Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
Seperti yang dikutip dari Strong’s Greek Dictionary, Filsafat secara harfiah mempunyai arti “pecinta kebijaksanaan”. Isinya meliputi kajian masalah umum dan sangat fundamental mengenai dilema eksistensi, pengetahuan, nilai, norma, akal, pikiran maupun bahasa, “The aim of philosophical inquiry is to gain insight into questions about knowledge, truth, reason, reality, meaning, mind, and value”. Atau dalam definisi yang lebih singkat lagi, pengetahuan dan penyelidikan dengan daypikir mengenai hakikat segala hal yang ada, sebab, asal dan hukumnya.
Filsafat merupakan salah satu bidang yang mendapat perhatian besar Islam semenjak masa klasik hingga ketika ini. Akan tetapi filsafat yang dimaksud yaitu Filsafat Islam. Islam mempunyai prinsip tersendiri dalam corak berpikir dan berargumentasi. Filsafat Islam tak akan pernah terpisah dari lembaran khazanah pemikiran Islam.
Berbicara mengenai filsafat, pastinya ada sebagian orang yang anti dengan filsafat karena alasan tertentu. Ini disebabkan karena ketidaktelitian dalam mencermati, memilih, dan menyaring sehingga lahirlah kesalahan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Hasil dari ketidaktelitian tadi menciptakan seseorang mengambil keputusan bahwa Filsafat Islam merupakan jiplakan dari Yunani. Benarkah Filsafat Islam plagiasi dari corak pemikiran Yunani? Akan kita bahas sehabis ini.
Kesalahan dalam Memahami Perbedaan Filsafat dan Agama
Mengenai penisbatan istilah filsafat dengan salah satu nama agama, muncul pertanyaan apa perbedaan dari filsafat dan agama. Haidar Bagir menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Buku Saku Filsafat Islam”, dia menulis bahwa jikalau ada orang yang bertanya apa perbedaan filsafat dan agama, balasan standarnya yaitu filsafat lahir dari keragu-raguan, sedangkan agama dimulai dari keimanan. Sekilas jikalau diperhatikan, balasan ini tampak memuaskan meskipun jikalau dilihat dari sudut pandang filsafat pra-modern khususnya Islam, balasan ini kurang sempurna untuk diangkat.
Mengapa kurang tepat? Ada dua alasan. Yang pertama, dalam Islam keimanan merupakan
paham rasionalistik. Maksudnya yaitu keimanan itu tiba belakangan atau paling cepat
bersamaan dengan akal. Makara agama harus dipahami secara rasional. Bahkan dalam Islam sendiri, seseorang dianjurkan beriman dengan kepercayaan yang benar sesuai dengan pemikirannya sendiri, bukan ikut-ikutan (taqlid) buta. Nabi Muhammad Saw. juga memberikan bahwa agama yaitu akal. Tidak mungkin orang yang tidak mempunyai kebijaksanaan atau rusak akalnya mempunyai agama.
Alasan kedua, filsafat juga tidak sempurna jikalau dikatakan lahir dari perilaku skeptisisme (keragu-raguan) karena metode yang dipakai dalam Filsafat Islam sendiri. Metode yang dipakai dalam Filsafat Islam yaitu metode burhani artinya metode yang mempunyai prinsip menampakan bukti yang nyata.
Maka sehabis ditelaah lebih lanjut, perbedaan filsafat dan agama tak sanggup dijawab dengan balasan yang standar memuaskan tadi. Lebih tepatnya yaitu agama yang berprinsip iktikad tiba ketika adanya akal, dan filsafat lahir karena memakai metode burhan. Maka keimanan dan filsafat selama arahnya tak bertentangan dengan prinsip iman, maka filsafat akan menjadi embel-embel atau penguat iktikad kita.
