![]() |
Sumber foto: Instagram @hanaa_habieb @everydaycairo |
Oleh: Muhammad Syukran*
Sebelum Islam datang, kondisi kehidupan perempuan dikala itu sangat mengenaskan. Hak-hak mereka tidak dihormati dan pendapatnya tidak didengar. Sehingga Islam tiba kemudian menyelamatkan kaum perempuan dari kondisi jelek tersebut, mengangkat kedudukannya, menghilangkan kezaliman yang selama ini menimpa mereka, menimbulkan mereka merasa bahwa dirinya ialah seorang insan sama menyerupai lelaki, menjamin hak-hak mereka, menepis tuduhan bahwa mereka ialah sumber keburukan di muka bumi ini karena godaannya terhadap Adam As. dikala di nirwana dan menjelaskan bahwa setanlah yang bantu-membantu menarik hati Adam As. dan Hawa. Sebagaimana Firmannya Allah Swt.:
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ
“Lalu setan memperdayakan keduanya dari nirwana sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga).” (QS. Al-Baqarah [2] 36).
Islam menegaskan bahwa seluruh manusia, lelaki mapun wanita, diciptakan dari satu jiwa, sebagaimana Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah membuat kalian dari diri yang satu.” (QS. An-Nisaa’ [4]: 1).
Lelaki dan perempuan benar-benar sama dari sisi kemanusiaan, tidak ada beda di antara keduanya dalam hal ini. Adapun kemuliaan yang Allah Swt. anugerahkan kepada insan dalam Firman-Nya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” (QS. Al-Isra’ [17]: 70).
Adalah kemuliaan yang sama bagi lelaki dan perempuan.
Ketika Al-Quran berbicara wacana insan atau anak-cucu Adam, maka yang dimaksud ialah lelaki dan wanita. Namun, apabila hendak berbicara salah satu dari dua jenis manusia, maka Al-Quran memakai istilah “Al-Rijal” (lelaki) atau “Al-Nisa’” (perempuan).
Nabi Muhammad Saw. menyifati relasi antara lelaki dan perempuan dengan sabdanya:
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wanita itu saudara kandung bagi lelaki, mereka (para wanita) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang patut.”
Pemberian sifat dengan memakai redaksi “Syaqa’iq” (saudara kandung) menegaskan adanya kesetaraan dan kasih sayang. Lelaki dan perempuan sama di hadapan Allah Swt. hanya amal saleh –yang mereka lakukan- yang membedakannya. Hal ini sebagaimana Firman-Nya:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa mengerjakan kebajikan baik pria maupun perempuan, sedangkan ia dalam keadaan beriman, maka niscaya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri jawaban dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl [16]: 97).
Allah Swt. mengabulkan doa yang dipanjatkan oleh kaum perempuan sebagaimana Dia mengabulkan doa yang dipanjatkan oleh kaum lelaki. Dia juga tidak menyia-nyiakan amal saleh yang dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Allah Swt. berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ ۖ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan Berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang bersedekah di antara kalian, baik pria maupun perempuan, (karena) sebagian kalian ialah (keturunan) dari sebagian yang kalain.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 195).
Penggunaan Al-Quran dengan redaksi “Sebagian kalian ialah (keturunan) dari sebagian yang lain.” memperlihatkan bahwa masing-masing saling melengkapi. Kehidupan ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerjasama dari kedua pihak.
Islam memperlihatkan kebebasan penuh kepada perempuan dalam mengatur urusan finansialnya sendiri. Wanita mempunyai kebebasan penuh dalam mendayagunakan harta miliknya dengan cara jual-beli, hibah dan investasi, tanpa harus meminta izin dari lelaki, selama mereka mempunyai kemampuan memakai hartanya. Suami dan kerabat lelakinya tidak memilki hak sedikitpun untuk mengambil hartanya tanpa seizinnya
Seorang lelaki, walaupun ia ialah ayahnya sendiri, dilarang memaksa puterinya untuk menikah dengan lelaki yang tidak ia sukai. Pernikahan mesti dilakukan atas dasar persetujuan dan kerelaan puterinya. Dikisahkan, ada seorang gadis mengadu kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa ayahnya hendak menikahkannya dengan putra saudara laki-lakinya (keponakannya) demi mengangkat harkat dan kedudukannya, padahal gadis tersebut tidak menyukainya. Lalu, Nabi Saw. memanggil ayah perempuan tersebut dan memperlihatkan kebebasan menentukan kepada sang gadis untuk menolak atau mendapatkan ijab kabul itu. Akhirnya, berdasarkan keinginannya sendiri, gadis tersebut mendapatkan ijab kabul itu seraya berkata:
“Wahai Rasulullah, saya bantu-membantu telah oke dengan keputusan ayahku, hanya saja saya hendak memberitahu seluruh perempuan bahwa orang renta tidak mempunyai wewenang apapun dalam urusan ini.” (HR. An-Nasa'i)
Maksudnya adalah: Orang renta tidak mempunyai wewenang apapun untuk memaksa putrinya menikah.
Wanita ialah partner bagi lelaki dalam membina rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Secara logika, keidupan rumah tangga tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerjasama yang efektif dari kedua pihak. Jika tidak ada kerjasama antara suami dan istri, maka rusaklah keseimbangan rumah tangga dan akan besar lengan berkuasa negatif bagi perkembangan anak. Nabi Saw. memperlihatkan “tanggungjawab bersama” kepada lelaki dan perempuan dalam sabdanya:
“Setiap kalian ialah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya wacana orang yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala negara) ialah pemimpin dan ia akan ditanya wacana rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami ialah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya wacana mereka. Seorang Istri ialah pemimpin terhadap rumah suaminya dan ia akan ditanya wacana pemeliharaannya.”
Penyandaran tanggungjawab kepada perempuan di sini sanggup membantah tuduhan bahwa perempuan senantiasa tunduk dan mengekor kepada lelaki. Tidak akan ada tanggungjawab tanpa adanya kebebasan dan kebebasan itu tidak selaras dengan sekedar ikut-ikutan.
Seorang lelaki dilarang menahan perempuan dari hak-haknya yang diakui oleh syariat dalam kehidupannya. Juga dilarang melarang perempuan pergi ke mesjid untuk beribadah. Nabi Saw. telah bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah kalian melarang hamba perempuan Allah untuk shalat di mesjid.”
Jika ada sebagian umat Islam –karena tradisi menyimpang yang dianut– tidak menerapkan ajaran-ajaran Islam ini terhadap wanita, maka hal itu alasannya ialah mereka tidak mengerti Islam berikut ajaran-ajarannya, atau mereka salah dalam memahaminya.
[1] Manusia dan Norma dalam Prespektif Islam, h. 75.
[2] Al-Quran.
[3] Hadis.
*Penulis ialah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir.