Wednesday 4 March 2020

Kalau Kita Tahu Jalannya


Semalam saya gres tahu kalau ternyata jarak dari Tahrir ke 'Attabah itu sangat dekat. Tentu jarak tersebut erat bagi orang yang mengetahui jalannya. Tapi bagi orang yang tidak tahu jalan yang benar, mungkin akan menghabiskan waktu dua jam gres hingga ke ‘Attabah lantaran harus berputar-putar mencari jalan yang benar.

Tadi pagi, Syekh Abdul Qadir, guru tahfidz saya menyampaikan bahwa ilmu itu gampang bagi orang yang tahu jalannya, tahu di mana dia harus memulai, kemudian menyebarkan dan seterusnya. Akan tetapi bagi orang yang tidak tahu jalannya, maka akan sulit baginya untuk mendapat ilmu tersebut, lantaran dia tidak tahu harus memulainya dari mana, apa lagi mengembangkan.

Kemudian ia melanjutkan bahwa permulaan dari jalan tersebut yaitu dengan menghafal Al Qur’an. Sejarah ilmuwan atau ulama islam menuliskan bahwa setiap ulama besar pada masa dahulu  selalu memulai pendidikan mereka dari menghafal Al Qur’an. Baru sesudah itu mereka mulai mendalami ilmu-ilmu yang lain.
Karena Al Qur’an sangat bermanfaat bagi kita untuk memahami ilmu-ilmu yang lain.

Tidak ada seorang muhadits yang dikala masa kecilnya pribadi langsung mempelajari hadits secara riwayah atau dirayah. Begitu pula para fuqaha, walaupun mereka Ahli fiqh, tapi permulaan jalan yang mereka pilih yaitu menghafal Al Qur’an menyerupai yang dilakukan oleh imam Syafi’i. Bahkan para ilmuwan islam dibidang sains pun penghafal Al Qur’an.

Sebagai penuntut ilmu, apalagi ilmu agama, kita harus mengetahui langkah-langkah yang harus kita tempuh dalam mendapat ilmu tersebut. Memang setiap orang memiliki langkahnya masing-masing dalam mencari ilmu, tapi saya rasa kita semua setuju bahwa al qur’an menjadi prioritas penting diantara semua itu. Karena Al Qur’an merupakan sumber nomor satu dalam syari’at islam.

Banyak orang kini ini yang berbicara perihal islam, tapi sumber yang mereka sanggup hanyalah dari khayalan nalar semata. Oleh alasannya yaitu itu, banyak diantara mereka yang salah kaprah dalam menarik kesimpulan.

Contohnya yang pernah penulis temui perihal problem bermazhab, banyak yang menuntut untuk apa kita bermazhab, bukankah al qur’an menyuruh kita untuk berfikir? Bukankah setiap insan memiliki akalnya masing-masing? Dan imam mazhab tersebutkan juga manusia, bukankah apa yang mereka sampaikan sanggup saja salah?

Mungkin orang yang bertanya menyerupai itu belum khatam membaca al qur’an. Atau bahkan tidak pernah baca al qur’an. Tapi yang mereka baca hanyalah buku-buku yang berisi syubhat perihal al qur’an. Sehingga walaupun mereka telah menuntaskan studi hingga bermacam jenjang, tetap saja belum mendapat apa-apa.

Allah menyuruh kita untuk memperkerjakan nalar kita dalam ayat-ayat kauniyah. Tetapi Allah juga Maha Mengetahui bahwa nalar insan memiliki batas. Maka itu Allah utuskan Rasul bersama Al Qur’an sebagai penjelas Syari’at Allah. Dan ulama merupakan pewaris para Nabi. Allah berfirman dalam Al Qur’an dalam surat An Nahl ayat 43:

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jikalau kau tidak mengetahui."

Kalau seandainya semua orang bebas memakai akalnya masing-masing, kenapa kita membutuhkan dokter dikala sakit. Bukankah kita sanggup memakai nalar kita masing-masing untuk menyembuhkan penyakit tersebut?

Jalan yang kita pilih memilih tujuan yang akan kita capai. Pepatah Arab mengakatan, “Barang siapa yang berjalan di atas jalannya, maka ia akan sampai.”

Mungkin saya termasuk telat mnyadari hal ini, maka itu kepada yang lebih muda dari saya, jangan sia-siakan waktu kalian. Segera memulai sebelum terlambat. Dan bagi yang lebih tua, tidak ada kata terlambat, selagi hayat masih dikandung badan. Dan bagi calon orang renta atau yang sudah menjadi orang tua, tanamkanlah pada bawah umur rasa cinta untuk berguru dan menghafal Al Qur’an, sebagai bekal masa depan umat yang lebih cerah.

Redaksi (FR)

banner
Previous Post
Next Post