandensi ahklak sudah merasuki remaja-remaja terpelajar.
Hal ini sanggup dilihat dari pergaulan mereka sehari-hari. Mulai dari pergaulan bebas, mabuk-mabukan, berjudi, berzina, berpacaran, dan lain sebagainya. Kemorosotan ahklak kaum cukup umur semakin terlihat dengan banyaknya media-media yang mengekspos banyak sekali masalah negatif yang mereka lakukan.
Seharusnya para cukup umur merasa aib dengan kasus-kasus yang terkuak ke mata publik. Sekaligus timbul rasa penyesalan dan bercita-cita untuk tidak mengulangi lagi. Tapi realitanya dengan benyaknya masalah yang terungkap, semakin semangat para cukup umur untuk melaksanakan hal-hal kejahatan. Naas!
Akibatnya sudah banyak dari remaja-remaja terpelajar yang kehilangan jati dirinya sebagai orang terdidik yang seharusnya berahklak terpuji. Padahal ahklak inilah yang menjadi pembeda antara cukup umur terpelajar dengan cukup umur liar (baca: tidak terdidik).
Setelah terungkap kasus-kasus yang mereka lakukan, bermacam-macam kutukan pun dilemparkan atas mereka oleh banyak sekali pihak. Hal ini dilakukan untuk memberi instruksi yang bahwa perbuatan itu tidak baik, bertentangan dengan norma agama dan sosial masyarakat. Sangat disayangkan pada hari berikutnya mereka kembali melaksanakan kejahatan yang sama.
Sebagai cukup umur terpelajar tentu sanggup membedakan antara kejahatan dengan kebaikan. Sesudah melaksanakan kejahatan dan menerima bermacam-macam kutukan, mereka niscaya tidak akan melakukannya lagi. Mereka niscaya merasa aib ketika kasus-kasus negatif terpampang ke mata publik. Namun kebanyakan cukup umur kini sama sekali tidak sadar.
Kelakuan mereka yang tak kunjung sadar itu terkadang menyebabkan bermacam-macam pertanyaan. Apakah remaja-remaja menyerupai itu hanya hadir sekolah untuk mengisi ketidakhadiran kehadiran saja? Atau sekedar menampakan diri mereka ke mata masyarakat bahwa mereka pelajar? Ternyata tidak, kebanyakan dari mereka orang serius dalam mencar ilmu dan aktif dalam organisasi.
Sebagian orang menganggap kelakuan bejat mereka lahir dari diri mereka sendiri. Padahal jikalau diteliti ahklak cukup umur semacam ini terindikasi oleh pendidikan balianya. Karena pendidikan yang diberikan semenjak kecil akan kuat besar dalam pembentukan cukup umur seseorang.
Buruknya ahklak cukup umur kini berefek dari didikan balinya. Karena orang bau tanah kini lebih menentukan untuk menunjukkan pendidikan umum kepada anak-anaknya ketimbang pendidikan agama. Sejak lahir ilmu pertama sekali yang diajarkan ialah cara main HP, buka laptop, main game, cara berhitung, bahasa inggris, dan lain sebagainya.
Cara mendidik menyerupai ini akan melahirkan anak yang tidak mengenal tuhannya. Agama yang ia yakini tidak akan menciptakan dia terarah sesuai dengan jalur agama. Yang pada jadinya si anak akan hidup sesuai kehendak hatinya. Se akan-akan dia merdeka untuk melaksanakan apa saja. Faktor pendidikan menyerupai inilah yang telah menciptakan kaum cukup umur bobrok ahklaknya.
Kebanyakan orang bau tanah kini dalam mendidik anak sudah menjiplak cara barat. Sehingga tidak heran jikalau pada dikala remaja, belum dewasa mereka berkelakuan menyerupai remaja-remaja barat. Selanjutnya pendidikan balia si anak menyerupai ini tidak sesuai dengan metode-metode pendidikan Islam.
Sebagai ummat Islam pendidikan pertama yang harus diberikan kepada anak-anaknya ialah mengenalkan Allah Swt (ilmu tauhid). Ketika si anak sudah mengenal Allah, ajarkan cara beribadat (ilmu fiqih). Selanjutnya ajarkan cara menjaga ibadat tersebut semoga tidak sirna (ilmu tasauf).
Jika ke tiga pendidikan ini sudah ada pada diri si anak, ketika beranjak masa cukup umur belum dewasa kita akan menjadi eksklusif yang baik kecerdikan pekertinya, lembut tutur katanya. Karena ke tiga pendidikan di atas sudah merepresentasi bagaimana cara berintereaksi dengan Allah dan cara berintereaksi dengan manusia.
Dalam kitab suci Alquarn sudah tertera cara mendidik anak serta ilmu apa pertama kali yang harus ditanamkan oleh orang tua. Banyak kisah-kisah para pendahulu kita yang sukses mendidik anak dengan metode Alquran. Sebut saja Lukmanul Hakim. Lalu pelajaran apa saja yang dia berikan kepada anaknya?
Pertama, duduk kasus aqidah. Sebagaimana firman Allah," Wahai anak ku jangan sekali-kali engkau sekutukan Allah" (QS: Al-Lukman:13).
Ke dua, rasa hormat kepada orang tua. Sebagai mana firman Allah," Dan kami perintahkan kepada insan (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapakya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada ku dan ke dua ibu bapak mu, hanya kepada ku lah kembalimu" (QS: Al-Lukman: 14).
Ke tiga, pendidikan moral. " Wahai anakku bila ada kebaikan yang kau kerjakan, kecil (tidak nampak oleh pandangan mata yang zahir), yang kecil itu tersembunyi dipuncak langit, di dasar bumi yang paling dalam atau di tengah-tengah kerikil hitam sekalipun, Allah niscaya akan mengetahuinya dan niscaya akan menunjukkan jawaban yang sedail-adilnya" (QS: Al-Lukman: 16).
Ke empat, tatanan hidup si anak. "Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah" (QS: Al-Lukman: 17).
Inilah dasar-dasar agama dalam mendidik anak yang harus diaplikasikan oleh setiap orang bau tanah sebelum menunjukkan banyak sekali disiplin ilmu lainnya. Mantapkan aqidah, tanamkan rasa hormat kepada orang tua, ajarkan ahklak dan tingkah laris yang baik, lalu berikan tatanan hidup yang sesuai dengan Islam.
Kalau metode pendidikan Lukmanul Hakim sudah menjadi prioritas orang-orang bau tanah kini dalam mendidik anak, insya Allah belum dewasa kita nantinya akan tumbuh sebagai cukup umur yang taat kepada Allah, patuh kepada orang tua, dan jauh dari tingkah laris yang tercela. Kita lihat saja.
*Penulis ialah mahasiswa tingkat final Fak. Syariah Wal Qanun Jur. Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Mesir