Sunday 8 March 2020

Tafsir Al-Qur’An Surat Al-Fatihah Ayat (6)

Tafsir -Fatihah, ayat 6




{صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ}



(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.



Dalam hadis yang kemudian disebutkan apabila seseorang hamba mengucapkan.”Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ...." hingga final surat. maka Allah Swt. berfirman: Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta



Firman Allah swt yang mengatakan: Yaitu jalan orang-orangyang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 7) berkedudukan menafsirkan makna siratal mustaqim. Menurut kalangan andal nahwu menjadi badal. dan boleh dianggap sebagai 'ataf bayan.



Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. yakni mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:



وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ عَلِيماً



Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan gotong royong dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sahabat yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu yakni karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (An-Nisa: 69-70)



Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Swt., "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka yakni para malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mere-ka itu gotong royong dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga final ayat. (An-Nisa: 69)



Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud yakni "para nabi".



Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud dengan "mereka" yakni orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid. Sedangkan berdasarkan Waki'. mereka yakni orang-orang muslim.



Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka yakni Nabi Saw. dan orang-orang yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih meliputi dan lebih luas.



*****



{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ}



bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 7)



Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari menyampaikan dibaca gaira secara nasab lantaran dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah Saw. dan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil ialah lafaz an'amta.



Makna ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka yakni andal hidayah. istiqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka yakni orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui kasus yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang yang sesat. mereka yakni orang-orang yang tidak mempunyai ilmu agama). akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapat hidayah kepada jalan yang hak (benar).



Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan aksara la untuk menawarkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.



Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas yakni pendapat yang lebih baik lantaran berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:



كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ ... يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ بِشَنِّ



Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan bunyi dari kedua kakinya di ketika melaksanakan penyerangan.



Makna yang dimaksud ialah "seakan-akan kau menyerupai dengan salah seekor unta dari temak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang lantaran cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat gairil magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi 'alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:



{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ}



Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 6-7)
Kemudian Allah Swt. berfirman:




{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ}



bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)



Di antara mereka ada yang menduga bahwa aksara la dalam firman-Nya, "Walad dallina," yakni la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya berdasarkan hipotesis mereka yakni menyerupai berikut: "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka menyampaikan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu:



فِي بِئْرٍ لَا حُورٍ سَرَى وَمَا شَعَرَ



Dalam sebuah telaga —bukan telaga yang kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak merasakannya.



Makna yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih yakni menyerupai yang telah kami sebutkan di atas. Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur’an meriwayatkan sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Umar ibnul Khattab r.a. Disebutkan bahwa Umar r.a. pernah membaca gairil magdubi 'alaihim wa gairid dallina. Sanad asar ini berpredikat sahih.



Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian, tetapi sanggup diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan ini memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sebenarnya aksara la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi supaya tidak ada dugaan yang menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta 'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud supaya masing terpisah jauh dari yang lainnya. lantaran sebenarnya jalan yang ditempuh oleh andal doktrin mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya. Sedangkan -orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Kristen telah kehilangan ilmunya. Karena itu dikatakan marah menimpa orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu kemudian ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya dengan orang yang tidak mempunyai ilmu. Orang-orang Kristen di ketika mereka mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak mengikuti kasus yang hak, akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang Yahudi dan Kristen sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat marah yakni orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.:



مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ



yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah. (Al-Maidah: 60)



Yang dikhususkan mendapat predikat sesat yakni orang-orang Nasrani, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:



قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيراً وَضَلُّوا عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ



mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 77)



Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini tampak terperinci dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.



حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سِماك بْنَ حَرْبٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عبَّاد بْنَ حُبَيش، يُحَدِّثُ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: جَاءَتْ خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذُوا عَمَّتِي وَنَاسًا، فَلَمَّا أَتَوْا بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُفُّوا لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَاءَ الْوَافِدُ وَانْقَطَعَ الْوَلَدُ، وَأَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ، مَا بِي مِنْ خِدْمَةٍ، فمُنّ عَلَيَّ مَنّ اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ: "مَنْ وَافِدُكِ؟ " قَالَتْ: عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَ: "الَّذِي فَرَّ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ! " قَالَتْ: فمنَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا رَجَعَ، وَرَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ، تَرَى أَنَّهُ عَلِيٌّ، قَالَ: سَلِيهِ حُمْلانا، فَسَأَلَتْهُ، فَأَمَرَ لَهَا، قَالَ: فَأَتَتْنِي فَقَالَتْ: لَقَدْ فَعَلَ فَعْلَةً مَا كَانَ أَبُوكَ يَفْعَلُهَا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، وَأَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَصِبْيَانٌ أَوْ صَبِيٌّ، وَذَكَرَ قُرْبَهُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمُلْكِ كسرى ولا قيصر، فقال: "يَا عَدِيُّ، مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، فَهَلْ شَيْءٌ أَكْبَرُ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؟ ". قَالَ: فَأَسْلَمْتُ، فَرَأَيْتُ وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ، وَقَالَ: "الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ، وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى"



Dia mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang menyampaikan bahwa dia pernah mendengar Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim. Addi ibnu Hatim mengatakan, "Pasukan berkuda Rasulullah Saw. tiba, kemudian mereka mengambil bibiku dan sejumlah orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Saw., mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku. 'Wahai Rasulullah. pemimpin kami telah jauh. dan saya tak beranak lagi, sedangkan saya yakni seorang perempuan yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang sanggup kusajikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah Saw. bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab, 'Addi ibnu Hatim.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,' kemudian dia membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah Saw. kembali bersama seorang lelaki di sampingnya kemudian lelaki itu berkata (kepada bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' kemudian saya meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata saya diberi." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku tiba kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya saya diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu. Sesungguhnya dia kedatangan seseorang, kemudian orang itu memperoleh darinya apa yang dimintanya; dan tiba lagi kepadanya orang lain, maka orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka saya tiba kepada dia Saw. Ternyata di sisi dia terdapat seorang perempuan dan banyak anak, kemudian disebutkan bahwa mereka yakni kaum kerabat Nabi Saw. Maka saya sekarang mengetahui bahwa Nabi Saw. bukanlah seorang raja menyerupai kaisar, bukan pula menyerupai Kisra. Kemudian dia Saw. bersabda kepadaku, 'Hai Addi. apakah yang mendorongmu hingga kau membangkang tidak mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar'? Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah Swt.'?" Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya.”Maka saya masuk Islam. dan kulihat wajah dia tampak berseri-seri, kemudian dia bersabda,



«إن الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى»



'Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu yakni orang-orang Yahudi, dan sebenarnya orang-orang yang sesat itu yakni orang-orang Nasrani'."



Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb, dan ia menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari Sammak ibnu Harb."



Menurut kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan orang-orang yang dimurkai," kemudian dia menjawab. 'Mereka yakni orang-orang Yahudi"; dan wacana firman-Nya. -Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat" dia menjawab, "Orang-orang Kristen yakni orang-orang yang sesat.



Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis Addi ini diriwayatkan melalui banyak sekali jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz (teks), bila dibahas cukup panjang.



قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ بُدَيْل العُقَيْلي، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيق، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي القُرَى، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْقَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ -وَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ-وَالضَّالُّونَ هُمُ النَّصَارَى"



Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pernah mendapat gosip dari orang yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika dia berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu dia Saw. bersabda: Mereka yakni orang-orang yang dimurkai, seraya menawarkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat yakni orang-orang Nasrani.



Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi mereka me-mursal-kannya dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi Saw. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.



Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. wacana makna al-magdubi 'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka yakni orang-orang Yahudi. Aku bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani."



As-Saddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai yakni orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat yakni orang-orang Nasrani.



Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai yakni orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat yakni orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang.



Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada imam tersebut dalam persoalan "orang-orang Yahudi yakni mereka yang dimurkai, dan orang-orang Kristen yakni orang-orang yang sesat" ialah hadis yang telah kemudian dan firman Allah Swt. yang mengisahkan wacana kaum Bani Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu:



بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِما أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْياً أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلى مَنْ يَشاءُ مِنْ عِبادِهِ فَباؤُ بِغَضَبٍ عَلى غَضَبٍ وَلِلْكافِرِينَ عَذابٌ مُهِينٌ



Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, lantaran dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat marah sehabis (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. (Al-Baqarah: 90)



Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:



قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولئِكَ شَرٌّ مَكاناً وَأَضَلُّ عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ



Katakanlah, "Apakah akan saya beritakan kepada kalian wacana orang-orang yang lebih jelek pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan monyet dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?" Mereka ini lebih jelek tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 60)



لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ عَلى لِسانِ داوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذلِكَ بِما عَصَوْا وَكانُوا يَعْتَدُونَ كانُوا لَا يَتَناهَوْنَ عَنْ مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كانُوا يَفْعَلُونَ



Telah dilaknai orang-orang kafir dari Bani Israil dengan verbal Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 78-79)
Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam rangka mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim a.s.). Setelah mereka hingga di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kau tidak akan bisa masuk agama kami sebelum kau mengambil bagianmu dari marah Allah." Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan supaya terhindar dari marah Allah." Orang-orang Kristen berkata kepadanya, "Sesungguhnya kau tidak akan bisa masuk agama kami sebelum kau mengambil bagianmu dari marah Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu."



Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Kristen lantaran mereka menganggap agama Kristen lebih bersahabat kepada agama hanif daripada agama Yahudi pada ketika itu. Di antara mereka yakni Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di ketika Allah mengutusnya dan dia beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah melimpahkan rida kepadanya.


Makna Surat Al-Fatihah



[فصل في معاني هذه السورة]



Surat Al-Fatihah berisikan tujuh ayat, yaitu mengandung kebanggaan kepada Allah, mengagungkan-Nya. dan menyanjung-Nya dengan menyebut asma-asma-Nya yang terbaik sesuai dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Disebutkan pula hari kembali —yaitu hari pembalasan— dan mengandung petunjuk-Nya buat hamba-hamba-Nya supaya mereka memohon dan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya serta berlepas diri dari upaya dan kekuatan mereka. Surat Al-Fatihah mengandung makna lapang dada dalam beribadah kepada-Nya dan meng-esakan-Nya dengan sifat uluhiyyah serta membersihkan-Nya dari segala bentuk komplotan atau persamaan atau tandingan. Mengandung permohonan mereka kepada Allah Swt untuk diberi hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus —yaitu agama Islam— dan permohonan mereka supaya hati mereka diteguhkan dalam agama tersebut hingga sanggup mengantarkan mereka melampaui sirat (jembatan) yang sebenarnya kelak di hari final zaman dan akhirnya akan membawa mereka ke nirwana yang penuh dengan kenikmatan di sisi para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.



Surat ini mengandung targib (anjuran) untuk mengerjakan amal-amal saleh supaya mereka dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh kelak di hari kiamat. Juga mengandung tarhib (peringatan) terhadap jalan yang batil supaya mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang menempuhnya kelak di hari kiamat. Mereka yang menempuh jalan batil itu yakni orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.



Alangkah indahnya ungkapan isnad (penyandaran) sumbangan nikmat kepada Allah Swt. dalam firman-Nya:



صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ



Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, (Al-Fatihah: 7)



Dibuangnya fail dalam firman-Nya:



غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ



bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)



sekalipun pada hakikatnya Allah sendirilah yang menjadi fa'il-nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat yang lain, yaitu firman-Nya:



أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْماً غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ



Tidakkah kau perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? (Al-Mujadilah: 14)



Demikian pula dalam meng-isnad-kan dalal (kesesatan) kepada pelakunya, sekalipun pada hakikatnya Allah-lah yang menyesatkan mereka melalui takdir-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt:



مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً



Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kau tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang sanggup memberi petunjuk kepadanya. (Al-Kahfi: 17)



مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ وَيَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ



Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (Al-A'raf: 186)
Masih banyak ayat lainnya yang menawarkan bahwa hanya Allah sematalah yang memberi hidayah dan yang menyesatkan, tidak menyerupai yang dikatakan oleh golongan Qadariyah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka menyampaikan bahwa pelakunya yakni hamba-hamba itu sendiri, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk melakukannya. Golongan Qadariyah ini menyampaikan demikian dengan dalil-dalil mutasyabih dari Al-Qur'an dan tidak mau menggunakan nas-nas sarih (jelas) yang justru membantah pendapat mereka. Hal menyerupai ini termasuk perilaku dari orang-orang yang sesat dan keliru. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:



«إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ»



Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur’an, mereka yakni orang-orang yang disebutkan oleh Allah. Maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.



