Monday, 14 October 2019

Intoleransi Dalam Perayaan Maulid Nabi

Oleh: Thamra Helwah a.k.a Sultan Nul Arifin*
Masyarakat Aceh memadati Mesjid Raya Baiturrahman untuk mendengar ceramah agama. (Foto: aceh.tribunnews.com)
Lantunan shalawat bergema di penjuru masjid dan balai-balai kampung. Bulan yang mulia kesudahannya tiba. Indonesia atau lebih khususnya lagi umat Islam kembali bergelut menghadapi dua peristiwa super serius, musibah dan peristiwa sosial. Bencana alam dengan gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada beberapa bulan terakhir, di sejumlah daerah Indonesia merenggut senyum umat Islam. 

Bencana alam bertubi-tubi mengguncang kehidupan umat Islam khususnya, dari gempa Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga Palu-Donggala di Sulawesi Tengah. Umat Islam berduka dengan ribuan warga yang kehilangan nyawa, rusaknya tempat tinggal dan raibnya sanak-saudara. 

Sementara, peristiwa sosial terus berangsur menghajar kaum muslim, dengan perdebatan tanpa henti, beserta hasutan dan kebencian yang mengkremasi nyali. 

Hei, kita hidup di negeri yang dianugrahi kesuburan tanah. Namun, diintai oleh bencana-bencana dari siklus bumi, lebih tepatnya ibarat berada di ring of fire. Kita diguyur kenikmatan sebagai umat yang kreatif dengan semangat gotong royong, tapi dipecah belah oleh aliran sesat, hoaks dan api kebencian yang disulut di media sosial, terlebih pada momentum perayaan maulid Nabi yang mulia ini. 

Bencana alam menciptakan umat Islam menangis, tapi alam mempunyai siklusnya. Pelajaran penting untuk mengais jejak pengetahuan dari gejala dan ilmu yang telah dikaji nenek moyang kita. 

Umat Islam seolah terputus dari sejarah pengetahuan dan kearifan kebiasaan baik yang harus dilakukannya. Cara kita menghargai alam, tergeser oleh kerakusan mengeksploitasi, sembari kita seolah melupakan peghormatan sekaligus kecintaan merawat alam, merawat tempat tinggal kita. 

Di sisi lain, peristiwa sosial yang merembet dari perdebatan di media umum hingga interaksi antar-personal dalam kehidupan nyata, menggeser nilai-nilai kearifan kita. Dalam kerumunan perdebatan, yang muncul hanyalah narasi kebencian dan saling menyalahkan. 

Kita sebagai umat beragama berdebat tanpa ujung, dari satu informasi ke informasi lain dengan napas tersengal-sengal. Seolah kita telah kehabisan oksigen pengetahuan dan kesabaran merenungi kehidupan. Inikah wajah umat Islam sekarang? 

Boleh atau tidak? 

Pertanyaan yang bahu-membahu muncul ialah wacana boleh atau tidaknya merayakan maulid nabi? Simple question but complicated to answer, apalagi dalam momentum yang akan kita hadapi sekarang. Momentum yang penuh dengan kemuliaan, perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. Di bulan Rabiul Awal, salah satu bulan yang mempunyai banyak kelebihan. Bulan ini ialah bulan kelahiran baginda nabi Muhammad Saw. Kita akan melihat perayaan maulid dimana-mana. 

Mirisnya tetap ada saja problema dan kontroversi seputaran maulid nabi, hal ini bukanlah wacana yang baru. Bahkan wacana ini telah lahir puluhan tahun yang lalu. Ketika kita belum mencicipi bagaimana rasanya menginjak tanah. 

Perdebatan bahu-membahu hanya pada level luar dan metodenya. Bukan pada problema esensial terhadap spiritualitas nilai sejarah dan pengkajian ulang sosok ketokahan ia yang direalisasikan lewat tradisi maulid tersebut. 

Pendek kata, sejatinya permasalahan ini tidak perlu diperdebatkan panjang lebar dan dibentuk menjadi sangat rumit untuk dicerna. Apalagi hingga ada upaya pengkafiran dan sejenisnya. Dengan bahasa yang sederhana, kita bisa menyebutkan bahwa merayakan maulid nabi berarti berusaha menghadirkan kembali sosok ketokahan ia dalam langsung kita masing-masing. 

