Oleh: Annas Muttaqin S*
scienceonthenet.eu |
Moral, teknologi dan modernisasi tentu mempunyai keterkaitan yang bersahabat satu sama lain. Layaknya musik dan lirik yang berjalan beriringan memasuki perasaan para pendengarnya, begitu pula modernisasi dan teknologi yang berjalan merambat ke dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang hidup dibatasi dimensi waktu, tidak sanggup dipungkiri bahwa setiap zaman mempunyai pergeseran aspek-aspek kehidupan baik kearah aktual maupun negatif. Terkikisnya moral anak bangsa ibarat tema yang diangkat kali ini pun tidak terlepas dari hal negatif efek teknologi dan modernisasi.
Usia kanak-kanak merupakan usia yang paling besar lengan berkuasa dalam proses pembentukan pondasi tabiat individual. Pada usia ini biasanya sang anak lebih banyak memalsukan suatu tindakan melalui visual. Maka tak heran bila tindakan orang sekeliling mereka menjadi pola utama dalam pembentukan tabiat mereka.
Saat ini efek teknologi dan modernisasi sudah mulai menjadi tren dalam mendidik anak. Membelikan gadget ataupun alat-alat teknologi modern menjadi gaya hidup sebagian orang bau tanah dalam mendidik sang buah hati. Maka tak heran bila kelak sang anak cenderung mengetahui, memperhatikan bahkan sampai memalsukan hal-hal negatif dari apa yang dilihatnya. Terlebih bila dibiarkan mengalir begitu saja kepada mereka yang belum pantas sepenuhnya mendapatkan teknologi tersebut tentu akan menjadi efek besar dalam pembentukan tabiat sang anak.
Di balik itu, anak-anak kini atau istilah kerenya “kids jaman now” seakan diajarkan untuk mengejar ketenaran semenjak dini. Tingkah laris dan dan mimik-mimik wajah mereka yang polos tak berdosa seakan diperbudak media. Bukan hanya itu, beberapa diantara orang bau tanah bahkan dengan sengaja melaksanakan hal yang sedemikian rupa semoga si bayi mengekpresikan lakon imut dan lucunya sebelum alhasil mengabadikan momen-momen tersebut dan dipublikasikan ke dunia penuh pencitraan sembari berharap jawaban aktual dari netizen.
Walaupun bagi sebagian orang beranggapan ini merupakan hal yang lumrah untuk zaman berteknologi kini ini, namun berdasarkan saya hal tersebut merupakan tindakan keliru yang dihentikan dibiasakan untuk anak. Termasuk melaksanakan amalan-amalan baik yang diabadikan khusus dan kemudian dipublikasikan untuk meraih jawaban positif. Bayangkan saja, bila semenjak kecil di latih beraksi di depan kamera demi menerima jawaban aktual dari netizen bagaimana cara mengajarkan rasa tulus atas amalannya kelak nanti? Jika semenjak kecil saja ia sudah dilatih merebut ketenaran bagaimana cara mereka menggapai rida pada Sang Ilahi Rabbi kelak? Bukankah anak merupakan peniru handal bagi apa yang sering diperhatikannya?
pnstechnology.com |
Saat saya masih duduk di dingklik SD dulu, berkisar antara tahun 2004-2011, sanggup dikatakan efek teknologi belum terlalu berkembang pesat layaknya ketika ini. Sebagian besar dari kami gres mengenal rental playstation (PS) sebagai daerah game dan warnet sebagai daerah berseluncur di dunia maya dan bermain game via LAN, namun hal itu sudah cukup menciptakan kami ketagihan.
Permainan-permainan yang mengundang hasrat kami itu tentu secara tidak pribadi akan mememerogoti pikiran, tingkah laku, watak, sampai emosional sang pemain. Buktinya tak jarang umpatan-umpatan terdengar menggelegar dalam ruangan ketika mereka mengalami kekalahan. Beberapa teman saya bahkan ada yang mecuri, menjual barang pribadinya sampai menipu orang bau tanah hanya semoga sanggup kembali duduk menatap monitor tersebut dan membeli item-item yang ditawarkan game. Hal ini bukan semata-mata omongan kosong belaka, coba saja Anda perhatikan tutur kata anak-anak yang menghabiskan hari-harinya di warnet dan di rental PS. Jangan heran bila tuturnya lebih bejat dari parasnya.
Di lain sisi, fenomena yang pula menjadi perbicangan hangat ketika ini yakni maraknya pergaulan tidak senonoh yang kerap terjadi di bawah umur. Mereka yang belum mempunyai nalar sepenuhnya dengan simpel menikmati dan mempraktikan apa yang dilihatnya tanpa paham terhadap hal tersebut. Hal ini tentu menciptakan para masyarakat dan orang bau tanah sangat khawatir.
Pada hakikatnya memperlihatkan alat-alat elektronik modern bagi anak bukan merupakan hal yang salah bagi orang tua. Namun alangkah lebih baiknya bila dibimbing dan diawasi oleh orang tua. Apalagi gadget ketika ini yang mempunyai fitur lengkap berselancar di dunia manapun. Tentu menciptakan siapa pun betah menatap layar gadget berjam-jam terlebih bagi mereka yang akalnya belum tepat seutuhnya.
Beranjak dari hal di atas, ketika ini cowok pula tidak luput dari modernisasi dan teknologi. Sikap apatis yang seharusnya menjadi perilaku yang dihindari para pemuda, kini mulai tumbuh merambat dalam segala hal. Duduk membisu berhadapan tanpa berkomunikasi menjadi hal yang lumrah terjadi. Seakan menatap layar gadget sembari memainkan game atau bermedia sosial menjadi hal yang lebih bermakna dibanding berbicara dengan teman yang duduk di hadapan. Hingga alhasil terlahirlah istilah “generasi menunduk”, mereka yang senantiasa menatap layar gadgetnya tanpa peduli keadaan sekitar.
Bukan hanya itu, rasa aib yang seharusnya menjadi pilar utama dalam bertindak dan bersosial kini dikesampingkan. Hal-hal yang seharusnya tabu dan tak layak diperlihatkan kini menjadi hal yang lumrah untuk dipertontonkan. Berbagai perilaku asing dan lakon tidak masuk akal diabadikan kemudian dipublikasikan untuk menjadi konsumsi netizen. Seakan meraih jawaban aktual dan menjadi sentra perhatian publik menjadi tujuan utama dalam bermedia sosial.
Jika ditinjau lebih jauh lagi. Sangat pantas bila efek mengejar tren dan kebanggaan ini sangat simpel mensugesti manusia, terlebih wanita. Karena sudah menjadi hal lumrah bila perempuan sangat suka dan ingin dipuji. Mereka yang sudah terbiasa menerima kebanggaan netizen seakan menjadi sakau bila sesaat saja kebanggaan tersebut hilang. Hingga pada alhasil mengunggah foto serta berpose kolam artis tersohor pun menjadi konsumsi hari-hari. Bahkan bila kita menyelidiki lebih dalam lagi, tak jarang ada yang bertengkar fisik bahkan sampai stres hanya alasannya yakni memikirkan tangggapan negatif dari netizen.
Tak hanya itu, saban hari mereka yang hidup di pelosok desa, yang masih sangat menjunjung tinggi marwah dan estetika dalam etikapun kini mulai diterjang ombak modernisasi. Bunga yang dulunya mekar harum hidup dalam keselarasan alam bertahap mulai tercemar racun modernisasi. Rona aib yang dulunya asri tersibak mulai pudar. Seakan hidup tanpa dilihat orang lain menjadi kurang menarik bagi cowok ketika ini. Berbagai momen pun diabadikan kemudian dipajang di dinding-dinding media sosial. Mungkin bila ditanya mengapa, banyak sekali dalih manipulasi dilontarkan, namun bila dilihat pada alhasil kebanyakannya yakni bertujuan mengejar ketenaran.
Menangggapi fenomena mengejar tren yang marak terjadi di kalangan perempuan ketika ini. Sebagai lelaki muda dan juga mustahil mengenyampingkan nilai sosial terhadap teman perempuan di media sosial. Saya berinisiatif untuk tidak meng-like unggahan-unggahan teman perempuan saya yang tergelincir dari aspek-aspek tata krama sebagai perempuan dan keluar dari syariat-syariat islam.
Hal ini bukan mengapa, bagi saya pribadi makna sebuah like pada akun media umum yakni persetujuan terhadap unggahan yang telah ia publikasikan. Dan tentu kita generasi muda islam tak ingin bila hal itu menjadi kerikil loncatan mereka untuk terus-menerus mengunggah hal-hal yang keluar dari koridor syariat islam. Walaupun pada alhasil satu like tidak begitu bermakna di antara ratusan ribu like, namun saya rasa hal ini sanggup meminimalkan persetujuan atas unggahannya.
Baca juga: Apa Kabar Syariat Islam di Aceh?
Sebagai generasi bangsa dan umat islam, seharusnya kini kita harus lebih hati-hati dan kritis dalam menentukan perilaku yang boleh menjadi pola tindakan. Teknologi dan modernisasi semakin hari kian berkembang. Kita dituntut untuk lebih cerdas dalam menyelidiki hal yang “terlihat baik” dan yang “baik”. Oleh alasannya yakni itu, tampaknya nalar saja tak cukup untuk membedakan hal tersebut. Aspek-aspek syariat islam juga harus di pelajari semoga menjadi tameng kuat terhadap efek teknologi dan modernisasi.[]
*Mahasiswa tingkat satu Jurusan Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo.