Monday, 14 October 2019

Saat Ilahi Dipertanyakan

Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
consciousastrology.com
Sudah menjadi satu kepastian bahwa alam semesta ini ada yang membuat serta yang mengaturnya. Suatu rumah jikalau tidak ada pengurus selama 1 bulan saja niscaya kondisi rumah itu tidak stabil menyerupai biasanya, kotor dan tidak terurus. Begitu juga alam semesta yang super luas ini. Tidak mungkin ada dan stabil dengan sendirinya menyerupai yang dikatakan para penganut materialisme. Pasti ada Pencipta yang Maha Kreatif lagi Maha Perkasa dan itu tak mungkin ada sisi kesamaan dengan ciptaan-ciptaanya, baik itu yang sifatnya hidup apalagi mati. 


Syarat pertama biar tergolong sebagai seorang muslim ialah mengucapkan dua kalimat ikrar sejati, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Saw. ialah utusan-Nya. Singkatnya seorang muslim pastinya harus meyakini bahwa Allah ialah Tuhan yang Maha Satu. Ini sudah menjadi maklumat yang semua orang muslim umumnya niscaya tahu. Ilmu yang objek pembahasan utamanya berkenaan wacana Tuhan disebut Ilmu Tauhid. 

Dalam Ilmu Tauhid diajarkan aneka macam konsep ketuhanan antara lain mengenai sifat, zat, dan af’al-Nya. Kita sebagai muslim hanya dituntut untuk meyakininya saja. Akan tetapi yang menjadi permasalahan ialah timbulnya bertubi-tubi pertanyaan mengenai Tuhan itu sendiri. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang terkandung unsur di mana atau apa. Contohnya menyerupai pertanyaan di mana Allah? Apakah Tuhan sama menyerupai kita (manusia)? Bagaimana bentuk Tuhan? serta aneka macam pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya. 

Dengan timbulnya pertanyaan-pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan membuat Ilmu Tauhid yang awalnya gampang menjadi begitu sulit dan rumit. Maka dari situ lahirlah Ilmu Kalam dan lain yang sejenisnya. 

Dulunya konsep ketuhanan ialah pengkonsepsian paling sensitif di dunia bahkan dari internal penganut agama islam sendiri. Imam Ahmad bin Hanbal pernah disiksa oleh kaum muktazilah alasannya ialah tidak mengakui bahwa Al-Quran (Kalamullah) ialah makhluk yang waktu itu dinamakan dengan kejadian mihnah. 

Imam Fakhr Ad-Din Ar-Razi dibunuh oleh kaum mujassimah dikarenakan telah mengkritik habis-habisan dotkrin konsep ketuhanan mereka dalam kitab Asasu At-Taqdiis. 

Problematika menyerupai ini patut secepatnya dijawab alasannya ialah kalau tidak akan membuat persentase kemurtadan bertahap akan menunjukkan angkanya. 

Konsep Ketuhanan 

Pertama yang harus diketahui terlebih dahulu ialah bagaimana konsep pencipta dan ciptaan. Pencipta yaitu Allah Swt. tidak serupa dengan ciptaan-Nya. Sebagaimana dalam Firman-Nya yang mulia “Tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya, Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura :11) dan “Tidak ada satupun yang setara dengan Dia .” (QS. Al-Ikhlas :4).

Adapun ciptaan Allah Swt. membutuhkan beberapa syarat mutlak biar ia itu ada. Salah satu syaratnya ialah membutuhkan ruang dan waktu sebagaimana dalam Teori Relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein (di mana ada ruang niscaya ada waktu, di mana ada waktu niscaya ada ruang). Dan itu sama sekali tidak berlaku kepada Sang Pencipta ruang dan waktu. 

Oleh alasannya ialah itu sanggup disimpulkan bahwa Allah Swt. tidak membutuhkan tempat. Jika Allah Swt. membutuhkan tempat, maka kawasan itu menjadi lebih qidam (lebih dahulu ada) daripada-Nya. Dan jikalau membutuhkan tempat, maka sudah ada sisi kesamaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Itu semua ialah hal yang tidak mungkin bagi Allah. 

Pertanyaan demi pertanyaan terus-menerus dilontarkan. Apakah pertanyaan itu tak perlu dijawab? tentunya harus dijawab secepatnya. Sebagai seorang muslim, kita harus saling menjaga keyakinan bersama bahwa Allah Maha Satu dan Dia tidak ada sisi kesamaan apapun dengan ciptaan-Nya. 

Sebelum pertanyaan-pertanyaan menyerupai “Di mana Allah?” dan aneka macam pertanyaan filosofis lainnya diluncurkan, kita perlu ketahui satu analogi. 

Jika ada yang bertanya kepada Anda apakah api itu dingin? Maka Anda yang mengetahui apa itu api dan apa itu cuek terang akan gundah dan pribadi berpikir sebenarnya yang bertanya itu tidak tahu apa itu api dan tidak tahu apa itu dingin. Begitu juga dengan pertanyaan di mana Allah. Yang bertanya di mana Allah itu sebenarnya tidak tahu bagaimana eksistensi Allah itu bagaimana. 

Sudah diterangkan sebenarnya Allah itu tidak ada sisi kesamaan dengan segala ciptaan-Nya dari segi apapun. Oleh alasannya ialah itu apakah tidak lucu jikalau kita bertanya di mana Allah? Pertanyaan ini tidak relevan sama sekali alasannya ialah pertanyaan “di mana” merupakan bentuk yang menunjukkan kawasan atau sesuatu, sedangkan Allah, Maha Pencipta sama sekali tidak membutuhkan makhluk, termasuk tempat. 

Sebuah pertanyaan itu harus ada hubungan dengan apa yang ditanyakan. Seperti pertanyaan apakah api itu panas? maka secara impulsif kita menjawab iya, api itu panas, es watu itu dingin. Itu ialah pertanyaan yang ada hubungan atau persepsi dengan yang ditanyakan. 

Ada lagi pertanyaan yang secara logis sudah niscaya tidak terjadi menyerupai apakah Tuhan menyerupai ini, apakah Tuhan menyerupai itu dan aneka macam pertanyaan yang sejenisnya. Itu semua ialah pertanyaan yang lahir dari bayangan-bayangan yang dihasilkan oleh nalar insan yang sifatnya terbatas. 

Jika nalar insan itu tidak terbatas maka niscaya akan ada insan yang tidak pernah mati alasannya ialah nalar yang mengontrolnya biar jangan mati dan itu sangat-sangat mustahil. Itu hanya diyakini oleh orang yang tidak percaya Tuhan. Bahkan menyerupai realitanya tidak ada insan bahkan satu ciptaan pun yang abadi. Yang Maha Abadi hanyalah Allah Swt. 

Maka sudah niscaya nalar insan yang terbatas tidak hingga untuk membayangkan bagaimana sesuatu yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Allah bersifat Qidam dan Baqa. 

Maka pertanyaan-pertanyaan yang menurut bayangan dari nalar insan sudah niscaya tidak terjawab secara filosofis. Maka salah satu kemuliaan islam dan Al-Quran ialah menjawab serta memberi warta bagaimana eksistensi Tuhan. Apa yang layak insan ketahui dan apa yang tidak sepatutnya dipertanyakan. 

Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa Allah Maha Esa, mempunyai sifat, zat, dan af’al yang sama sekali tidak ada kesamaan dengan ciptaan-Nya. Dia memilki 99 nama agung (Asmaul Husna). Milik-Nya lah seluruh yang ada di jagad raya ini. Dia yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. 

Sungguh mulia Agama Islam ini, bagaimana islam itu mensucikan Tuhan dari segala bentuk penyerupaan. Semuanya sungguh membuat nalar insan puas kecuali bagi yang tidak suka dengan kebenaran. Konsep Islam dalam mensucikan Tuhan sangat-sangat berbeda dengan konsep ketuhanan yang diyakini agama lain apalagi yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Ini semua ialah wacana kebenaran. Bagi yang tidak suka dengan kebenaran, ia akan membutakan segala hal-hal yang benar. 
Jika ingin kaya akalnya dengan pengetahuan-pengetahuan dasar menyerupai Ilmu Tauhid yang membahasa eksistensi Tuhan, maka cukuplah merujuk kepada Al-Quran, Hadits, serta maklumat-maklumat yang telah dikumpulkan susah payah oleh para ulama mutakallimin terdahulu menyerupai Imam Abu Hasan Al-Asy’ari ataupun Imam Abu Manshur Al-Mathuridi. 

Maha Suci Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dengan ciptaan-Nya. Maha Suci Tuhan Yang Maha Tunggal. Wallahu a’lam bishshawab.[]

*Mahasiswa tingkat satu Jurusan Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo.
banner
Previous Post
Next Post