Monday 30 September 2019

Alumni Sdn 01 Cikeren

Oleh : Setia Farah Dhiba* 
(Image ; Google)


Kegaduhan murid-murid yang bermain sambil mengisi perut mulai terdengar dikala istirahat tiba. Nada-nada sobekan dari bungkusan roti, membuka botol minuman, juga bunyi mengunyah kuliner nan lahap terdengar dari ekspresi Rani yang duduk bersebelahan dengan meja Rara. Tampak dari raut wajah Rani bahwa pelajaran matematika dengan bahan persamaan garis lurus tadi cukup menguras energi sarapannya, seakan harus diisi kembali di waktu istirahat. Riuh canda tawa murid hari ini layaknya hari sekolah biasa, baik di SDN 01 maupun di sekolah dasar lainnya, mungkin ini sebagai bentuk simpulan dari masak kanak-kanak mereka sebelum masuk ke sekolah menengah pertama. 

Waktu istirahat belum selesai, sisa 10 menit terakhir, namun ada keributan di sudut kelas yang menarik perhatian Rara. Dodit, seorang siswa kelas 6  SDN 01 Cikeren yang menerima juara umum di setiap simpulan semester. Ia memang populer sangat rajin, pintar, baik hati, dan super kalem, saking kalemnya di menit-menit terakhir waktu istirahat ia malah gaduh. Pelakunya yaitu Zizo, sudah jelas, dari meja depan Rara melihat pribadi agresi Zizo dikala membully Dodit di sudut belakang kelas. Ia memaksa Dodit untuk memperlihatkan jajanannya, terlihat Dodit hanya memegang erat bungkusan rotinya yang ditarik oleh Zizo sambil gemetaran tanpa keluar satu bunyi pun. Miris. 

Ini merupakan tahun kedua Rara sanggup satu kelas bersama Zizo, siswa sok punya kekuasaan seantero kelas ini memang suka cari ribut, padahal cekingnya sama saja dengan Dodit, namun bunyi cemprengnya bisa mengalihkan perhatian murid lain dari kuliner mereka kepadanya. 

“Lepasin gak tanganmu! Aku sudah nunggu dari tadi tapi kau gak tiba ke belakang kelas, cepat culun! 'Sungguh garang perlakuannya' “yahhh dia nangis, makanya cepat berikan rotimu!” Paksa Zizo pada Dodit. 

Rara menutup kotak bekalnya dengan kesal, ia bangun dari kursi, menuju sudut kelas. 

“Mau kemana kau Ra? Jangan Ra!” Rani semakin takut alasannya yaitu sahabat perempuannya yang sungguh berani kini berjalan menuju arah Dodit dan Zizo. 

Semua murid menatap langkah Rara yang berani, sementara Zizo masih menarik roti Dodit tanpa menyadari kehadiran rara. 

“Eh, dasar ceking, beraninya maksa, kenapa gak minta bagi baik-baik sih?” Teriak Rara di belakang Zizo yang otomatis menciptakan Zizo berbalik badan. 

“Cie... cie... ada yang belain nih," ejek Zizo. "Ini tu udah jatahnya Zizo untuk bagi jajanannya, salah dia dari tadi gak tiba ke belakang sekolah.” Balas Zizo dengan ekspresi sombong. 

“Gak bisa gitu dong, enak aja main ambil seenak hati, kalo mau ya beli sendiri makanya.” 

“Makanya apa Rara?” Tegur bu Ratna dari depan pintu sontak mengejutkan seisi kelas, mereka lupa menyisakan orang untuk memantau pintu saking sengitnya perdebatan. 

“Makanya saling membuatkan itu baik, si Zizo mau membagi rotinya untuk Dodit bu, katanya gak berani alasannya yaitu Dodit lagi serius baca buku,” sambil tersenyum paksa pada Zizo. “Ini Dodit, diterima ya roti dari Zizo, semangat berguru ya!” Jawab rara di depan mereka dengan tangan keduanya yang masih sama-sama memegang roti. 

Zizo pun melepaskan roti itu dengan senyum kesal atas Dodit. Dalam hati rara merasa lega alasannya yaitu Zizo tidak jadi merebut paksa roti itu, semua murid pun kembali menduduki dingklik dan bersiap untuk pelajaran selanjutnya. 