Masalahnya ialah tidak semua kasus sanggup dijelaskan dengan bahasa yang sederhana. Apalagi saat kita dilontarkan pertanyaan ibarat yang di atas. Kita perlu orang yang memang jago menciptakan orang lain paham dan toleran akan permasalahan tersebut. Dan saya bukan termasuk dalam golongan tersebut, tapi saya akan berusaha memcahkan dilema yang tidak mengecewakan rumit ini. Tidak tahu apakah ini akan sesempurna tokoh Sherlock Holmes dalam memecahkan masalah atau secerdas ilmuwan Albert Einstein dalam merumuskan fisika, tapi saya akan mencoba. 

Keraguan dalam hati menciptakan indra yang lain ikut ragu. Ketika tiang keyakinan itu goyah dan tidak bisa menahan beban maka hanya soal waktu tiang-tiang itu akan roboh. Dan yang lebih rumit lagi saat sudah roboh maka akan susah membangun kembali. 

Begitulah keadaan kita sekarang, umat Islam yang gres saja masuk agama yang penuh rahmat ini didatangkan dengan argumen-argumen berat yang bahkan belum siap diterima. Ketika mereka gres saja membangun tiang, membentuk keyakinan, datanglah argumen tersebut. Apakah yang akan terjadi? Tentu akan roboh. 

Dalam permasalahan maulid kita melihat adanya perbebatan tanpa ujung. Membuat umat yang lain harus masuk ke dalam salah satu kubu yang sedang berdebat. Padahal yang berdebat kebanyakan ialah orang-orang yang belum cukup ilmunya dan ada beberapa juga yang sudah memumpuni. 

Mereka hanya memperdebatkan boleh dan tidaknya. Sebagian kelompok menyampaikan bahwanya itu boleh, dengan mendatangkan dalil sebabnya puasa nabi pada hari senin. Sebagian lagi menyampaikan dihentikan lantaran nabi tidak pernah melaksanakan perayaan tersebut. 

Perlu digaris bawahi, perayaan yang saya maksud ialah perayaan dengan cara yang memang sesuai syariat. Misalnya dengan mengadakan zikir bersama dan sebagainya. Bukan merayakan dengan menghabiskan uang untuk hal-hal yang bersifat duniawi dalam artian berfoya-foya. 

Intoleransi dalam perayaan maulid ini memang sangat susah dicegah. Walaupun kita semua disiram agama yang sama yaitu Islam, tapi kita mempunyai output yang beda. Entah penyebabnya ialah latar belakang sosialnya yang berbeda atau latar belakang pendidikannya. Tapi saat terjadi perdebatan panjang adakalanya kita selalu mengambil jalan tengah yang menguntungkan dua belah pihak. 

Maka oleh lantaran itu, saya mengambil jalan tengah. Saya oke dengan pendapat yang menyampaikan bahwa maulid itu boleh. Kata “boleh” perlu digaris bawahi. Dalam artian saya oke dengan perayaan maulid dan tidak mengecam orang-orang yang tidak merayakannya, apalagi mengkafirkan. Menurut saya itu ialah salah satu dari ribuan cara menyayangi nabi. 

Dan kepada kalian yang tidak setuju, kita tidak berhak menyampaikan jikalau perayaan tersebut haram, kecuali memang keluar dari syariat. Bagaimana mengharamkan apa yang tidak pernah diharamkan oleh nabi. Memang itu kasus gres atau lebih familiar dengan sebutan “bid’ah”, tapi adakah kebathilan di sana? Sekalipun ada kebathilan, maka maulid tidak pernah disalahkan, tapi teknis dan metode yang digunakanlah yang patut disalahkan.


Dan sebaliknya kepada yang menyampaikan boleh, tidak berhak bagi mereka mengklaim golongan yang tidak merayakan bahwa mereka berdosa. Bagaimana kasus itu berdosa sedangkan dalam Al-Quran dan hadis tidak pernah disebutkan kewajibannya? 

Kita sebagai penerus generasi Islam juga harus turut prihatin dengan intoleransi ini. Adakalanya kita mengubah cara berdakwah. Tidak bersikap kasar, tidak keras terhadap suatu permasalahan dan tidak provokatif dalam menyampaikan. Namun, di atas semua itu yang paling penting ialah kita harus mempunyai pendirian teguh, walaupun dihempas angin ribut dan diterjang ombak, bangunan tersebut masih kokoh tanpa cacat. 

*Mahasiswa tingkat satu Jurusan Syariah Universitas Al-Azhar Kairo.
banner
Previous Post
Next Post