Saturday, 14 December 2019

Bagaimana Berinteraksi Dengan Non Muslim? (2)

Bagaimana Berinteraksi Dengan Non Muslim Bagaimana Berinteraksi Dengan Non Muslim? (2)ulama memberikan kaidah dalam mendapatkan hadiah dari orang kafir. Demikian juga halnya hadiah dari mahir maksiat dan orang yang menyimpang.
Yaitu, bila hadiah tersebut tidak berpotensi membahayakan bagi si penerima, dari segi Syar’i (agama), maka boleh. Namun bila hadiah itu diberikan tujuannya semoga si akseptor tidak menyampaikan kebenaran, atau semoga tidak melaksanakan suatu hal yang merupakan kebenaran, maka hadiah tersebut dihentikan diterima. Demikian juga bila hadiah itu diberikan dengan tujuan semoga masyarakat sanggup mendapatkan orang-orang kafir yang dikenal kebijaksanaan kancil dan makarnya, maka ketika itu dihentikan mendapatkan hadiah. Intinya, bila dengan mendapatkan hadiah tersebut akan menjadikan sesuatu berupa penghinaan atau setidaknya ada tuntutan untuk menentang suatu cuilan dari agama kita, atau menciptakan kita membisu tidak mengerjakan apa yang diwajibkan oleh Allah, atau menciptakan kita melaksanakan yang diharamkan oleh Allah, maka ketika itu hadiah tersebut dihentikan diterima”.
Dan berikut ini syarat-syarat mendapatkan hadiah dari non muslim.
Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :
“Kesimpulannya adalah, dibolehkan bagi anda mendapatkan hadiah dari tetangga anda yang Nashrani pada hari Id mereka, dengan syarat;
  1. Hadiah tersebut bukan berupa sembelihan yang disembelih lantaran hari raya mereka.
  2. Hadiah tersebut tidak untuk kasus yang mirip mereka pada hari raya mereka, mirip lilin, telor, pelepah dan semacamnya.
  3. Hendaknya hal tersebut diiringi dengan klarifikasi perihal aqidah Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman serta tetapkan relasi kepada orang kafir) kepada belum dewasa anda, semoga tidak tertanam dalam hati mereka cinta terhadap hari raya mereka atau hatinya terpaut dengan orang yang memberi.
  4. Tujuan mendapatkan hadiah yaitu untuk melunakkan hatinya dan mengajaknya masuk Islam, bukan sekedar basa basi, apalagi mengasihi dan berkasih sayang kepadanya. ”.
(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).
2. Kaidah dalam memberi hadiah kepada non muslim
Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :
“Dibolehkan bagi seorang muslim untuk memberi hadiah bagi orang kafir dan musyrik dengan maksud untuk melunakkah hatinya dan menarik minatnya masuk Islam, khususnya bila dia merupakan kerabat atau tetangga. Umar radhiallahu anhu memberi hadiah baju kepada saudaranya yang masih musyrik semasa di Mekah (HR. Bukhari, no. 2619).
Namun bila hadianya merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk merayakan Hari Raya mereka, mirip makanan, lilin dan semacamnya, maka hal itu merupakan kasus yang sangat besar keharamannya, bahkan sebagian ulama menganggap perbuatan tersebut sebagai kekufuran.
Bahkan dihentikan bagi seorang muslim memberi hadiah bagi muslim lainnya lantaran hari raya tersebut ”.
(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).
3. Tidak boleh mengasihi dan kasih sayang kepada non muslim.
Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid rahimahullah :
“Akan tetapi berbuat baik dan bersikap adil, tidak berarti mengasihi dan berkasih sayang, lantaran mengasihi dan berkasih sayang kepada orang kafir tidak dibolehkan, begitu pula hendaknya tidak menjadikannya sebagai mitra dekat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau belum dewasa atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan sumbangan yang tiba daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka infinit di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa ridho/puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu yaitu golongan yang beruntung.  (QS. Al-Mujadilah: 22)”.
(Baca selengkapnya di: https://Islamqa.info/id/85108).
4. Hukum bersikap lembut terhadap non muslim
Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Al-Utsaimin, tentang Al-Wala` wal Bara` beliau ditanya: “Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya perihal :  (bagaimana)  hukum bergaul dan berinteraksi dengan orang kafir, dengan perilaku lembut dan halus, lantaran menginginkan keislaman mereka?”
Beliau menjawab:
Tidak diragukan bahwa seorang muslim wajib membenci musuh-musuh Allah dan berlepas diri dari mereka, lantaran ini yaitu jalan yang ditempuh oleh para Rasul dan pengikut mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada (Nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kalian dari daripada apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (agama) kalian dan telah kasatmata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al-Mumtahanah: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
“(22)Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau belum dewasa atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan Wahyu dan sumbangan yang tiba dari-Nya” (QS. Al-Mujaadilah: 22).
Berdasarkan hal ini, maka bagi seorang muslim, tidak boleh terdapat dalam hatinya rasa cinta dan kasih sayang terhadap musuh-musuh Allah yang -kenyataannya- mereka yaitu musuh-musuh bagi seorang muslim (pula).
Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ
“(1) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian (bersegera) memberikan kepada mereka rasa kasih sayang (kalian), padahal bekerjsama mereka telah ingkar kepada kebenaran yang tiba kepada kalian” (QS. Al-Mumtahanah: 1).
Adapun seorang muslim yang berinteraksi dengan mereka, dengan perilaku lembut dan haluskarena menginginkan keislaman dan keimanan mereka, maka hal ini diperbolehkan.
Sebab, perilaku ini termasuk jenis perlakuan halus (ta`liif) terhadap mereka semoga mereka mau masuk Islam.
Akan tetapi, bila ia frustasi terhadap mereka, maka sikapilah mereka dengan perilaku yang layak bagi mereka (sesuai dengan perbuatannya, pent.).
Dan hal ini telah disebutkan secara terperinci dalam kitab-kitab ulama, terlebih lagi kitab “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karya Ibnul Qoyyim rahimahullah.
5. Hukum ikut serta bersama dengan non muslim di dalam merayakan hari raya mereka
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya tentang: (bagaimana) aturan kaum muslimin ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya mereka?
Beliau menjawab:
“ (Hukum) ikut serta bersama dengan non muslim di dalam (merayakan) hari raya mereka yaitu haram, lantaran mengandung tindakan menolong (mereka) dalam dosa danpelanggaran, padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan bersama-sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maaidah: 2).
Dan lantaran hari raya-hari raya (non muslim ini),
  1. Jika terkait dengan keagamaannya, maka keikutsertaan kaum muslimin di dalamnya mengandung konsekwensi legalisasi kaum muslimin terhadap pedoman agama (non muslim) ini dan ridho terhadap kekafiran mereka.
  2. Dan bila hari raya-hari raya tersebut terkait dengan kasus di luar keagamaannya (hanya moral non muslim, pent.), maka seandainya hari raya-hari raya tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah kaum muslimin saja, hal itu tidak (boleh) dilakukan (karena hari raya non muslim, pent.), maka bagaimana mungkin (boleh dirayakan), sedangkan hari raya-hari raya tersebut (diselenggarakan) di tengah-tengah orang-orang kafir?
Oleh lantaran itu, ulama menyatakan bahwa kaum muslimin dihentikan untuk ikut serta bersama dengan non muslimin di dalam (merayakan) hari raya mereka, lantaran hal itu berarti mengakui dan ridho terhadap agama batil tersebut dan juga berarti menolong (mereka) dalam dosa dan pelanggaran…..”.
6. Hukum profesi yang mengharuskan bekerja bersama dengan orang kafir
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya perihal aturan seorang (muslim) bekerja bersama dengan orang kafir, apakah nasehat Anda?
Beliau menjawab:
Kami nasehatkan kepada saudara (penanya) ini, yang ia bekerja bersama dengan orang-orang kafir, semoga mencari pekerjaan yang tidak terdapat di dalamnya musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) diantara orang-orang yang beragama selain Islam.
Jika memang hal ini gampang (dilakukan), maka (pekerjaan) inilah yang selayaknya (dicari).
Namun, bila tidak gampang (dilakukannya), maka tidak mengapa  (seorang muslim bekerja bersama dengan orang-orang kafir), lantaran ia (bertanggungjawab & sibuk dengan) pekerjaannya sendiri, sedangkan mereka (bertanggungjawab & sibuk dengan) pekerjaan mereka sendiri (pula), namun dengan syarat dihentikan ada dalam hatinya kasih sayang, cinta dan loyalitas (wala`) kepada mereka serta berpegangteguh dengan Syari’at (Islam) dalam aturan mengucapkan dan membalas salam kepada mereka dan yang semisalnya. Demikian pula, dihentikan mengantarkan dan menghadiri mayat mereka serta dihentikan pula menghadiri (perayaan) hari raya mereka dan dihentikan mengucapkan selamat hari raya (kepada mereka).