“Kalau saya jadi dodit, sudah habis tadi si ceking, huh...!” Gumam Rara. 

Selepas kelas usai, semua murid bubar, terlihat Zizo meninggalkan kelas begitu saja tanpa memperdulikan Dodit maupun Rara, ia berlalu saja sehabis menyalami dan mencium tangan bu Ratna; guru pelajaran ilmu pengetahuan alam ini banyak disenangi siswa siswi SDN 01 Cikeren. Beliau juga aktif membimbing murid mengikuti dan mendalami acara ekstrakulikuler di sekolah sepekan tiga kali; ada sanggar tari, musikalisasi puisi, dan piano. Sosok guru yang ramah juga sangat perhatian pada muridnya, bukan sekedar bahan sekolah yang disampaikan, pesan-pesan kehidupan tak luput ia ajarkan pada murid-murid kesayangannya, alasannya yaitu sejatinya arti Guru itu berasal dari Bahasa Jawa, yakni digugu daan ditiru. 

Di parkiran sekolah Rara mengambil sepedanya untuk pulang, rumahnya yang berjarak 10 menit dari sekolah dirasa melelahkan kalau berjalan kaki di bawah terik matahari setiap hari, maka dari itu ia meminta dibelikan sepeda, bukan hanya untuk sekedar bermain-main. Kemudian ia melihat Dodit berjalan ke arah gerbang untuk menunggu, biasanya ia dijemput dengan kendaraan beroda empat mewah. Lalu Rara mencoba menegurnya yang masih diam, raut wajahnya masih terlihat takut, ntah apa yang ia fikirkan. 

“Dit, nunggu jemputan ya? emangnya rumah kau jauh dari sekolah? Kenapa gak bawa sepeda aja, bisa santai gowes-gowes, trus kalo ada orang gila, tinggal balap yang kencang. Hahahaha.” Tegur Rara berusaha untuk tidak membahas kejadian di kelas tadi. 

“Aku... aku... saya ndak bisa gowes sepeda Ra,” balas Dodit dengan nada pelan yang mungkin tak bisa Rara tiru. “Maafkan saya ya ra, terimakasih sudah mengembalikan rotiku yang mau diambil Zizo.” Sambil tertunduk jadinya Dodit kembali membahas kasus tadi. 

“hufftt... Santai-santai, lah kau sih, masa anak ceking sombong itu aja gak berani dilawan, kejahatan itu harus diberantas dan diungkap dit, bukan hanya membisu dan dibiarkan begitu saja, pokok nya kau besok-besok itu harus keluarin suara, jangan nangis, gimana sih, anak pemuda kok takut.” Balas Rara layaknya seorang abang yang menasihati adik kecilnya. 

“Ashiap ra, nanti saya bakal coba berani sama Zizo, kalau dia minta lagi kueku, akan saya bagi setengah aja.” Jawab Dodit polos. 

“Ashiap, ashiap, kebanyakan nonton youtube Andra Gemetaran sih, eh, tampaknya itu ayahmu sudah datang, itu mobilnya di seberang jalan.” Jemarinya menunjuk ke sebuah kendaraan beroda empat Kijang Innova. 

Hari yang panjang disekolah jadinya usai, Rara dan Dodit pulang kerumah masing-masing, dengan sepeda, Rara menggowes agak cepat sepeda kesayangannya itu. 10 menit berlalu, Rara pun tiba di rumah, ia pribadi menyalami dan mencium tangan bunda dan bapaknya. 

“Assalamualaikum bunda, eh, ada bapak juga, kirain masih di kantor, kan biasanya jam setengah dua siang gres pulang rumah,” sapa Rara dengan senyum bagus seraya menyalami keduanya, “emmmm busuk sekali ayam balado bunda, mau makan ahh…” aroma enak di bawah tudung kuliner pribadi menyambar hidung dikala Rara dikala ia membukanya. 

“Bersih-bersih dulu, shalat dzuhur, gres makan ya Ra.” jawab bapak sambil duduk di kursi dengan segelas kopi di tangan. 