Yang dimaksud ialah yang dinamakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya:



فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغاءَ تَأْوِيلِهِ



Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih darinya untuk menyebabkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. (Ali Imran: 7)



Segala puji bagi Allah, tiada bagi orang andal bid'ah suatu hujah pun yang sahih di dalam Al-Qur'an, lantaran Al-Qur'an diturunkan untuk memisahkan antara kasus yang hak dan kasus yang batil dan membedakan antara hidayah dengan kesesatan. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat pertentangan, tidak pula perselisihan, lantaran ia dari sisi Allah, yaitu diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji.


Tentang Amin



[فَصْلٌ في التأمين]



Orang yang membaca Al-Fatihah disunatkan mengucapkan lafaz amin sesudahnya yang ber-wazan semisal dengan lafaz yasin. Akan tetapi, adakalanya dibaca amin dengan bacaan yang pendek. Makna yang dimaksud ialah "kabulkanlah."



Dalil yang menawarkan aturan sunat membaca amin ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Turmuzi melalui Wa'il ibnu Hujr yang menceritakan:



سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} فَقَالَ: "آمِينَ"، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ، وَلِأَبِي دَاوُدَ: رَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ



Aku pernah mendengar Nabi Saw. membaca, "gairil magdubi 'alaihim walad dallin." Maka dia membaca, "'amin," seraya memanjangkan suaranya dalam membacanya. Menurut riwayat Imam Abu Daud, dia mengeraskan bacaan amin-nya.



Imam Turmuzi menyampaikan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Hadis yang sama diriwayatkan pula melalui Ali r.a. dan Ibnu Mas'ud serta lain-lainnya.



وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلَا {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} قَالَ: "آمِينَ" حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ



Dari Abu Hurairah r.a.. disebutkan bahwa apabila Rasulullah Saw. Membaca . -Gairil magdubi 'alaihim walad dallin," kemudian dia membaca -Ammiin- hingga orang-orang yang berada di sebelah kiri dan kanannya dari saf pertama mendengar suaranya.



Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi di dalamnya ditambahkan bahwa masjid bergetar lantaran bunyi bacaan amin.
Imam Ad-Daruqutni mengatakan, sanad hadis ini berpredikat hasan.



عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تسبقني بآمين



Dari Bilal, disebutkan bahwa dia pernah berkata.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahuluiku dengan bacaan amin(mu) "
Demikianlah berdasarkan riwayat Abu Daud.



Abu Nasr Al-Qusyairi telah menukil dari Al-Hasan dan Ja'far As-Sadiq, bahwa keduanya membaca tasydid aksara mim lafaz amin, semisal dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya:



آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرامَ



(dan jangan pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2)



Menurut teman-teman kami dan selain mereka, bacaan amin ini disunatkan pula bagi orang yang berada di luar salat, dan lebih berpengaruh lagi kesunatannya bagi orang yang sedang salat, baik dia salat sendirian, sebagai imam, ataupun sebagai makmum. dan dalam semua keadaan; lantaran di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:



«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»



Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian, lantaran sebenarnya barang siapa yang bacaan amin-nya bersamaan dengan bacaan amin para malaikat, pasti dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya terdahulu.



Menurut riwayat Imam Muslim. Rasulullah Saw. telah bersabda:



«إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ آمِينَ وَالْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»



Apabila seseorang di antara kalian mengucapkan amin dalam salatnya, maka para malaikat yang di langit membaca amin pula dan ternyata bacaan masing-masing bersamaan dengan yang lainnya, pasti dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya yang terdahulu.



Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah "barang siapa bacaan amin-nya. bersamaan waktunya dengan bacaan amin para malaikat". Menurut pendapat lain, bersamaan dalam menjawabnya; sedangkan berdasarkan pendapat yang lainnya lagi, dalam hal keikhlasannya.



Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Abu Musa secara marfu



"إِذَا قَالَ، يَعْنِي الْإِمَامَ: {وَلَا الضَّالِّينَ} ، فَقُولُوا: آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ"



"Apabila imam mengucapkan walad dallin, maka ucapkanlah amin oleh kalian, pasti Allah memperkenankan (doa) kalian.”