7. Hukum mendatangkan karyawan non muslim
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam kitab yang sama (fatwa no.399) ditanya perihal aturan mendatangkan para karyawan non muslim dan aturan menyajikan masakan untuk mereka?
Beliau -semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan- menjawab:
Kaum muslimin lebih baik dari orang-orang kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“(221) Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menggoda kalian” (QS. Al-Baqarah: 221).
Namun, tidak mengapa mendatangkan karyawan non muslim, bila memang dibutuhkan.
Adapun (hukum seorang muslim) menyajikan masakan untuk mereka,
  1. Jika dalam posisi melayani (sebagai pembantu rumah tangga, pent.), mirip ia melayani mereka di rumah-rumah mereka dan yang semisalnya, maka tidak selayaknya (hal itu dilakukan), bahkan para ulama Ahli Fiqih menyatakan makruhnya hal itu.
  2. Namun, bila bukan dalam posisi melayani, mirip Anda menyajikan masakan untuk mereka (sebagai tamu, pent.) di rumah Anda, maka boleh, lantaran memang ada kebutuhan untuk (melakukan) hal itu.
8. Bolehkah seorang muslim memanggil non muslim “Saudaraku!” atau “Temanku!
Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin ditanya perihal aturan ucapan “Saudaraku!” kepada non muslim? Demikian pula (hukum) panggilan “Teman dan kawan” (kepada non muslim)? Dan aturan tertawa ke orang-orang kafir dengan maksud untuk mendapatkan kasih sayang (mereka)?
Beliau menjawab:
Adapun (hukum) ucapan “Wahai, Saudaraku!”  kepada non muslim yaitu haram. Ucapan ini dihentikan diucapkan kecuali bila non muslim tersebut (benar-benar) saudaranya, baik (persaudaraan) disebabkan oleh nasab (keturunan) maupun persusuan.
Karena bila bukan saudara senasab dan bukan pula saudara sepersusuan, maka tinggal satu kemungkinan, (yaitu) saudara seagama. Sedangkan orang kafir bukanlah saudara seagama (seiman) bagi seorang muslim.
Dan ingatlah ucapan Nabiyyullah Ta’ala Nuh:
رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
“Ya Tuhanku, bekerjsama anakku termasuk keluargaku, dan bekerjsama komitmen Engkau itulah yang benar. Dan Engkau yaitu Hakim yang seadil-adilnya”.
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ
Allah berfirman: “Hai Nuh, bekerjsama dia bukanlah termasuk keluargamu (QS. Huud: 45-46).
Adapun ucapan “teman dan kawan”  atau yang semisal keduanya,

  • Jika kata tersebut yaitu (sekedar) ucapan sambil lalu, dengan maksud sekedar panggilan bagi orang yang tak diketahui namanya di antara mereka (non muslim), maka ini diperbolehkan.
  • Namun bila maksudnya yaitu untuk berkasih-sayang dan mengakrabi mereka (non muslim), maka bekerjsama Allah Ta’ala telah berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau belum dewasa atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujaadilah: 22).
Maka (kesimpulannya):
Setiap kata-kata halus yang dimaksudkan untuk saling menyayangi, maka seorang mukmin dihentikan menggunakannya ketika berbicara dengan non muslim, siapapun non muslim tersebut.
Demikian pula problem tertawa ke mereka dengan maksud saling berkasih-sayang antara kita dengan mereka, maka tidak boleh, sebagaimana diketahui dari ayat yang mulia tersebut di atas.
9. Bolehkah seorang muslim menampakkan wajah ceria dan tertawa kepada non muslim?
Berikut ini penyusun akan ringkaskan fatwa dari Markaz Fatwa di website Islamweb.net, “Tidak mengapa (menampakkan) wajah ceria, tawa dan canda dengannya (non muslim) tanpa menampakkan ridha terhadap agama/kekufurannya. Hukum asalnya yaitu boleh, sebagaimana bolehnya berbicara dan berinteraksi dengannya. Imam Al-Bukhari telah menciptakan sebuah cuilan dalam shahihnya, dia berkata:
 باب الانبساط إلى الناس
Bab: “Bersikap manis kepada manusia”.
Perkataan “An-Naas” disini meliputi orang muslim dan orang kafir”. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anhamengabarkan kepadanya bahwa seorang pria meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliapun bersabda:
ائذنوا له، فبئس ابن العشيرة أو بئس أخو العشيرة
“Izinkanlah ia, ia yaitu seburuk-buruk anak dalam keluarga atau seburuk-buruk saudara dalam keluarga “.
Namun, ketika ia masuk, beliaupun bermanis kata. Akupun bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau telah menyampaikan perkataanmu tadi, kemudian engkau bermanis kata kepadanya?”Beliau menjawab,
أي عائشة إن شر الناس منزلة عند الله من تركه أو وَدَعَه الناس اتقاء فحشه
“Wahai ‘Aisyah bekerjsama insan paling jelek kedudukannya  menurut Allah ialah orang yang dijauhi atau ditinggalkan oleh orang-orang lantaran mereka menghindari kekejiannya.”
Al-Bukhari berkata, “Pernah disebutkan dari Abud Dardaa` bahwa dia berkata:
إنا لنكشر في وجوه أقوام ونضحك إليهم وإن قلوبنا تلعنهم
“Sesungguhnya kami tersenyum dan tertawa di hadapan sebagian orang, sedangkan hati kami melaknat mereka!
Syaikh Sulaiman bin Abdillah Al-Majid rahimahullah pernah ditanya perihal seorang muslim yang bercanda dengan orang-orang kafir, kemudian beliaupun menjawab:
“Jika canda dan perilaku tidak canggungmu kepada mereka, bukan lantaran cinta kepada kekafiran mereka dan bukan lantaran cinta kepada langsung mereka secara mutlak, namun lantaran (ingin) mendakwahi mereka atau untuk basa-basi dalam berkomunikasi, maka perilaku ini tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang tercela dalam aqidah Bara` (benci) terhadap orang-orang kafir”
10. Bolehkah seorang muslim mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!” kepada non muslim?
Markaz Fatwa Islamweb.net, ketika ditanya bolehkah memulai mengucapkan “Selamat Pagi!” dan “Selamat Datang!” kepada nashara (orang-orang kristen), menjawab:
“Adapun memulai mengucapkan ucapan selain “Assalaamu’alaikum” kepada mereka, mirip ucapan “Selamat Pagi!”, “Selamat Datang!” dan ucapan yang semisalnya kepada mereka (nashara), maka aturan yang nampak (bagi kami) yaitu boleh. Hal ini dikarenakan:
  1. Hadits-hadits (yang ada dalam problem ini) hanyalah terkait dengan larangan memulai mengucapkan ucapan “Assalaamu’alaikum” kepada mereka dan tidak terkait dengan ucapan selamat yang lainnya.
  2. Di dalam (memulai) ucapan “Assalaamu’alaikum (kepada mereka) terkandung bentuk pemuliaan dan penghormatan yang spesifik bagi mereka, yang tidak terdapat di dalam ucapan-ucapan selamat yang lainnya. Ibnul Qoyyim telah menyebutkan makna-makna agung yang terdapat dalam ucapan “Assalaamu’alaikum, seperti di dalamnya terdapat salah satu nama Allah Ta’ala dan syi’ar bagi kaum muslimin yang tersebar diantara mereka dan do’a keselamatan.
Kemudian dia berkata,
فحقيق بتحية هذه شأنها أن تصان عن بذلها لغير أهل الإسلام، وألا يُحيَّا بها أعداء القدوس السلام.
Maka kalimat tahiyyah yang mirip ini keistimewaannya  (“Assalaamu’alaikum, pent.), sangatlah layak untuk dijaga dari diucapkan kepada non muslim dan (layak pula) musuh-musuh Al-Qudduus As-Salaam (musuh Allah, pent.) tidak dimuliakan dengan ucapan tahiyyah (yang istimewa) tersebut ”.
Namun, sikap yang lebih utama adalah meninggalkan memulai mengucapkan ucapan selamat (tahiyyah) kepada mereka, bagaimanapun juga bentuk ucapan tahiyyah tersebut, kecuali
  1. Jika di dalam memulai mengucapkan ucapan selamat (selain ucapan “Assalaamu’alaikum”, pent.) kepada mereka tersebut, terdapat maslahat syar’i, mirip untuk melunakkan hati mereka semoga mendapatkan Islam,
  2. Atau menjaga (diri) dari kejahatan mereka, dan maslahat-maslahat Syar’i yang semisalnya.
Karena perilaku yang lebih utama tersebut, lebih berpengaruh untuk tetapkan sebab-sebab yang menghantarkan kepada kasih sayang dan kecintaan (kita) kepada mereka.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post