Rara memberi jempol aba-aba mengiyakan kemudian masuk ke kamar. Beberapa dikala kemudian ia kembali ke meja makan, duduk bersama bapak dan bunda untuk menyantap makan siang bersama. 

“Bunda, gimana sih caranya melawan kejahatan? Apa harus dilawan atau dijauhi?” Fikiran ku masih terngiang kejadian di sekolah meski perut sudah demo ingin makan. 

“Tidak semua hal harus dengan kekerasan, juga tidak hanya didiamkan,” bapak menjawab dahulu sebelum bunda, “keburukan bila dibalas keburukan hanya menghasilkan keburukan itu sendiri, mungkin dengan satu kebaikan kecil akan mengurangi satu keburukan pula, bahkan bisa lebih, kalau kejahatan kita balas dengan hal yang sama lantas apa bedanya kita dengan mereka Ra? Ngerti ya? Memang ada yang jahatin kau di sekolah ya, kok nanya gitu?.” Jawab bapak menyerupai tau kejadian yang saya alami tadi. 

“Iya ra, jangan membisu aja kalau ada yang ganggu kau ya, psikis seseorang bisa terganggu alasannya yaitu selalu mendam duduk kasus sendiri, apalagi anak-anak, ada yang sampe harus ke psikolog, eh rupanya dia stress akhir bully sobat sekolah loh pak, dengar kan ra.” Bunda menambah klarifikasi sambil menambah sayur hijau mengerikan di piring ku, jleb. 

“Iya bun, Rara bisa stress kalau sayurnya ditambah terus.” Tergurnya cekikikan.

*** 

Hari gres tiba lagi, Rara si pemberani telah siap dengan sepedanya menuju sekolah. Pukul tujuh pagi ia telah siap untuk menggowes sambil olahraga, ia meminta bunda untuk menyiapkan 2 kotak bekal roti yang sudah dimasukkan dalam tas sebelum berangkat. Rara berangkat sehabis pamitan, menyerupai pagi biasanya, ada cahaya matahari, angin sepoi yang menciptakan jelbab putihnya melambai-lambai kecil, dan beberapa polisi tidur di jalanan. Harapan biar kelas hari ini kondusif hening terpancar dari wajah rara, sedamai perjalannya menuju sekolah. 


Nyatanya tidak, sekitar 20 meter sebelum menemui gerbang sekolah ia sudah melihat pemandangan yang tidak menyenangkan, Rara berhenti sejenak, tampak Zizo yang berdiri di samping sepeda renta ayahnya sedang menangis, dari gerak-geriknya ia kesal pada ayahnya, ntah apa isi pembicaraan mereka, ayahnya hanya memegang kepala Zizo sambil mengelus rambutnya. Tapi Zizo malah pergi begitu saja tanpa menyalami apalagi mencium tangan ayahnya. Miris, untuk kedua kalinya. 

Pelajaran pertama hari ini yaitu matematika, ada kiprah kemarin yang harus dikumpulkan hari ini. Rara memasuki kelas dengan normal, berpura-pura menyerupai tidak tau Zizo yang tadinya menangis. Sebentar lagi bu Zahra akan datang, dia populer agak kejam memang bagi sebagian anak, sangat ramah bila kita bisa mengerjakan tugas, bila tidak, maka sebentar lagi kalian akan tahu apa yang terjadi. Baiklah, dan detik-detik menegangkan itu tiba, Bu Zahra tiba di kelas. Semua murid berdiri untuk bersiap, memberi salam, dilanjut dengan doa pagi bersama sebelum belajar. 

“Selamat pagi semuanya, ibu harap kalian semua sudah mengerjakan kiprah untuk bahan persamaan garis lurus yang kemarin, bagaimana? Ada yang tidak bisa menjawab?” pertanyaan satu ini otomatis menggugupkan jantung sesiapa yang tidak bisa menjawab soal, terlebih yang belum mengerjakan tugas. Jleb. 

“Dodit, sudah selesaikan kiprah kamu?” 

“Sudah bu.” 

“Kamu yang disudut, paling belakang, Zozi, sudah?” Seraya menunjuk ke belakang. 

