Thursday 3 October 2019

Golput Dalam Pandangan Islam

Oleh: Ali Akbar Alfata*

(Image: pixabay app)


Tanggal 17 April 2019 nanti merupakan hari bersejarah bagi rakyat Indonesia, pada hari itu kita akan melakukan suatu pesta demokrasi yaitu pemilu. Pemilu sendiri akan dilaksanakan di banyak sekali TPS yang tersebar di masing-masing daerah. Tentu saja, euforia pemilu tidak hanya dirasakan oleh paslon atau timses saja, namun pemilu yakni milik seluruh rakyat Indonesia dimanapun mereka berada, dan pastinya setiap orang sudah memeiliki pilihan, baik itu pilihan di wakil rakyat ataupun pilihan presiden Republik Indonesia. 

Dalam setiap perjalanan pemilu, dari dulu, selalu ada saja ada tindakan yang dilakukan yang menyalahi undang-undang negara Republik Indonesia. Seperti “serangan fajar”, money politic atau muncul orang-orang yang disebut golput (red; golongan putih). Mereka dapat disebut sebagai rakyat Indonesia yang sah dan mempunyai hak bunyi pada pemilu, tapi menentukan untuk tidak memakai hak suaranya pada pesta demokrasi tersebut dengan banyak sekali alasan. Ini merupakan tindakan yang sangat bermasalah lantaran merusak tatanan sistem yang telah dikelola oleh penyelenggara pemilu, dan harus ditemukan solusi untuk meminimalisir golput. 

Kalau kita menelisik lebih jauh, data golput pada pemilu 2014 lalu, partisipasi rakyat pada pemilihan presiden hanya mencapai 69,58 persen, sementara pada pemilu legislatif berkisar pada 75,11 persen. Walaupun bukan angka yang buruk, namun sebenarnya mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan pemilu-pemilu yang lalu. 

Jika kita ingin menelusuri lebih dalam lagi, golput sendiri memilki banyak sekali kondisi. Secara pembagian bergairah dimensi ini mungkin berberntuk sebagai berikut.

Pertama, adakalanya seorang pemilih yang sudah terdaftar di DPT (daftar pemilih tetap) tiba ke TPS, tapi tidak menentukan pilihannya. Ini yakni tindakan yang sia-sia dan sangat merugikan. Pemilih  tiba ke TPS hanya sebagai formalitas biar tidak dianggap golput saja. Hal ini mengimgatkan kita pada insiden tahkim dimana muncul satu fatwa yang tidak membela Ali bin Abi Thalib ataupun Muawiyah, mereka lebih menentukan keluar. 

Kedua, ada juga pemilih yang dapat dibilang merasa ragu buat memilih, sehingga yang mereka lakukan yakni menentukan lebih dari satu pilihan. Tentu saja lagi-lagi ini yakni hal yang sangat mengganggu alasannya yakni sudah merusak aturan yang telah ditetapkan. Padahal, Rasulullah saw pernah bersabda : 

دع ما يريبك الى ما لا يريبك 

“tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu dengan yang tidak membuatmu ragu” 

Islam mengajarkan untuk meyakini hal yang kita inginkan. Kita diajarkan untuk meninggalkan rasa ragu, tentu saja hal ini bermakna lebih luas lagi baik itu meninggalkan keraguan dalam ibadah, atau dalam bermuamalah, dan lain-lain. 

Ketiga, mereka yakni pemilih yang terdaftar tapi tidak tiba ke TPS untuk menentukan dan memakai hak suaranya. Alasannya beragam, baik itu malas, dan lain-lain. Padahal satu suaranya pada kontes demokrasi tersebut sangat krusial. 

Bersandar pada hal-hal yang sudah dijelaskan tadi, maka kita dapat memahami bekerjsama golput itu merupakan tindakan tidak terpuji, lantaran merusak tatanan peraturan yang telah disusun oleh penyelenggara pemilu, tindakan menyerupai ini sangat tidak dibenarkan. Dalam pandangan islam sendiri, golput merupakan bab dari pelanggaran. Karena mereka yang golput telah melawan perintah Allah dalam surat An-Nisa ayat 59. 

أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم 

“taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kalian” 

Mayoritas ulama menafsirkan kata ulil amri sebagai pemimpin atau pemerintah. Negara kita Indonesia telah menentukan demokrasi sebagai tatanan negara, hal ini memang telah menjadi konsensus pemerintah Indonesia. Mematuhi aturan yang telah ditetapkan yakni hal yang harus dilakukan oleh setiap rakyatnya, dan ini juga yakni perintah agama. 

Ayat ini menjelaskan ihwal wajibnya bagi setiap rakyat untuk mematuhi ulil amri atau kepada yang diberi mandat untuk memerintah. Menaati kepala negara yakni wajib hukumnya, sehingga menentukan pemimpin pun dapat menjadi wajib hukumnya lantaran jikalau tidak menentukan pemimpin, kita tidak dapat menaati pemimpin lantaran pemimpinnya tidak ada. Dengan demikian, aturan mengangkat seorang pemimpin wajib juga hukumnya. 

Bahkan, pada tahun 2000, majelis fatwa mesir atau Dar Ifta’ Mishriyyah mengeluarkan fatwanya ihwal golput. Majelis fatwa tersebut mengeluarkan fatwa haram golput. Karena, pada setiap kesempatan, islam selalu mengajarkan umatnya untuk berlaku jujur dan amanah dan untuk menjauhi perbuatan dusta dan khianat. Islam juga mengajarkan kita untuk selalu melakukan amanah yang telah diberikan kepada kita apapun bentuk amanah yang diberikan. Dalam surat An-Nisa ayat 58 Allah berfirman 

إن الله يأمركم أن تؤدّوا الأمانات الى أهلها 

“ sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah kepada Ahlinya” 

Maka, mereka yang tidak menggunakaan hak suaranya secara syara’ dinggap berdosa. 

Oleh alasannya yakni itu, kita sebagai orang mukmin serta muslim tidak akan bangkit pada barisan golput, kita akan memakai hak bunyi kita dengan baik. Memilih pemimpin juga bukan sekedar hak yang diberikan pada kita, satu sisi yakni kewajiban bagi kita. Tentu saja, kita akan menentukan pada pemilu yang tinggal menghitung hari dengan jujur dan adil. 

*Penulis yakni Mahasiswa tingkat I, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir

banner
Previous Post
Next Post