Tuduhan Filsafat Islam Merupakan Plagiasi dari Yunani
![]() |
Sumber: vedolunmus.com |
Ernest Renan (1823-1892 M) menuduh bahwa Filsafat Islam berasal dari teks-teks Yunani atau hanya nukilan dari filsafat atau pemikiran Aristoteles (384-322 M) sebagai bapaknya filsafat. Tuduhan juga tiba dari Pierre Duhem (1861-1916 M) yang menyampaikan Filsafat Islam berasal dari Neo-Platonisme. Tuduhan ini sanggup dijawab dengan argumentasi sebagai berikut :
1. Belajar atau berguru bukan berarti menciptakan seseorang hanya meniru-niru semata. Harus diketahui dan dipahami bahwa adanya suatu ide, tak menutup kemungkinan ide tersebut bisa dikembangkan dan dibahas oleh banyak orang dan dari pengembangan ide tersebut akan muncul aneka macam macam fenomena. Semua orang mempunyai hak untuk
membuatkan ide atau filsafat orang lain. Ingat! Mengembangkan dan menjiplak itu dua hal yang berbeda. Contohnya Aristoteles yang merupakan murid dari Plato (427-348 M), tetapi Aristoteles sebagai murid tetap mempunyai pandangan tersendiri yang berbeda bahkan tidak pernah disampaikan oleh gurunya.
Dalam sejarah ulama fikih juga ada yang menyerupai itu. Imam Syafi’i (767-820 M) yang berguru dengan Imam Malik bin Anas (716-796 M) dalam bidang Ilmu Fikih. Walaupun berguru, Imam Syafi’i mempunyai pandangan tersendiri yang berbeda dengan gurunya Imam Malik. Bahkan Imam Syafi’i mempunyai qaul-qaulnya tersendiri hingga jadilah satu mazhab fikih yang berjulukan Mazhab Syafi’i, begitu juga gurunya mempunyai qaul dan menjadi salah satu mazhab fikih mu’tabar yang dinamakan dengan Mazhab Maliki. Hal menyerupai itu juga yang dialami oleh para filosof muslim menyerupai Al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Rusyd (1126-1198 M), walau mereka diilhami dengan oleh pemikiran Yunani, tapi mereka mempunyai pandangan tersendiri yang berbeda dari sebelumnya ketika belajar.
2. Karl A. Steenbrink menyatakan bahwa ide, gagasan atau pemikiran yaitu hasil dari mulut dan hasil dari komunikasi sang tokoh dengan kondisi lingkungan sosialnya. Artinya sebuah ide, gagasan atau pemikiran tak mungkin terpisah dari kebijaksanaan sosial, tradisi, dan kepribadian seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya, dan kondisi sosial yang berbeda.
Oleh karenanya, menyamakan dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan yaitu sesuatu yang sangat tidak tepat, sehingga klarifikasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor dan kondisi kulturalnya juga menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah dilewati.
3. Dalam sejarah, karya-karya Yunani pertama kali diterjemahkan bertahap ke dalam bahasa Arab ketika masa kekuasaan Dinasti Umayyah (661-750 M). Pada Dinasti Umayyah tersebut, karya filsafat yang diterjemahkan sedikit itu tidak diterima oleh masyarakat umum dan sama sekali belum mapan. Tokoh yang pertama sekali menerjemahkan filsafat pada Dinasti Umayyah yaitu Ja'far bin Yahya Al-Barmaki (767-803), dari penerjemahan tersebut lahir filosof muslim pertama yaitu Al-Kindi (801-873).
Perlu diketahui, bahwa pemikiran-pemikiran rasional sudah lebih dulu ada dan mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani, buktinya yaitu Imam Abu Hanifah yang hidup dari tahun 699 hingga 767 masehi sebagai fakih yang mazhabnya dikenal dengan mazhab rasional (‘aqli), mazhab dia terbebas dari imbas filsafat karena dia lahir di masa ditolaknya filsafat. Ini memberikan bahwa rasionalitas sudah hidup di kalangan muslim sebelum meluasnya penerjemahan filsafat Yunani. Filsafat Yunani barulah lalu mulai digarap dan benar-benar mendapat perhatian besar pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) tepatnya pada masa Khalifah Al-Makmun (811-833 M).