Juwaibir meriwayatkan melalui Dahhak, dari Ibnu Abbas yang menceritakan:



قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا مَعْنَى آمِينَ؟ قَالَ: "رَبِّ افْعَلْ"



Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna amin itu?" Beliau menjawab, "Wahai Tuhanku, kabulkanlah doa kami’



Al-Jauhari mengatakan, memang demikianlah makna amin, maka sebaiknya dilakukan. Sedangkan berdasarkan Imam Turmuzi. makna amin ialah "'janganlah Engkau mengecewakan impian kami". Tetapi berdasarkan kebanyakan ulama, makna amin ialah "ya Allah, perkenankanlah bagi kami".



Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid dan Ja'far As-Sadiq serta Hilal ibnu Yusaf, bahwa amin merupakan salah satu dari asma-asma Allah Swt Hal ini diriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas secara marfu. Akan tetapi, berdasarkan Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki riwayat ini tidak sahih.



Murid-murid Imam Malik menyampaikan bahwa imam tidak boleh membaca amiin, yang membaca amin hanyalah makmum. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Mafik melalui Sumai dari Abu Saleh dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda:



«وَإِذَا قَالَ- يَعْنِي الْإِمَامَ- وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ»



Apabila imam membaca walad dallin, maka ucapkanlah amin Oleh kalian.



Mereka lebih cenderung kepada hadis Abu Musa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:



"وَإِذَا قَرَأَ: {وَلَا الضَّالِّينَ ، فَقُولُوا: "آمِينَ"



Apabila imam membaca, "Walad dallin," maka ucapkanlah, "Amin," oleh kalian.



Dalam hadis yang muttafaq alaih yang telah kami ketengahkan disebutkan:



«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا»



Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian.



Nabi Saw. selalu mengucapkan amin bila telah membaca, "Gairil magdubi 'alaihim walad dallin."



Teman-teman kami (mazhab Syafii) berselisih pendapat mengenai bacaan keras amin bagi makmum dalam salat jahriyyah. Dari perselisihan mereka sanggup disimpulkan bahwa "apabila imam lupa membaca amin, maka makmum mengeraskan bacaan amin-nya." Ini merupakan satu pendapat. Bila imam membaca amin-nya dengan bunyi keras, berdasarkan qaul jadid (ijtihad Imam Syafii di Mesir), makmum tidak mengeraskan bacaan amin-nya. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Malik. Dikatakan demikian lantaran amin merupakan salah satu zikir. Untuk itu, tidak boleh dibaca keras, sama halnya dengan zikir salat yang lainnya.



Sedangkan berdasarkan qaul qadim (ijtihad Imam Syafii di Bagdad), makmum mernbacanya dengan bunyi keras. Pendapat ini merupakan yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan riwayat lain dari Imam Malik. Dikatakan demikian lantaran di dalam hadisnya disebutkan.”Hingga masjid bergetar (karena bacaan amin)."



Menurut kami, ada pendapat ketiga dari kami sendiri, yaitu "apabila masjid yang digunakan berukuran kecil, maka makmum tidak boleh mengeraskan bacaan amin-nya, lantaran para makmum sanggup mendengar bacaan imam. Lain halnya kalau masjid yang digunakan berukuran besar, maka makmum mengeraskan bacaan amin supaya sanggup didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid".



Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya telah meriwayatkan melalui Siti Aisyah r.a., bahwa pernah dikisahkan perihal orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah Saw. Maka dia bersabda:



 «إِنَّهُمْ لَنْ يَحْسُدُونَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَا عَلَى الْجُمُعَةِ التي هدانا الله لها وضلوا عنها وعلى القبلة التي هدانا الله لها وضلوا عنها وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ آمِينَ»



Sesungguhnya mereka tidak dengki terhadap kita atas sesuatu hal sebagaimana kedengkian mereka terhadap kita lantaran salat Jumat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, tetapi mereka sesat darinya; dan lantaran kiblat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya. dan lantaran ucapan amin kita di belakang imam.
Ibnu Majah meriwayatkannya pula dengan lafaz menyerupai berikut:



«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ»



Tiada sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian lantaran ucapan salam dan amin.
Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:



«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى قَوْلِ آمِينَ فَأَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ آمِينَ»



Tidak sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian lantaran ucapan amin. Maka perbanyaklah bacaan amin.
Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat Talhah ibnu Amr, sedangkan dia berpredikat daif.



Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,



"آمِينَ: خَاتَمُ رَبِّ الْعَالَمِينَ عَلَى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ"



"Ucapan amin yakni pungkasan doa semua orang bagi hamba-hamba-Nya yang beriman."