“Nama saya Zizo bu, bukan Zozi, belum sempat buat bu, susah sekali soalnya.” Jawab Zizo santai 

“Oh, jadi begitu cara jawabnya, santai, nyantai, sibuk apa kamu, kok yang lain buat kau tidak, sini maju kedepan, mana catatan kau wacana bahan kemarin, cepat, sini!.” Persidangan dimulai. 

Sementara Zizo maju kedepan menghadap bu Zahra, murid lainnya mengumpulkan kiprah tersebut. Antara duka dan heran, Rara hanya sanggup memperhatikan Zizo yang diceramahi bu Zahra dan berfikir sendiri tanpa menceritakan pada rani perihal yang dilihatnya tadi pagi, alasannya yaitu ia pun tak tau duduk kasus sebetulnya mengapa Zizo menangis, jadi ia tak mau menerka-nerka ceritanya sendiri. 

“Nah ini buktinya loh, catatan nya saja tidak punya, bagaimana mau buat kiprah ya kan, perhatikan tidak sih kau dikala ibu menjelaskan panjang lebar kemarin?, tidur? Atau main S.O.S dibelakang?, kok diam, jawab dong!, gimana ibu mau ngasih nilai kalau begini perilaku kamu.” Bu Zahra mulai kesal pada Zizo . 

“Nanti saya catat bu.” Jawab Zizo singkat. 

Belum habis hingga situ saja, dari dua jam pelajaran matematika, satu jam dihabiskan bu Zahra hanya dengan Zizo. Hening cipta terlama. Sisa satu jam kemudian bu Zahra gres menjelaskan bahan selanjutnya, mata Zizo tampak berkaca-kaca, meski tak hingga jatuh airmata, tapi Rara tau bahwa Zizo hampir menangis bukan alasannya yaitu bu Zahra melainkan mengingat ayahnya, mungkin saja, ntahlah. 

4 jam pelajaran dengan 2 mata pelajaran selesai mereka ikuti, kini waktu istirahat. Rani mengajak Rara untuk menemaninya membeli air mineral ke kantin, ia pun mengiyakan. 

“Rani, saya mau satu ya.” 

“Tumben beli air, biasanya kan bawa.” 

“Aku haus kali ini.” Rara beralasan, hari ini ia berniat memperlihatkan satu bekal makanannya untuk Zizo, khawatir dia akan mengganggu Dodit lagi, alasannya yaitu tidak membawa dua botol air, makanya ia membeli lagi. 

Keluar dari kantin, Rara sudah membawa semenjak dari keluar kelas bekal untuk Zizo dan satu botol air mineral. 

“Rani, kini kau yang temanin saya ya.” 

“Kemana Ra?” Tanya Rani penasaran. 

“Tolong saya ya, saya hanya punya satu.” 

“Satu?” Rani makin bingung. 

Dengan keberaniannya Rara mencari Zizo. Ia tau Zizo tidak di dalam kelas, tapi di belakang sekolah. 

Di luar dugaan, hari ini bukan hanya Zizo yang mengganggu Dodit, ada tiga anak laki lainnya disitu, mereka memukuli Dodit. Rani pucat gemetaran. Sementara Rara sudah panas. 

“Rani, tolong pegang kotak dan botol ini, kau jangan mendekat kesana ya!” Tanpa takut Rara maju. 

“Ra jangan!” Matanya berlinang. 

Sama menyerupai di kelas kemarin, mereka tak menyadari lagi kedatangan Rara, dasar Zizo. Rara mendorong Zizo dari belakang ke samping, ia pribadi terjatuh ke tanah. Beruntungnya, Rara tak menentukan ekstrakulikuler sanggar tari, musikalisasai puisi, apalagi piano, tapi ia menentukan taekwondo yang pribadi diajarkan oleh bu Zahra, dengan jurus-jurus yang diajarkan dengan sigap Rara melawan dua orang lagi, hingga mereka juga jatuh ke tanah. Dodit gemetaran, ia menangis. Sama hal nya menyerupai rani di ujung sana, dia juga sudah menangis, entah kerena pertarungan Rara yang keren atau apa. 

“Hei kalian berdua, kalian anak kelas 6C kan, buat apa ikut-ikut Zizo untuk membully Dodit hah?!, kalian mau merebut kuliner Dodit?, sini lawan aku!, bangun!” hardik Rara sambil terengah-engah. 

