5. Konsekwensi jika “استوى على العرش ” diterjemahkan dengan “bersemayam di atas 'Arsy”
Setelah kita mengetahui makna bahasa lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa sumber (bahasa Arab), maupun makna “semayam” dalam bahasa target (bahasa Indonesia), maka sanggup dipahami bahwa jika dipaksakan lafazh istawa 'ala (اِسْتَوَى عَلَى) diterjemahkan dengan “bersemayam di atas”,maka terjemah Surat Thaahaa : 5 (demikian pula ayat yang semisalnya) :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
adalah salah satu dari terjemahan berikut ini :
1. Yang Maha Pengasih duduk di atas ‘Arsy (singgasana).
2. Yang Maha Pengasih tinggal di atas ‘Arsy (singgasana).
3. Yang Maha Pengasih tersimpan di atas ‘Arsy (singgasana).
4. Yang Maha Pengasih menginap di atas ‘Arsy (singgasana).
5. Yang Maha Pengasih berbaring di atas ‘Arsy (singgasana).
Dan kelima makna tersebut tidak sesuai dengan makna lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى), baik berdasarkan tafsir ulama Salafush Shaleh yang masyhur [1], maupun secara makna etimologi dalam bahasa Arab.
Seorang Muslim ialah sosok yang berhati-hati berbicara wacana Allah Ta'ala
Tentulah seorang Muslim yang bijak tidaklah berani berbicara wacana Allah 'Azza wa Jalla, tanpa ilmu,karena :
1. Allah Ta'ala telah memperingatkan :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak insan tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berbicara wacana Allah apa yang tidak kalian ketahui". (QS. Al-A'raf:33)
2. Sesuai dengan kaidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa penetapan nama dan sifat Allah ialah ”Tauqifiyyah”, harus ada dasar dalilnya!
Oleh alasannya ialah itu dalam definisi Tauhidul Asma` wash Shifat disebutkan :
توحيد الأسماء والصفات هو:
إفراد الله بأسمائه الحسنى وصفاته العلى الواردة في القرآن والسنة،
والإيمان بمعانيها وأحكامها
“Tauhid Nama dan Sifat ialah mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia,yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,dan beriman terhadap makna-makna dan hukum-hukumnya”[2]
Dari petikan definisi di atas:
الواردة في القرآن والسنة (yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah),diambil kesimpulan :
Sumber penetapan nama dan sifat Allah ialah “Tauqifiyyah”,yaitu ada dasar dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,maka dilarang kita menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Maksudnya :
1. Jika ada penghapusan (nafy) sifat malu dan kurang tepat dari diri Allah dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,kitapun ikut meniadakannya (menolaknya).
2. Jika ada penetapan (itsbat) kesempurnaan/sifat mulia bagi Allah, dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,kitapun ikut menetapkannya.
3. Jika tidak ada dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah nafy dan itsbat, kitapun tidak memutuskan dan tidak pula meniadakannya,kecuali kalau mengandung makna aib/kekurangan bagi Allah, maka wajib eksklusif ditolak.
Sebagai pola :
Karena dalam dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak terdapat penghapusan “Allah mendengar dengan dua telinga” dan tidak pula ada penetapan “Allah mendengar dengan dua telinga”,maka dilarang kita katakan :”Allah mendengar dengan dua telinga” dan dilarang pula kita katakan : “Allah mendengar tanpa dua telinga”.
Itulah prinsip “Tauqifiyyah”.(Baca : Apakah Allah mendengar dengan dua telinga?, di www.kajiantauhid.com)
6. Kesimpulan
Ustadz Anas Burhanuddin, Lc,MA,beliau mengatakan:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu ditinjau ulang, alasannya ialah dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.[3]
Dan berdasarkan pemaparan di atas, maka terjemahan yang tepat dari kalimat istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) adalah “tinggi di atas” atau cukup diterjemahkan “di atas”.
Dari pemaparan di atas, kita ambil kesimpulan bahwa terjemahan ayat Al-Qur`an berikut ini :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
adalah :
“Yang Maha Pengasih di atas ‘Arsy (singgasana).”
(Surat Thaahaa : 5). Demikian pula terjemahan ayat-ayat yang semisalnya, maka semisal itu pula.
Wallahu a'lam walhamdulillahi Rabbil 'alamin Semoga bermanfa'at luas.
[1] Sedangkan istiwa' 'ala diitafsirkan “duduk” oleh sebagian Salaf itu bukanlah tafsir Salaf yang masyhur, dan berdasarkan Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa tidak diketahui ada dalil shahih yang mendasarinya. In sya Allah akan ditulis artikel tersendiri dalam dilema ini.
[2] Mu’taqod Ahlis Sunnah fi Tauhidil Asma` wash Shifat, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Kholifah At-Tamimi
***
Penulis : Sa'id Abu Ukasyah