Dari Anas r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:



«أُعْطِيتُ آمِينَ فِي الصَّلَاةِ وَعِنْدَ الدُّعَاءِ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ قَبْلِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُوسَى، كَانَ مُوسَى يَدْعُو وَهَارُونُ يُؤَمِّنُ فَاخْتِمُوا الدُّعَاءَ بِآمِينَ فَإِنَّ اللَّهَ يَسْتَجِيبُهُ لَكُمْ»



Aku dianugerahi amin dalam salat dan ketika melaksanakan doa, tiada seorang pun sebelumku (yang diberi amin) selain Musa. Dahulu Musa berdoa, sedangkan Harun mengamininya. Maka pungkasilah doa kalian dengan bacaan amin, lantaran sebenarnya Allah pasti akan memperkenankan bagi kalian.



Menurut kami, sebagian ulama berdalilkan ayat berikut, yaitu firman-Nya:



وَقالَ مُوسى رَبَّنا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوالًا فِي الْحَياةِ الدُّنْيا رَبَّنا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلى أَمْوالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلى قُلُوبِهِمْ فَلا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ. قالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُما فَاسْتَقِيما وَلا تَتَّبِعانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ



Musa berkata, "Wahai Tuhan kami, sebenarnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya aksesori dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami. akhirnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." Allah berfirman, "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kau berdua, alasannya itu tetaplah kau berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kau mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui’ (Yunus: 88-89)



Allah menyebutkan bahwa yang berdoa hanyalah Musa a.s. sendiri, dan dari konteks kalimat terdapat pengertian yang menawarkan bahwa Harun yang mengamini doanya. Maka kedudukan Harun ini disamakan dengan orang yang berdoa, lantaran berdasarkan firman-Nya: Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kau berdua. (Yunus: 89)



Hal ini terperinci menawarkan bahwa orang yang mengamini suatu doa seolah-olah dia sendiri yang berdoa. Berdasarkan pengertian ini, maka berkatalah orang yang beropini bahwa sebenarnya makmum tidak usah membaca surat Al-Fatihah lagi lantaran ucapan amin-nya atas bacaan surat tersebut sama kedudukannya dengan dia membacanya sendiri. Karena itu, dalam sebuah hadis disebutkan:



"مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ"



Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imamnya itu juga bacaannya.



Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya. Bilal pernah mengatakan.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahului saya dengan ucapan amin(mu)" Berdasarkan pengertian ini sanggup dikatakan bahwa tidak ada bacaan bagi makmum dalam salat jahriyah berkat ucapan amin-nya).



قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ كَعْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ} فَقَالَ: آمِينَ، فَتُوَافِقُ آمِينَ أَهْلِ الْأَرْضِ آمِينَ أَهْلِ السَّمَاءِ، غَفَرَ اللَّهُ لِلْعَبْدِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَثَلُ مَنْ لَا يَقُولُ: آمِينَ، كَمَثَلِ رَجُلٍ غَزَا مَعَ قَوْمٍ، فَاقْتَرَعُوا، فَخَرَجَتْ سِهَامُهُمْ، وَلَمْ يَخْرُجْ سَهْمُهُ، فَقَالَ: لِمَ لَمْ يَخْرُجْ سَهْمِي؟ فَقِيلَ: إِنَّكَ لم تقل: آمين"



Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibranim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Ibnu Abu Salim, dari Ka'b, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.


pernah bersabda: Apabila seorang imam mengucapkan gairil magdubi 'alaihim walad dallin, kemudian ia mengucapkan amin. ternyata bacaan amin penduduk bumi bersamaan dengan bacaan amin penduduk langit (para malaikat), pasti Allah mengampuni hamba yang bersangkutan dari dosa-dosanya yang terdahulu. Perumpamaan orang-orang yang tidak membaca amin (dalam salatnya) sama dengan seorang lelaki berangkat berperang bersama suatu kaum. Kemudian mereka melaksanakan undian (untuk memilih yang maju) dan ternyata penggalan mereka keluar, sedangkan penggalan dia tidak keluar. Kemudian dia memprotes.”Mengapa bagianku tidak keluar?"Maka dijawab, "Karena kau tidak membaca amin.”
banner
Previous Post
Next Post