Tuesday, 31 December 2019

Hukum Itikaf

Ilustrasi/google image
Oleh: Salman Nurdin,, Lc.Dpl

Salman Nurdin, Lc
bulan ampunan ialah gudang pahala. Ibadah-ibadah yang di laksanakan pada bulan ini akan mencapai bunga yang berlipat ganda, yang tidak akan di temui pada bulan-bulan lainnya. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Nabi menyatakan: Dari bulan ampunan ke bulan ampunan sanggup menghapuskan dosa setahun. 

Di bulan ramadan banyak ibadah-ibadah sunah yang sangat di anjurkan, lantaran nilai transaksi ibadah akan meningkat drastis di bulan ini, misalnya: shalat tarawih, membaca al-Quran, memperbanyak sedekah, membayar zakat fitrah, dan itikaf. Serta ibadah-ibadah lain yang mendatangkan pahala da ridha dari Allah Swt.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri kajian wacana beberapa aturan penting yang harus kita ketahui seputar itikaf di sepuluh simpulan Ramadan, terlebih di saat-saat kita dalam kondisi mu'takif, dengan impian menjadi menjadi pembelajaran dan pengingat bagi kita semua. 

Itikaf dalam pengertian Fikih Islami ialah berdiam diri di dalam masjid (bagi siapa yang telah memenuhi rukun itikaf) disertai dengan niat. 

Sumber dalil

Pada dasarnya itikaf ialah syariat umat terdahulu yang masih berlaku dalam syariat kita.  Landasan aturan itikaf ialah ayat 184 surat albaqarah : ولا تباشروهن وأنتم عاكفون في المساجد 

Artinya:" janganlah kalian menggauli istri-istri kalian, sedangkan kalian sedang beritikaf di dalam masjid."

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim Ra : 

Artinya :"Bahwasanya Rasulullah Saw. beritikaf pada sepuluh pertengah bulan ramadan, kemudian ia Saw. Beritikaf di sepuluh simpulan Ramadan, dan terus menekuninya hingga ia wafat, kemudian istri-istri Rasulullah Saw. juga beritikaf sesudah kewafatan beliau."

Perlu diketahui bahwa I'tikaf merupakan ibadah sunah yang tidak terikat oleh waktu khusus, namun ia sangat dianjurkan pada bulan Ramadan. Waktu masuknya 'itakaf dibulan ramadan ialah sebelum terbenamnya matahari, memasuki malam ke-duapuluh satu.

Tujuan itikaf yang dianjurkan Rasulullah Saw. diakhir bulan ampunan semoga lebih gampang mendapat malam Lailatul Qadar, sebagaimana telah di sebutkan dalam sebuah hadis

"عن عائشة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجاور في العشر الأواخر من رمضان ويقول : تحروا ليلة القدرفي العشر الأواخر من رمضان" رواه البخاري ومسلم

Artinya :"Dari Aisyah Ra. berkata : Bahwasanya Rasulullah Saw. Beritikaf pada sepuluh simpulan ramadan dan ia bersabda.": Carilah malam lailatul Qadar di sepuluh simpulan Ramadan." (Bukhari & muslim).

Rukun itikaf 
Itikaf mempunyai rukun tersendiri sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. yaitu; Masjid, Berdiam diri (lubtsun), Niat dan Orang yang beritikaf.

Masjid ialah rukun pertama itikaf, maka tidak sah bert'ikaf di kawasan yang dikhususkan untuk shalat, menyerupai kawasan shalat di dalam rumah. Karena kawasan tersebut tidak dikatakan masjid, dan boleh bagi yang berjunub untuk masuk dan berdiam di dalam kawasan tersebut. Istri-istri Rasulullah pun tidak pernah itikaf di kawasan yang dikhususkan untuk shalat di dalam rumah-rumah mereka. Walaupun shalat mereka lebih utama menunaikannya di rumah masing-masing.

Itikaf dibolehkan di semua masjid, baik yang dilaksanakan shalat jumat atau tidak, akan tetapi di masjid jami' (masjid yang ada shalat jumat) lebih utama. Karena ketika tidak perlu lagi keluar untuk shalat jumat di masjid lain, juga disebabkan lebih banyaknya jamaah di masjid jami' dibandingkan masjid lain, disamping Rasulullah Saw. selalu beritikaf di masjid jami'.