Perlu diketahui, bahwa pemikiran-pemikiran rasional sudah lebih dulu ada dan mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani, buktinya yaitu Imam Abu Hanifah yang hidup dari tahun 699 hingga 767 masehi sebagai fakih yang mazhabnya dikenal dengan mazhab rasional (‘aqli), mazhab dia terbebas dari imbas filsafat karena dia lahir di masa ditolaknya filsafat. Ini memberikan bahwa rasionalitas sudah hidup di kalangan muslim sebelum meluasnya penerjemahan filsafat Yunani. Filsafat Yunani barulah lalu mulai digarap dan benar-benar mendapat perhatian besar pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) tepatnya pada masa Khalifah Al-Makmun (811-833 M).
Pada masa-masa ini, ternyata sistem berpikir rasional sudah berkembang pesat di tengah masyarakat intelektual Arab-Islam, yaitu dalam bidang fikih dan ilmu kalam (teologi). Dalam fikih, penggunaan nalar rasional dipakai dalam bidang istinbath (penggalian) aturan menyerupai qiyas, istihsan, dan muslahatul mursalah sudah lazim digunakan. Tokoh- tokoh yang sudah mengimplementasi metode istinbath hukm tersebut menyerupai Imam Hanafi (699-767 M), Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris (Imam Syafi’i), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Mereka semua hidup sebelum masa kedatangan Filsafat Yunani, supaya Allah merahmati mereka.
Semua bukti di atas memberikan bahwa sebelum dikenal adanya nalar dan filsafat Yunani, Islam sudah mempunyai nalar dan gaya pemikiran filosofis sendiri yang berjalan di tengah masyarakat. Terutama di bidang teologi dan kajian hukum. Maka pemikiran rasional dari teologi dan aturan Islam inilah yang telah berjasa menyiapakan landasan akan diterima dan berkembangnya nalar dan Filsafat Yunani dalam tradisi pemikiran Islam.
Jika memang Filsafat Islam tidak diplagiasi dari filsafat pemikiran Yunani dan memang murni dari agama Islam sendiri, muncul persoalan. Bagaimana pokok-pokok pemikiran Islam yaitu Al-Quran yang bersifat global dan tidak memberikan tata cara berpikir secara eksklusif dan terperinci bisa melahirkan sistem berpikir rasional dan filosofis? Jika ingin kita jelaskan secara lengkap dalam artikel singkat ini maka tidak akan cukup. Perlu artikel yang lebih khusus lagi.
Tapi secara singkat, munculnya cara berpikir rasional dan filosofis murni dalam Islam muncul pertama kali didorong oleh munculnya mazhab-mazhab ilmu nahwu karena keperluan untuk bisa memahami kandungan ayat Al-Quran dengan baik dan benar.
Al-Quran turun dalam bahasa Arab, tetapi tidak semua lafalnya dengan gampang dipahami oleh kalangan Arab sendiri ketika itu. Sejak ketika itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib (600-661 M) sudah dirasakan adanya keperluan primer wacana tafsir dan cara pembacaan yang benar. Maka lahirlah tiga mazhab nahwu, antara lain mazhab nahwu Basrah yang cenderung menegakkan koordinasi rasional terhadap bahasa. Kemudian mazhab nahwu Kufah yang bersandar kepada sosiologi bahasa (sima’i), dan yang terakhir yaitu mazhab nahwu Baghdad sebagai penengah mazhab Basrah dan Kufah, mencari keselarasan antar dua mazhab.
Maka dari semua klarifikasi ini, muncul tiga kesimpulan besar mengenai bagaimana asal muasal lahirnya sistem pemikiran rasional dan filosofis dalam Islam :
1. Filsafat atau kajian pemikiran Islam bukan lahir dari pemikiran Yunani. Filsafat Islam
lahir dari budaya dan keadaan sosialnya sendiri.
2. Lahirnya kajian-kajian pemikiran pertama kali dalam Islam berawal dari penyusunan
kaedah bahasa Arab (Ilmu Nahwu).
3. Filsafat yunani pertama masuk dalam ranah Islam pada masa khalifah Al-Makmun sebagai acara penerjemahan besar-besaran.
Wallahu A’laa wa A’lam...[]
*Penulis yaitu Mahasiswa Tingkat I Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin.