Apakah Sikat Gigi Mempunyai Keutamaan Menyerupai Bersiwak?
in
Fiqih
Muamalah
on December 14, 2019
Para ulama andal fikih pun menyampaikan bahwa siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib, serta pernyataan-pernyataan selain itu yang mustahil disifati dengannya kecuali sebuah perbuatan. Di samping itu kata “siwak” (juga bisa) dimaksudkan untuk makna alat yang digunakan untuk menggosok gigi (Syarhul Ilmam:1/10).
Berkata Ibnul Atsir:
“والْمِسْوَاكُ: مَا تُدْلَكُ بِهِ الأسْناَن مِنَ العِيدانِ ، يُقَالُ سَاكَ فَاه يَسُوكُهُ : إِذَا دَلَكه بالسِّواك”
Al-Miswak ialah alat yang digunakan untuk menggosok gigi berupa ranting (misalnya, pent.). Seseorang itu dikatakan saaka faahu yasuukuhu jika ia menggosok giginya dengan siwak (An-Nihayah fi gharibil Hadits wal Atsar: 2/425).
Berkata Imam An-Nawawi:
السِّوَاك: هُوَ اسْتِعْمَال عود، أَو نَحوه، فِي الْأَسْنَان لإِزَالَة الْوَسخ، وَهُوَ من ساك، إِذا دلك، وَقيل من التساوك، وَهُوَ التمايل
Siwak ialah penggunaan sebuah ranting pohon atau semisalnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran. Kata ini berasal dari kata“ saaka” bila dia menggosok (gigi). Ada pula yang menyampaikan “Diambil dari kata “At-Tasaawuk” yaitu At-Tamaayul.” (Tahriru Alfaazhit Tanbih, hal. 33).
Maka (kesimpulannya):
Siwak (gosok gigi) itu bukan terbatas pada (menggunakan) ranting pohon arok (kayu siwak) sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, bahkan (sebenarnya) siwak ialah sebuah istilah bagi aktifitas gosok gigi dan membersihkannya dengan alat apapun juga, meliputi ranting apapun juga yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi. Ahli bahasapun tidak membatasi siwak dengan ranting pohon arok (kayu siwak).
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memakai ranting pohon Al-Arok (kayu siwak) saja
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi diri dalam menggosok gigi dengan memakai ranting pohon Al–Arok (kayu siwak) saja. Selain memakai ranting pohon Al–Arok beliau juga memakai ranting pohon yang lainnya. Di antara dalil yang menyebutkan bahwa dia menggosok gigi dengan ranting pohon Al–Arok (kayu siwak) ialah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata:
كُنْتُ أَجْتَنِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِوَاكًا مِنَ الْأَرَاكِ…
“Saya dulu pernah mengambilkan kayu siwak dari pohon Al-Arok untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (HR. Ahmad (3991), Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya (9/209) dan ini ialah lafadz beliau. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menggosok gigi dengan ranting dari pohon kurma (Adapun dalilnya ialah riwayat) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata
” تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي ، وَفِي يَوْمِي ، وَبَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي، وَكَانَتْ إِحْدَانَا تُعَوِّذُهُ بِدُعَاءٍ إِذَا مَرِضَ ، فَذَهَبْتُ أُعَوِّذُهُ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَ: (فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى). وَمَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَفِي يَدِهِ جَرِيدَةٌ رَطْبَةٌ ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُ بِهَا حَاجَةً ، فَأَخَذْتُهَا، فَمَضَغْتُ رَأْسَهَا، وَنَفَضْتُهَا، فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ، فَاسْتَنَّ بِهَا كَأَحْسَنِ مَا كَانَ مُسْتَنًّا ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهَا، فَسَقَطَتْ يَدُهُ، أَوْ: سَقَطَتْ مِنْ يَدِهِ ، فَجَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ رِيقِي وَرِيقِهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الآخِرَةِ “
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di rumahku, pada hari giliran yang menjadi jatahku dan (kepala dia bersandar) di antara dada dan leherku.”
Salah seorang dari kami dahulu terbiasa membacakan do’a kepada dia ketika dia sakit. Lalu saya pun mendoakannya. Kemudian dia mengangkat kepala (pandangan)nya ke atas dan mengucapkan,
فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى
“Ya Allah, jadikanlah saya bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi, Ya Allah, jadikanlah saya bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi“.
Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk sedangkan di tangannya ada ranting kayu siwak dari pohon kurma yang masih basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun menatapnya, saya menyangka dia membutuhkan siwak tersebut.
Maka saya mengambilnya, mengunyah ujungnya dan mengibas-ngibaskannya, lalu akupun menyerahkannya kepada beliau. Kemudian dia menggosok gigi memakai ranting tersebut, dengan sebaik-baik cara bersiwak yang pernah dia lakukan.
Setelah itu dia memberikannya kepadaku, namun tangannya terjatuh atau ranting kayu siwak dari pohon kurma tersebut jatuh dari tangannya.
Maka Allah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur dia pada hari-hari terakhir dia di Dunia dan pada hari-hari pertama di Akhirat kelak” (HR. Al-Bukhari no. 4451).
“Jaridah ialah ranting pohon kurma“. (Thalabuth Thalabah, hal. 161).
Berkata Al-Fayumi: “Jarid ialah ranting pohon kurma. Kata tunggalnya ialah jaridah. Dinamakan dengan jaridah (artinya: sesuatu yang dihilangkan, pent.) bila dihilangkan darinya daun yang menempel padanya (Al-Mishbah Al-Munir: 1/96).
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan siwak (gosok gigi), tidaklah pernah membatasi dengan ranting kayu tertentu kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk diambil (sebagai sikat gigi) darinya. Dahulu bangsa Arab menggosok gigi dengan aneka macam macam ranting (untuk sikat gigi).
Disebutkan dalam Al-Bayan wat Tabayyun karya Syaikh Al-Jahizh (3/77) :
قضبان المساويك : البشام، والضّرو، والعُتم والأراك، والعرجون، والجريد، والإسحل (وكلها أسماء أشجار معروفة عند العرب).
“Ranting-ranting kayu untuk gosok gigi (contohnya) Al-Basyam, Adh-dhorwu, Al-Utumu, Al-Arok, Al-‘Urjun, Al-Jarid, dan Al-Ishal” (Semuanya ialah nama-nama pohon yang dikenal oleh bangsa Arab) (Lihat pula: Musykilat Muwaththa` Malik bin Anas karya Al-Bathliyusi, hal. 72).
Ibnu Abdil Barr menyatakan:
وَكَانَ سِوَاكُ الْقَوْمِ: الْأَرَاكَ ، وَالْبَشَامَ ، وَكُلَّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ وَلَا يُؤْذِيهَا وَيُطَيِّبُ نَكْهَةَ الفم: فجائز الاستنان به
Dahulu ranting kayu untuk gosok gigi bagi kaum (bangsa Arab) ialah Al-Arok, Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi, tidak menyakitinya, bahkan mengharumkan busuk mulut, maka semua itu boleh digunakan untuk menggosok gigi. (Al-Istidzkar: 1/365).
4. Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi bersiwak dengan ranting kayu tertentu dalam membahas fikih perihal siwak di kitab-kitab mereka
Para Ahli Fikih tidak pernah membatasi aturan bersiwak dengan ranting kayu al-arok, bahkan mereka menyebutkan bahwa bersiwak bisa terwujud dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membersihkan lisan (gigi), baik berupa ranting yang kaku (bukan lembek) dan yang semisalnya. Ibnu Abdil Barr menuturkan:
وَالسِّوَاكُ الْمَنْدُوبُ إِلَيْهِ : هُوَ الْمَعْرُوفُ عِنْدَ الْعَرَبِ ، وَفِي عَصْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَكَذَلِكَ الْأَرَاكُ وَالْبَشَامُ ، وَكُلُّ مَا يَجْلُو الْأَسْنَانَ.