Berdiam diri ialah rukun kedua itikaf. Ukurannya ialah lebih sedikit usang dari tuma'ninah dalam ruku', dihentikan seukuran lamanya ruku'. Sedangkan ukuran yang baik ialah sehari, sebagaimana ada yang beropini mengharuskan lamanya sehari.

Berikutnya niat. Itikaf termasuk dalam salah satu ibadah yang tanpa ada illat syar'i, oleh lantaran itu disyaratkan niat ketika beritikaf, baik itakaf sunah maupun wajib menyerupai nazar. Dalilnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Umar Ra., dalam hadis tersebut Rasullah Saw. mengharuskan niat dalam segala amal ibadah. Dengan demikian tidak sah seseorang beritikaf tanpa berniat sebelumnya.

Apabila seseorang berniat untuk itikaf tanpa memilih waktunya, sehari, sebulan atau setahun, maka bila dia keluar dari masjid atau keluar dari itikafnya, baik untuk buang hajat atau hal lain, secara otomatis masa itikafnya berakhir. 

Dan bila dia ingin kembali ke masjid maka harus mengulangi niatnya kembali, lantaran itikaf sebelumnya telah dianggap sebuah ibadah yang sempurna, lantaran dia tidak memilih lamanya waktu beritikaf. Kecuali dia mempunyai niat untuk menyambung itikafnya sebelum keluar, barulah itikafnya tadi dianggap bersambung.

Jika seseorang niat itikaf dengan memilih masanya. Misalkan sehari, seminggu atau sebulan, kemudian keluar dari masjid bukan lantaran buang hajat atau kebutuhan mendadak lainnya, maka dia harus mengulangi niatnya bila ingin melanjutkan itikafnya. 

Apabila itikafnya ialah sunah, maka tidak mesti dia untuk kembali melanjutkan itikafnya tersebut, lantaran memang dibolehkan keluar dari itikaf sunah. Dan apa yang telah dilaksanakannya dianggap satu ibadah yang sempurna. Sedangkan bila dia keluar untuk membuang hajat atau menunaikan hajat lain, maka tidak perlu dia mengulangi niatnya ketika kembali nanti, walaupun membutuhkan waktu yang usang dalam membuang hajat. 

Sedangkan itikaf nazar yang disyaratkan berturut-turut masanya, misalkan sepuluh hari berturut-turut. Apabila keluar bukan lantaran membuang hajat atau memenuhui hajat lain yang penting maka itikafnya itu dianggap batal dan mesti harus diulangi kembali dari pertama. Dalilnya 

عن عائشة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل علي رأسه وهو في المسجد فأرجله وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان إذا كان معتكفاً". رواه البخاري ومسلم.

Artinya :"Dari Aisyah Ra berkata : bekerjsama Rasulullah Saw memasukkan kepalanya kepadaku sedangkan ia didalam masjid, maka saya menyisir rambut beliau, dan ia tidak pernah masuk kerumah (keluar dari masjid) kecuali lantaran keperluan insan dan ketika itu Rasulullah Saw sedang beritikaf". ( Bukhari & Muslim).

Syarat itikaf
Bagi orang yang beritikaf ialah harus seorang muslim lantaran tidak sah niat bagi orang kafir, kemudian berakal, suci dari haidh, nifas dan hadas besar menyerupai junub, lantaran mereka tidak beleh berdiam diri di dalam masjid. Sedangkan anak yang belum tamyiz, orang mabuk, orang gila dan orang pingsan tidak disunahkan atau tidak sah itikaf mereka lantaran niat mereka tidak sah.

Demikianlah secara ringkas aturan yang perlu untuk diketahui dalam beritikaf, dan masih banyak hukum-hukum lain wacana itikaf yang perlu diketahui. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan mohon maaf sebesar-besarnya, lantaran penulis sendiri masih dalam tahap belajar. Semua isi goresan pena ini penulis sadurkan dari kitab Mughni Muhtaj karya Khatib Al-Syarbaini dan kitab Al-majmu' karya Imam Nawawi Ra. Wassalam.

*Tulisan ini sudah dimuat pada Jurnal Seumike Dept. Pendidikan Edisi Perdana, Agustus 2010
banner
Previous Post
Next Post