Tuesday 24 September 2019

Mengenal Penyair Jago Pra-Islam Zuhair Bin Abi Sulma (Bagian 1)

Oleh: Nada Thursina*
(Image: nojomy.com)
Pada masa Arab Jahiliy, peperangan merupakan sebuah hobi. Perang sudah menjadi sebuah kesibukan, bahkan profesi sehari-hari. Siangnya berperang, kemudian malamnya mereka mabuk-mabukkan. Sementara di sisi lain, batin Zuhair memberontak. Itulah yang menciptakan dirinya istimewa, sehingga isi mu’allaqat Zuhair awet dan merupakan salah satu penyair Arab Jahiliy yang syair-syairnya digantung di dalam Kakbah. 

Zuhair berjulukan lengkap Zuhair bin Abi Sulma Rabi’ah bin Rayyah Al-Muzani. Ia berasal dari kabilah Muzinah dari Mudhar. Namun, Zuhair hidup dan besar di Bani Gathfan. Menurut riwayat, ia besarnya di Bani Gathfan, lantaran ketika itu terjadi konflik antara Zuhair dan kaumnya. Bani Gathfan, berdomisili di Haajir, wilayah tersebut kini masih berada dalam daerah Najd (Saudi Arabia daerah utara). 



Dapat kita simpulkan bahwa Zuhair bernasab Muzniy, sedangkan ia tumbuh dan besar di Bani Gathfan. Ka’ab yang merupakan anak kandung Zuhair selalu mengklaim dirinya berasal dari Bani Gathfan, lantaran memang bapaknya tumbuh dan besar di sana. Sempat terjadinya perbedaan pendapat perihal asal nasab Zuhair, tapi kedua asalnya tersebut sanggup dikatakan sah.


Menurut riwayat, ayah Zuhair, Rabi’ah, juga merupakan seorang penyair, tapi tidak berumur panjang. Sepeninggal ayahnya, ibu Zuhair menikah lagi dengan Aus bin Hajar yang juga merupakan seorang penyair populer dari Tamim. Semenjak kecil, ia sudah diasuh oleh pamannya Bassyamah bin Ghadir, yang juga merupakan seorang penyair. Kedua saudaranya, Salma dan Khansa’ juga merupakan penyair. 

Singkat cerita, Zuhair itu dari segala sisi nasab keluarga, semuanya merupakan penyair. Bapak tirinya penyair, bapak kandungnya penyair, kedua saudarinya penyair, pamannya penyair, kedua anaknya: Bujair ibn Zuhair dan Ka’ab ibn Zuhair (pengarang qasidah burdah untuk Nabi Muhammad selain dari pada Imam Bushiri) juga penyair. Menurut para jago sastra, qasidah burdah milik Ka’ab merupakan kebanggaan terindah kepada Nabi Muhammad Saw. sepanjang masa. Qasidah burdah tersebut merupakan bentuk usul maafnya atas celaan yang ia tujukan pada Rasulullah Saw. sebelum dirinya beriman kepada agama Islam. 

Kemudian, cucunya Aqaba ibn Ka’ab, yang lebih dikenal dengan sebutan Midrak juga merupakan seorang penyair pada zaman Umawi. Anak dari cucunya, Awam bin Midrak juga dikenal sebagai penyair. Sehingga dengan demikian, sanggup kita ketahui bahwa lima generasi dari satu garis keturunan semuanya merupakan penyair. Perlu diketahui, belum ada generasi penyair pada zaman Jahiliy yang mempunyai garis keturunan penyair menyerupai yang dimilki Zuhair. Sedang pada zaman Islam akan kita temukan Jarir yang dikenal mempunyai garis nasab kepenyairan yang sama menyerupai yang dimilki oleh Zuhair. 

Ibn Qutaibah pada suatu ketika pernah berkata: 

إنه لم يتصل الشعر فى ولد أحد من الفحول فى الجاهلية ما اتصل فى ولد زهيرز, وفى الإسلام ما اتصل فى ولد جرير 

Artinya: Sesungguhnya belum ada satu orang penyair pun di zaman Jahiliyah yang dianugerahkan garis keturunan kepenyairan menyerupai yang dimiliki Zuhair. Sama halnya pada zaman Islam, yang telah dianugerahkan kepada Jarir. 

Kemampuan bersyair Zuhair, berasal dari banyak faktor. Namun, di antara faktor yang paling mendukung ialah nasab dan lingkungan yang membuatnya kemudian bisa menazamkan syair. Faktor lingkungan dan nasab tersebutlah, hasilnya membentuk mauhibah dan kapasitas Zuhair dalam penyusunan syair, yang ia rasa dalam dirinya sendiri semakin hari kian memperlihatkan sisi kemajuan. Jika kita cermati, tidak ada kesempatan bagi orang lain untuk mencapai apa yang telah yang dicapai Zuhair. 

Nabighah misalnya, sama sekali tidak mewariskan bakatnya dari siapa pun dan tidak pula mewarisi talenta tersebut ke siapa pun. Walaupun begitu, Nabighah juga sempat berguru di Madrasah Zuhair, dalam artian keahlian Nabighah dalam bersyair ia dapatkan sesudah ia benar-benar menekuni bidang tersebut, bukan atas dasar bawaan dari keluarga. 

Zuhair merupakan rawi dari Aus bin Hajar yang merupakan Bapak tirinya. Aus dikenal sebagai orang yang sangat detail, teliti, dan anggun dalam merangkai kata. Tentunya, untuk sanggup menilai dan mengetahui kualitas dari kelima generasi ini dalam bersyair, sudah niscaya kita akan melihat pada induknya terlebih dahulu, yang dalam hal ini, ialah Aus bin Hajar yang sangat amat telaten dan tak diragukan lagi kemampuannya dalam bersyair. 

Ditambah lagi Zuhair mempelajari ilmu tata eksekusi alam dan etika dari pamannya Bassyamah, yang merupakan salah seorang dari pembesar Gathfan. Dan tidak kita pungkiri, Zuhair merupakan orang yang sangat terdidik dari segi isi bait syairnya. 

Pada masa hidupnya, Zuhair pernah ikut dalam peperangan Dahisy dan Ghabara’. Peperangan ini terjadi antara dua qabilah: Abbas dan Zubyan. Perang ini sudah berlangsung selama ratusan tahun, hingga beberapa generasi terus terlibat dalam peperangan sengit ini. Saking lamanya peperangan itu berlangsung, sampai-sampai generasi selesai yang berperang pada ketika itu, tidak mengetahui lantaran asal muasal terjadinya peperangan yang sudah dilakukan turun temurun semenjak nenek moyang mereka tersebut. Pada ketika itu, yang mereka ketahui adalah, perang sudah menjadi adat istiadat zaman Jahiliy, sehingga siapa pun yang lahir dan hidup di masa itu, wajib untuk turut serta dalam berperang. 

Oleh lantaran itu, secara umum dikuasai syair Zuhair menggambarkan perihal gejolak yang terjadi dalam peperangan Abbas dan Zubyan, serta seluruh kehancuran dan kerugian yang disebabkan oleh peperangan tersebut. Di dalam bait syairnya tersebut, ia menyerukan akan perdamaian. Dengan tujuan sebagai doa, bahwa perdamaian suatu ketika akan digapai oleh kedua kabilah tersebut. 

Pada masa Arab Jahiliy, peperangan merupakan sebuah hobi. Perang sudah menjadi sebuah kesibukan, bahkan profesi sehari-hari. Siangnya mereka berperang, kemudian malamnya mabuk-mabukkan. Sementara di sisi lain, batin Zuhair memberontak. Itulah yang menciptakan dirinya istimewa, sehingga isi mu’allaqat Zuhair menjadi awet dan merupakan salah satu penyair Arab Jahiliy yang digantung syair-syairnya di dalam Kakbah. 

Dalam kasidah yang nanti akan kita sertakan di cuilan kedua, Zuhair mengkhususkan kasidahnya untuk Haram ibn Sinan, dan Haris Ibn Khauf. Namun, titik fokusnya lebih kepada Haram ibn sinan. Kedua orang inilah yang berhasil mewujudkan perdamaian antara kabilah Abbas dan Zubyan, perang warisan yang tidak diketahui lagi penyebab peperangannya.

Perdamaian tersebut terwujud dengan cara membayar diyat korban peperangan. Menurut riwayat, mengapa hal tersebut sanggup dipuji? Pada masa itu, bukan sembarangan orang sanggup mengerjakan hal yang dikerjakan oleh mereka berdua. Membayar diyat peperangan pada ketika itu, bukanlah suatu hal yang biasa, lantaran jumlah yang harus dibayarkan sangat besar sekali. 