(Ranting kayu) siwak yang disunnahkan ialah (ranting kayu) yang dikenal di kalangan bangsa Arab dan dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula (ranting kayu) Al-Arok, Al-Basyam dan segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi (At-Tamhid (7/201)).
Beliau juga berkata:
وَكُلُّ مَا جَلَا الْأَسْنَانَ ، وَلَمْ يُؤْذِهَا ، وَلَا كَانَ مِنْ زِينَةِ النِّسَاءِ : فَجَائِزٌ الِاسْتِنَانُ بِهِ
Segala sesuatu yang bisa membersihkan gigi dan tidak menyakitinya, maka boleh digunakan untuk menggosok gigi (At-Tamhid 11:213).
An-Nawawi mengatakan:
” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَاكَ بِعُودٍ من أراك، وبأي شئ اسْتَاكَ، مِمَّا يُزِيلُ التَّغَيُّرَ: حَصَلَ السِّوَاكُ ، كَالْخِرْقَةِ الْخَشِنَةِ، وَالسَّعْدِ، وَالْأُشْنَانِ “
Disunnahkan bersiwak dengan ranting dari pohon Al-Arok dan dengan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk bersiwak berupa sesuatu yang bisa menghilangkan perubahan (bau mulut), maka (hakekatnya dengan itu) sudah diperoleh sunnah bersiwak. (Alat yang bisa digunakan bersiwak tersebut) contohnya secarik kain yang kasar, ranting flora As-Sa’du dan Al-Asynan (Syarhu Shahih Muslim (3/143)).
Al-‘Iraqi menyatakan:
وَأَصْلُ السُّنَّةِ تَتَأَدَّى بِكُلِّ خَشِنٍ يَصْلُحُ لِإِزَالَةِ الْقَلَحِ [أي صفرة الأسنان].
Pada asalnya Sunnah (dalam persoalan bersiwak) ialah bisa terlaksana dengan segala benda kaku yang cocok untuk membersihkan kotoran gigi (yaitu kotoran gigi yang biasanya berwarna kuning) (Tharhu At-Tatsrib (2/67)).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bertutur:
” وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ السِّوَاكُ عُودًا لَيِّنًا يُطَيِّبُ الْفَمَ وَلَا يَضُرُّهُ ، وَلَا يَتَفَتَّتُ فِيهِ ، كَالْأَرَاكِ وَالزَّيْتُونِ وَالْعُرْجُونِ “
Disunnahkan alat untuk bersiwak (gosok gigi) berupa ranting lembut yang mengharumkan busuk lisan (membersihkannya) dan tidak membahayakannya serta tidak gampang terlepas (serabutnya), ibarat kayu Al-Arok, Az-Zaitun dan Al-‘Urjun (Syarhu Umdatul Fiqhi: 1/221).
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin:
ويحصل الفضل بعود الأراك، أو بغيره من كل عود يشابهه
Keutamaan bersiwak bisa didapatkan dengan memakai ranting kayu Al-Arok (kaya siwak) atau dengan selainnya dari setiap ranting yang semisalnya (Syarhu Riyadhish Shalihin: 5/226).
Dan tidak ada seorangpun dari ulama -sebatas yang kami ketahui- yang menyampaikan bahwa bersiwak itu hanya dengan ranting kayu Al-Arok (kayu siwak) saja, bahkan pernyataan-pernyataan mereka itu cukup banyak yang memperlihatkan bahwa bersiwak itu bisa dilakukan dengan menggunakan selain ranting kayu selain Al-Arok (kayu siwak) juga, yang dengannya bisa tercapai maksud (kebersihan gigi).
5. Bersiwak ialah ibadah yang terkait dengan alasan (tujuan), sehingga bisa terlaksana dengan setiap alat yang mubah dan cocok untuk mencapai tujuan tersebut
Bahwa bersiwak bukanlah tergolong kedalam jenis ibadah yang murni, akan tetapi bersiwak ialah jenis ibadah yang bisa dipahami maknanya (alasan disyari’atkannya).
Maksud disyari’atkannya bersiwak ialah untuk membersihkan gigi dan mengharumkan busuk mulut, sedangkan ini terlaksana dengan setiap alat (mubah) yang bisa digunakan untuk mencapai maksud tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bertutur:
” وَلِأَنَّ السِّوَاكَ إِنَّمَا شُرِعَ لِتَطْيِيبِ الْفَمِ وَتَطْهِيرِهِ وَتَنْظِيفِهِ “
Karena siwak disyari’atkan untuk mengharumkan (bau)mulut, membersihkan dan mengeluarkan kotorannya. [Syarhu Umdatul Fiqhi :1/218].
Dengan klarifikasi di atas, nampak terperinci bahwa:
Keutamaan yang dijanjikan dalam dalil-dalil Syari’at perihal bersiwak (pada asalnya) ialah terkait dengan aktifitas bersiwaknya (membersihkan gigi) dan bukanlah terkait dengan alat untuk bersiwaknya. Maka keutamaan tersebut (pada asalnya) bukan terkait dengan ranting pohon Al-Arok (kayu siwak)nya, namun keutamaan itu terkait dengan aktifitas membersihkan lisan dan gigi.
Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (1/46):
” وَهُوَ يُطْلَقُ عَلَى : الفعل والآلة ، والأول هو المراد ها هنا “
Kata tersebut (Siwak) diperuntukkan untuk memperlihatkan makna perbuatan dan alat sekaligus, sedangkan untuk makna yang pertama (perbuatan) itulah yang dimaksud di sini.
(Maksud dari perkataan “di sini”) yaitu: di dalam hadits-hadits perihal keutamaan bersiwak dan dorongannya.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Apakah memakai pasta gigi (dan sikat gigi, pent.) bisa mewakili kayu siwak (ranting pohon Al-Arok)?
Dan apakah orang yang menggunakannya (sikat & pasta gigi) dengan niat membersihkan lisan akan diberi pahala? Maksud (saya): Apakah sepadan dengan pahala kayu siwak, yang dengan pahala tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyemangati orang yang membersihkan giginya? ”
Beliau Rahimahullah Ta’ala menjawab,
” نعم ؛ استعمال الفرشاة والمعجون يغني عن السواك ، بل وأشد منه تنظيفاً وتطهيراً ، فإذا فعله الإنسان حصلت به السنة ؛ لأنه ليس العبرة بالأداة ، العبرة بالفعل والنتيجة ، والفرشاة والمعجون يحصل بها نتيجة أكبر من السواك المجرد .
لكن هل نقول إنه ينبغي استعمال المعجون والفرشاة كلما استحب استعمال السواك ، أو نقول إن هذا من باب الإسراف والتعمق ، ولعله يؤثر على الفم برائحة أو جرح أو ما أشبه ذلك ؟ هذا ينظر فيه ”
لكن هل نقول إنه ينبغي استعمال المعجون والفرشاة كلما استحب استعمال السواك ، أو نقول إن هذا من باب الإسراف والتعمق ، ولعله يؤثر على الفم برائحة أو جرح أو ما أشبه ذلك ؟ هذا ينظر فيه ”
Ya benar, memakai sikat dan pasta gigi bisa mewakili kayu siwak, bahkan lebih bisa membersihkan dan mengeluarkan kotoran gigi, maka bila seseorang gosok gigi dengan sikat gigi (itu berarti) sudah terlaksana Sunnah (bersiwak) dengannya, lantaran yang dijadikan patokan bukanlah alat untuk bersiwaknya, namun yang dijadikan patokan ialah perbuatan dan hasilnya. Sedangkan sikat dan pasta gigi bisa menghasilkan hasil (kebersihan gigi & keharuman busuk mulut, pent.) yang lebih maksimal dibandingkan dengan kayu siwak saja.
Akan tetapi apakah bisa kita katakan bahwa penggunaan sikat dan pasta gigi itu sebaiknya ketika setiap kali disunnahkan penggunaan kayu siwak? Atau justru hal ini tergolong melampaui batas dan berlebih-lebihan? (karena) barangkali berdampak pada mulut, baik berupa bau, luka atau semisalnya? Ini perlu pembahasan (lebih lanjut).
[Fatawa Nur ‘alad-Darb lil ‘Utsaimin :2/7, penomoran maktabah Syamilah].
Permasalahan Kedua: Kayu siwak mempunyai keistimewaan tersendiri!
(Meskipun) telah disebutkan bahwa menggosok gigi dengan memakai sikat gigi itu sudah termasuk melaksanakan Sunnah siwak dan mendapat pahala jika diiringi dengan niat ibadah, hanya saja, bersiwak dengan memakai ranting pohon Al-Arak (kayu siwak) tetap mempunyai keistimewaan (tersendiri), berupa mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
(Keistimewaan tersebut yaitu) bahwa kayu siwak dahulu paling banyak digunakan oleh mereka, ditambah lagi gampang dibawa dan dipindah-pindah di segala daerah dan kondisi. Dan hal itu telah menjadi kebiasaan tanpa ada yang mengingkarinya serta tidaklah hal itu terhitung ‘nyeleneh’.
Lain halnya dengan sikat gigi yang sulit bila digunakan pada setiap saat, lantaran sikat gigi tersebut membutuhkan daerah tersendiri.
Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (4/140):
” اتَّفَقَ فُقَهَاءُ الْمَذَاهِبِ الأْرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ أَفْضَلَهُ جَمِيعًا : الأْرَاكُ ، لِمَا فِيهِ مِنْ طِيبٍ ، وَرِيحٍ ، وَتَشْعِيرٍ يُخْرِجُ وَيُنَقِّي مَا بَيْنَ الأْسْنَانِ ”
Ulama Ahli Fikih dari keempat madzhab setuju bahwa alat siwak yang paling utama dari seluruh alat siwak yang ada yaitu: ranting pohon Al-Arok, lantaran didalamnya terdapat kebaikan, keharuman busuk dan berserabut yang bisa mengeluarkan dan membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi.
Ibnu Allan menyatakan:
” وأولاه : الأراك ؛ للاتباع ، مع ما فيه من طيب طعم وريح ، وشعيرة لطيفة تنقي ما بين الأسنان ، ثم بعده النخل ؛ لأنه آخر سواك استاك به صلى الله عليه وسلم”
Yang paling baik ialah ranting pohon Al-Arok (kayu siwak) lantaran mengikuti (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), diiringi dengan kesejukan rasa dan keharuman busuk serta serabut yang lembut membersihkan kotoran yang terdapat di sela-sela gigi, lalu (urutan yang berikutnya adalah) ranting pohon kurma, lantaran ranting pohon kurma tersebut ialah ranting siwak yang terakhir kali digunakan bersiwak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Dalilul Falihin (6/658)].
Berkata Syaikh Athiyyah Muhammad Salim:
” إذا نظرنا إلى الغرض من استعمال السواك ، وهو كما في الحديث : ( مطهرة للفم مرضاة للرب ) فأي شيء طهَّر الفم فإنه يؤدي المهمة ، ولكن ما كان عليه السلف فهو أولى وأصح طبياً ”
“Jika kita perhatikan tujuan penggunaan kayu siwak, yaitu sebagaimana disebutkan dalam hadits :
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak ialah membersihkan lisan dan menyebabkan (didapatkannya) keridhoan Ar-Rabb (Allah)” , maka dengan alat (mubah) apapun yang bisa membersihkan mulut, itu berarti telah memenuhi tujuan tersebut, namun kasus yang menjadi Sunnah Salafush Sholeh itu lebih utama dan lebih manis secara medis”.
[Syarhu Bulughil Maram (5/13), dengan penomoran maktabah Syamilah].
Untuk klarifikasi tambahan, silahkan baca tanggapan pertanyaan no. 115282, di dalamnya terdapat beberapa faedah yang bermanfa’at perihal ranting pohon Al-Arok (kayu siwak). Wallahu a’lam.
***
Sumber: Islamqa.info/ar/219510