Tuesday 24 September 2019

Mujizat Kristen Yang Sangat Ampuh

Sudah usang bangsa Indonesia disuguhi adegan penyebaran agama melalui cara-cara ?penyembuhan ajaib? yang selain tidak masuk akal, juga sebenarnyamelecehkan kalangan Kristen sendiri. Logikanya, jikalau para pendoa Kristen itu bisa menyembuhkan orang buta, lumpuh, pincang, dan sebagainya, kemudian buat apa mereka membangun begitu banyak rumah sakit Kristen?Beberapa waktu lalu, dikala pro-kontra RUU Sisdiknas, beredar luas “VCD Gus Dur” yang didoakan oleh pendeta perempuan AS dan diikuti oleh ribuan jemaat yang hadir. Mereka berdoa supaya dikala itu juga Tuhan membuka mata Gus Dur, sehingga sanggup melihat. Sampai berulangkali doa itu itu dipanjatkan, ternyata Gus Dur tidak berubah.Sekali lagi, jikalau formula pengobatan aneh yang diklaim sebagai “mukjizat” oleh kaum Kristen itu memang ampuh, maka Depkes RI sebaiknya segera dibubarkan saja. Adalah ajaib, jikalau gosip itu benar, menteri agama kita yang Prof. Dr. dan pakar dalam agama, mau menghadiri program yang sudah begitu banyak menjadikan pro-kontra di kalangan umat beragama.Beginikah cara kaum Kristen mengembangkan agamanya kepada bangsaIndonesia? Dari segi pengembangan intelektualitas dan diskursus keagamaan, gosip yang dibanggakan oleh Majalah Kristen itu menunjukkan, bahwa mereka sama sekali tidak mau memahami problematika teologis yang ada dalam agama mereka sendiri. Justru ketika mereka selalu menyebut Tuhan Yesus, maka disitulah, semenjak ratusan tahun lalu, semenjak awal-awal masa Kekristenan, problematika yang paling fundamental dalam teologi Kristen muncul.Mereka belum pernah selesai dalam mendefinisikan siapa sesungguhnya yang mereka sebut dengan Yesus itu. Apakah beliau manusia, atau beliau Tuhan.Apakah beliau insan dan sekaligus Tuhan. Atau beliau memang Tuhan. Sejak dulu, hingga kini, perdebatan seputar ketuhanan Yesus berlangsung sengit. Dr.C. Groenen ofm, seorang teolog Belanda, mencatat, bahwa seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem. Setelah membahas perkembangan ajaran ihwal Yesus Kristus (Kristologi) dari para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia hingga pada kesimpulan, bahwa kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di Barat. “Kesimpang siuran itu merupakan jawaban sejarah kebudayaan dunia Barat,” tulis Groenen. Dalam bukuSejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran ihwal Yesus Kristus pada Umat Kristen(1988).Setelah membahas puluhan konsep parateolog besar di era Barat modern, Groenen memang alhasil “menyerah” dan “lelah”, kemudian hingga pada kesimpulanklasik, bahwa konsep Kristen ihwal Yesus memang “misterius” dan tidak sanggup dijangkau oleh nalar manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: “Iman tidak tergantung pada ajaran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus,relevansi dan kebenaran abadi-Nya, alhasil hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan tajam sekali pun.”Sepanjang sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam perdebatan teologis Kristen. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak dipakai untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi dipakai untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan ibarat Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara nalar (reason) dan teks Bible (revelation).Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri. Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan nalar dan perkembangan ilmu pengatahuan. Sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, ibarat Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hidup-hidup.Thomas Aquinas mengungkapkan konsep teologi Kristen dengan kata-katanya:“deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modopotest demonstrative probari”(That Godis three and one is only known by belief, and it is in no way possible for this to be demonstratively proven by reason).Konsep ketuhanan Yesus yang dirumuskan dalam Konsili Nicea, tahun 325, sudah memunculkan problem serius dan kontroversial ihwal “ketuhanan Yesus”. Bagaimana menjelaskan kepada nalar yang sehat, bahwa Yesus yakni “Tuhan” dan sekaligus “manusia”. Apa yang disebut kaum Kristen sebagai “Syahadat Nicea”, secara eksplisit mengutuk ajaran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius didukung sejumlah Uskup mengembangkan pemahaman bahwaYesus bukanlah Tuhan yakni tunggal, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus yakni “Firman Allah” yang secara metafor boleh disebut “Anak Allah” bukanlah Tuhan,tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi.“Syahadat Nicea” menyatakan: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dariterang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui beliau segala sesuatu menjadi ada” (Lihat, C. Groenen,Sejarah Dogma Kristologi, dan buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, (Yogyakarta, Kanisius, 2003).Simaklah, bagaimana perdebatan ihwal “Syahadat Kristen” yang menjadi perbincangan dan kontroversi ahli dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa punpada “Syahadat Nicea”, dengan ancamankutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah “Syahadat Nicea”. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili local di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 yakni penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel” disingkat N-C. Naskah syahadat N-C ini hingga kini masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat melaksanakan komplemen frasa “dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan Roh Kudus” yang berasal dari Bapa”.Penambahan itu dimaksudkan untuk menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, alhasil mendapatkan dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, sebab melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya “skisma”, perpecahan antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada kurun ke-11.Konsili Vatikan II juga menciptakan perubahan kecil pada Syahadat N-C, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”. (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauhlagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekedar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat ibarat ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). (Lihat, Howard Clark Kee, Jesus in History, (New York: Harcourt, Brace&World Inc, 1970).Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala hingga menyentuh aspek moralitas Yesus sendiri dalam aspek sexual. Marthin Luther sendiri dilaporkanmenyebutkan , bahwa Yesus berzina seban yak tiga kali. Arnold Lunn, dalam bukunya, The Revolda Against Reason, (London: Eyre&Spottiswoode, 1950), hal.233, mencatat:“Weimer quoted a passage from the Table-Talk, in which Luther states that Christ committed adultary three times, first with the woman at the well, secondly with Mary Magdalene, and thirdly with the woman taken adultary, “whom he let off so lightly. Thus even Christ who was so holyhad to commit adultary before he died.”Bahkan,The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh Gereja di Oxford tahun 1967:“Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it; there were no girls, or they were homosexual in nature..”(Dikutip dari: Muhammad Musthafa al-A’zhami,The History of The Quranic Text, from Revelation to Compilation:A Comparative Study with the Old and NewTestament, (Leicester: UK Islamic Academy, 2003)Perdebatan seputar Yesus memang tidak berkesudahan. padahal, di atas landasan inilah, teologi Kristen ditegakkan. Pada awal-awal kekristenan, mereka ingin menonjolkan aspek ketuhanan Yesus. Tetapi, teolog-teolog modern kemudian ingin menonjolkan aspek kemanusiaan Yesus, mendekati gagasan Arius yang dulu dikutuk Gereja. Menyimak perdebatan ihwal Yesus yang tiada henti itu, maka teolog Kristen ibarat Groenen menciptakan teori “pokoknya”, bahwa meskipun ajaran kaum Kristen ihwal Yesus Kristus berbeda-beda, tetapi Yesus tetap tidak berubah. Yesus tetaplah Yesus.Argumentasi Groenen semacam ini tentu sulit dipahami oleh kalangan teolog yang semenjak dahulu kala berusaha merumuskan pemahaman ihwal Yesus, namun tidak pernah mencapai titik temu. Kepelikan itu bisa dipahami, mengingat Yesus sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa beliau yakni Tuhan. Paul Young, dalam bukunya, Christianity, mencatat, bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru menekankan hakikat kemanusiaan Yesus. Ia lapar, haus, dan lelah, sebagaimana insan lainnya. Ia juga punya emosi, bisa sedih dan senang. Tetapi, beratus tahun kemudian,Yesus dirumuskan dan disembah sebagai Tuhan.“This Jesus, a real humanbeing, is the focus of Christian worship. Such worship contrasts sharply with all other great world religion,”tulis Young. Tentang kepelikan seputar “misteri Yesus”, Mark Twain menciptakan sindiran:“It’s not the parts of the Bible which I can’t understand that bother me, it’s the parts that I can understand.”Bukan kepingan Bible yang tidak dipahaminya yang meresahkannya, tetapi justru kepingan yang ia pahami.Kontroversi dalam soal teologi ibarat dalam sejarah Kristen semacam itu tidakdijumpai dalam Islam. Mengingat begitu hebatnya kontroversi teologis Kristen dan trauma Barat terhadap hegemoni Gereja ketika mereka memegang keyakinan eksklusivisme teologis (extra ecclesiam nulla salus), bisa dipahami jikalau mereka lebih menyukai pengembangan paham pluralisme agama.Kondisi Islam sama sekali berbeda. Dasar-dasar teologi Islam sudah dirumuskan dan sudah sangat jelas, semenjak awal Islam lahir, serta tidak pernahdiputuskan melalui satu “kongres”, musyawarah, atau “konsili”. Karena itu, semenjak awal kelahirannya, Islam memang sudah sempurna. Konsep teologi dan ibadah dalam Islam sudah selesai dirumuskan. Bahkan, sebagai agama, nama “Islam” pun sudah diberikan oleh Allah. (QS al-Maidah:3).Sebaliknya, Konsep Kristen ihwal tuhannya dirumuskan melalui Kongres, dan hingga kini masih saja memunculkankontroversi, sehingga banyak memunculkan apatisme di kalangan masyarakat Barat. Hanya sebagian kecil kalangan Kristen yang nekad, mengembangkan agamanya kepada kaum Muslim, dengan cara-cara ibarat di Stadiun Bung Karno itu. Yang perlu diacungi jempol, meskipun berdiri di ataslandasan yang rapuh, tetapi kelompok kristen di Senayan itu nekad; alias bonek,“bondo nekad”.
banner
Previous Post
Next Post