Jumlah diyat yang harus dibayarkan pada ketika itu mencapai kepada tiga ribu ba’ir. Dan pada zaman tersebut tidak ada yang bisa membayarkan angka yang disebutkan tersebut selain dari mereka berdua. Akhirnya guna mewujudkan perdamaian tersebut, mereka berdua melunaskan diyat tersebut dalam kurun waktu 3 tahun. Setelah lunas dibayarkan, kedua kabilah tadi pun hasilnya berdamai untuk selama-lamanya. Setelah selama beratus-ratus tahun lamanya berperang tak henti-henti. 

Oleh lantaran hal tersebutlah, hasilnya Zuhair berinisiatif memadahkan Haram bin Sinan. Di tinggi-tinggikan derajat Haram dan selalu disebutkan dalam syairnya. Maka Haram ketika mendengarkan madah Zuhair yang ditujukan terhadapnya, Haram eksklusif memperlihatkan imbalan dalam bentuk uang maupun harta. Uang atau harta akan habis, tai apa yang dihadiahkan Zuhair kepada Haram tidak akan lekang sama sekali oleh zaman. Bahkan, sudah hampir dua ribu era tahun lamanya masih menjadi kajian para pengkaji sastra. Madah itu awet hingga ketika ini. 



Diriwayatkan oleh anaknya Haram ibn Sinan, bahwa Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah suatu ketika berjumpa dengan dirinya dan berkata: 

“Nasyidkan kepadaku wahai anaknya Haram, syair-syair milik Zuhair yang ditujukan untuk bapakmu,” pinta Umar. 

Memang sudah menjadi watak dan kebiasaannya orang Arab bahagia mendengarkan syair. Sampai Nabi Muhammad Saw. sendiri juga sangat bahagia mendengarkan syair, walau ia sama sekali tidak berilmu mengarang syair. 

Memang benar dalam Al-Quran dalam surah Yasin: 69, telah dikatakan bahwa, “Wa maa ‘allamnaahus syi’ra wamaa yanbagi lah.” yang artinya: “Kami sama sekali tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah pantas baginya.” 

Walaupun demikian, watak tetaplah tabiat. Sudah merupakan watak insan untuk bahagia mendengar kalam yang indah. Sehingga pada ketika itu Nabi Muhammad suka, dan Sayyidina Umar pun juga suka. Ibarat kita zaman kini bahagia mendengar lagu ini maupun lagu itu, begitu pun hal tersebut juga telah terjadi terlebih dahulu di zaman jahiliyah. 

Kemudian sesudah anaknya Haram mendendangkan syair miliki Zuhair di hadapan Umar, Umar pun kemudian berkata : 

“Apa yang diciptakan Zuhair untuk Haram sungguh amat indah sekali.” 

“Kami juga sudah membalas Zuhair dengan derma yang sangat amat besar,” timpal anak Haram. 

“Yang kalian berikan pada Zuhair akan habis, tapi apa yang telah diberikan Zuhair kepada Kalian, sungguh tak akan lekang oleh zaman,” ucap Umar.

(Ilustrasi Zuhair bin Abi Sulma: mawdoo3.com)
Zuhair sangat dikenal sebagai orang yang sangat memperhatikan syairnya. Ia dikenal bukan sebagai seseorang yang tilqaiyyah (spontanitas) dalam mengeluarkan syair. Lain halnya menyerupai nanti pada zaman sesudah datangnya Islam lebih tepatnya pada masa Umawi. Akan kita ketahui bahwa ada Jarir, Farasdaq, dan Akhtal yang ketiga-tiga orang ini semuanya ialah jenis orang yang sangat impulsif dalam mengeluarkan syair. Sebelumnya sama sekali belum ada persiapan atau apa, tapi syairnya keluar secara spontanitas. Dan kolam magis; eksklusif anggun tanpa cacat. Itu tentunya butuh tingkat kecerdasan yang sangat tinggi. 

Ya, mereka bertiga sangat berbeda dengan madrasahnya Zuhair yang benar-benar membutuhkan waktu yang tidak mengecewakan untuk mengeluarkan sebuah syair. Sehingga Zuhair sendiri, masyhur dengan sebutan shahibul hauliyat. Artinya ia mengeluarkan syair jarang-jarang, bahkan bisa memakan waktu hingga satu tahun. Akan tetapi hal ini benar-benar worth it, sekali launching album, syair-syairnya tersebut eksklusif menjadi masterpiece. Ini disebabkan karena ia sudah beberapa kali melalui proses tankih dan tahzib terlebih dahulu. Difilter, diteliti dahulu. Jika ada yang tidak cocok dibuang, dan ditambah dengan yang lebih bagus. Intinya Sudah dirapikan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan. 

Cara tersebut, kemudian  juga menurun ke anaknya. Ka’ab menyerupai itu, Bujair juga menyerupai itu. Jarang sekali ada penyair yang mempunyai tipikal menyerupai mereka ini. Ini bukan merupakan sebuah cacat, maupun aib. Namun, sanggup dikatakan itu merupakan sebuah abjad maupun ciri khas, lantaran kenyataannya, mereka sangat menikmati proses yang mereka habiskan selama lebih kurang setahun tersebut. 

Kemudian, jikalau kita ingin membandingkan dan menilai dari segi sisi kandungan syairnya, kita akan melihat Zuhair ini ialah orang yang selalu membubuhkan kalam pesan yang tersirat di dalam syairnya. Sebutlah misalkan Imru’ Al Qais yang juga telah kita bahas di artikel sebelumnya. Bahwa sanggup tergambar terang dari bait-bait syairnya, kalau ia merupakan tipe orang yang menikmati kehidupan dengan hanya berfoya-foya dan terbelenggu oleh semua syahwatnya. 

Sedangkan ‘Antarah dari bait syairnya sanggup kita temukan ada sisi mental pemberani dan jago perang yang kuat. Di sisi lain, Tharfah dengan bait syairnya sanggup kita ketahui bahwa ia ialah orang yang simpel sekali bimbang dan pesimistis dalam kehidupannya. 

Sungguh dari syair Jahiliy saja, kita sanggup melihat  contoh-contoh cara hidup dan adat istiadat orang di zaman Jahiliyah. Dan kita katakana bahwa Zuhair merupakan bentuk representasi sisi lain dari kehidupaan zaman Jahiliyyah. Dia ialah orang yang sangat qanaah, dan sangat bijaksana dalam menjalani kehidupan. Tidak sama sekali syahwatnya sanggup memalingkan dirinya dari jalan hidup yang lurus. Dan tidak ada hal yang sanggup membuatnya galau atau kebingungan dalam kehidupannya. Sehingga sanggup dikatakan bahwa Zuhair merupakan seorang tokoh ideal pada zaman tersebut. 

Diwanul arab itu ialah syair Jahiliy. Jika kita ingin mengetahui kehidupan zaman Jahiliyyah maka cara simple-nya ialah rujuklah ke syair Jahiliy. Karena di sana lengkap semuanya: sifat orang menyerupai apa, lingkungan orang bagaimana, kehidupan badui menyerupai apa, dan sebagainya.

Zuhair sama sekali berbeda dengan yang lain. Ia sama sekali tidak pernah terfitnah dengan perempuan, dan ia sama sekali tidak menceritakan kisah cintanya dengan wanita dalam bait syairnya. Jika pun ada, dalam matla’ muqaddimah qasidahnya yang mengisahkan perihal perempuan, berdasarkan banyak qaul, itu hanyalah sebatas kebiasaan maupun adat yang sering dilakukan para penyair Jahiliy zaman dahulu. Yaitu mengawali kasidahnya dengan mengingat puing-puing bekas tempat tinggal sang kekasih. Dan jikalau pun ada ia menyebut nama sang kekasih menyerupai Asma’ dan sebagainya, banyak riwayat menyebutkan bahwa nama-nama tersebut bukanlah suatu hal nyata, dan bisa jadi hanya halusinasi. 

Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa banyak penyair-penyair Arab yang menggunakan nama menyerupai Layla, Asma’, Unaizah, dan sebagainya dalam syair-syair mereka. Padahal nama-nama tersebut, sesudah dikaji ulang oleh para kritikus, hanyalah sebuah nama samaran. Bahkan, diketahui setelahnya bahwa kisah cinta yang mereka gambarkan tersebut hanyalah bentuk khayalan semata. Hal ini tentunya sagat berbeda dengan Zuhair. Dalam tabiatnya, ia cenderung mnegeluarkan hikmah, nasehat perihal kewajiban berakhlak karimah, dan sebagainya. Itulah yang ia coba ajarkan dan syiarkan kepada insan melalui syairnya.[]

Baca juga: Keimanan Zuhair bin Abi Sulma kepada Allah dan Madah Syairnya terhadap Haram bin Sinan (Bagian 2)

*Penulis ialah mahasiswi Al-Azhar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Artikel di atas disarikan dari kitab “Nusus Adab Jahiliy Fil Asri Jahiliy” yang merupakan diktat kuliah Jurusab Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Azhar Kairo.
banner
Previous Post
Next Post