Karena fokus dengan dua sobat Zizo itu, Rara tak melihat Zizo di belakangannya yang bangun dengan satu buah pulpen yang tak tertutup. 

“Aaarrgh.” Teriak Rara. 

“Rara!" Rani dan Dodit histeris bersama melihat Rara. 

Zizo yang sejatinya sobat sekelasnya sendiri tega menghujamkan ujung pulpen ke wajah Rara. Untungnya tidak mengenai mata, di pelipis. Sedikit berdarah, disini Rara menitikkan airmata alasannya yaitu kesakitan, jelbab putih pecahan kanannya sedikit merah terkena darah yang keluar, tusukannya agak sedikit terbuka tapi tak dalam. Miris, ketiga kalinya. 

“Astaghfirullah, laa haula wa laa quwwata illa billah, Zizo!” Tiba-tiba tiba bu ratna dan bu Zahra. Mereka tak menyangka kelakuan anak SD bisa menyerupai ini, dan Zizo masih berdiri memegang pulpen, semuanya jelas. Dasar Zizo. 

“Rara, yang mana yang sakit nak?” bu Zahra pribadi menyelidiki luka Rara. 

“Ra, maafin aku, saya gak sengaja.” Zizo meminta maaf seakan gres sadarkan diri. 

“Kamu mengganggu Dodit lagi Zizo? Kamu minta-minta lagi jajanannya? Kan ibu sudah bilang, kau kisah sama ibu kalau ada masalah. Kenapa melampiaskan pada orang lain?” kata bu ratna sambil mengelus kepala Zizo dengan rasa duka dan kecewa. 

“Ini ada bekal dan air untuk kau Zizo, ambil!, Rara sengaja membawa ini biar kau tidak mengulang perbuatan kemarin.” Dengan murka Rani memperlihatkan itu pada Zizo untuk melanjutkan niat baik Rara tadi. 

Perkara mereka terang belum usai di situ saja. Zizo dan Dodit dipanggil ke ruang kepala sekolah, menceritakan semua duduk kasus mereka. Zizo, ia hanya seorang anak pekerja serabutan, honor ayahnya tak cukup untuk memberinya jajan disekolah, makanya ia sering memalak anak lainnnya kemudian meminta uang mereka atau makanannya. Ia amat sangat iri dengan Dodit yang merupakan anak orang kaya yang juga sangat pintar, namun sayangnya saking kaya orang tuanya tak ada waktu untuk Dodit. Ia duka alasannya yaitu tak pernah ada waktu bermain bersamanya, sehabis diantar atau dijemput, maka ayah dan ibu Dodit pribadi kembali ke kantor. 

Menurut kejujuran Zizo, bukan hanya sekali dua kali ia pernah meminta uang atau kuliner pada Dodit, dan tak ingat lagi pun kapan pertama kali. Bukan hanya Dodit saja, bawah umur lain pun mengaku pernah dipalak Zizo. Sebenarnya pinjaman atau dana sosial juga pernah diberikan untuk Zizo, namun kabarnya itu semua habis untuk perawatan rumah sakit ibu Zizo. Sementara itu Rara dibawa ke UKS untuk diobati. 

Satu kebaikan dari Rara si pemberani telah membawa banyak kebaikan untuk SDN 01 Cikeren. Mulai dikala itu, agresi pembully ditindak tegas oleh pihak sekolah, bukan hanya itu pihak sekolah juga mengadakan acara peduli anak sebulan sekali untuk melaksanakan dialog empat mata denga orang renta dari bawah umur yang sekiranya dianggap bermasalah untuk menemukan solusi terbaik. 

“Dari kasus ini terang sudah solusinya apa, perhatian orang renta dan guru untuk menjaga lingkungan semenjak dini sangatlah menjadi kiprah utama dalam membentuk generasi bangsa kedepan yang berkarakter peduli bukan pembully.” Tutur Zizo Muhammadsyah selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak dalam penutupan pidatonya di depan ratusan wali murid dan orang renta SDN 01 Cikeren, 25 tahun sehabis menjadi alumi SDN tersebut.[]


*Penulis yaitu mahasiswi jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar. 


banner
Previous Post
Next Post