Friday, 27 December 2019

Bolehkah Memberikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (1)

Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (1)


Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kaidah besar dalam ilmu hadits

Dalam kitab Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Al-Albani rahimahullah menuliskan sebuah muqaddimah yang berisikan beberapa kaidah ilmiyah dalam memahami sunnah, ia mengatakan,
وقبل الشروع في المقصود لا بد من أن أقدم بين يدي ذلك بعض القواعد الأساسية التي لا يستغني عن معرفتها من كان يعنيه أمر التفقه في السنة
Dan sebelum kita memulai inti pembahasan yang dimaksud, maka haruslah saya sampaikan di hadapan Anda beberapa kaidah dasar yang niscaya diharapkan oleh orang yang mempunyai perhatian (besar) dalam mendalami As-sunnah.”
Salah satu dari beberapa kaidah tersebut yang ia sebutkan adalah
القاعدة الحادية عشرة لا يجوز ذكر الحديث الضعيف إلا مع بيان ضعفه
“Kaidah kesebelas: Tidak boleh menyebutkan hadits dha’if (lemah) kecuali dengan menjelaskan kelemahannya.”
Syaikh Al-Albani rahimahullah ta’ala menjelaskan dalam kaidah tersebut bahwa banyak didapatkan para penulis, terlebih lagi di zaman kini yang menyandarkan suatu hadits dha’if kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa memperingatkan umat terhadap kelemahan hadits tersebut, hal itu disebabkan ketidaktahuannya wacana ilmu sunnah (hadits) atau malas membaca kepada kitab-kitab khusus yang membahas problem hadits.
Kemudian Syaikh Al-Albani membawakan perkataan Syaikh Abu Syaamah rahimahullah:
بل ينبغي أن يبين أمره إن علم ، وإلا دخل تحت الوعيد في قوله صلى الله عليه وسلم: (( من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين )). رواه مسلم
“Bahkan selayaknyalah ia menjelaskan perkaranya (kelemahan hadits dha’if, pent) kalau mengetahuinya, namun kalau tidak menjelaskannya padahal ia tahu, maka ia termasuk ke dalam bahaya yang terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang memberikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan insan yang berdusta’” (HR. Muslim, Tamamul Minnah, hal. 32).
Dalam kitab Tamamul Minnah, hal. 33-34, Syaikh Al-Albani mengomentari perkataan di atas dengan mengatakan,
“(Apa yang disampaikan oleh Syaikh Abu Syamah) ini ialah aturan wacana (terlarangnya) orang yang tidak menjelaskan (kelemahan) hadits-hadits dha’if  yang berkaitan dengan keutamaan suatu amal shalih ! Maka bagaimana lagi kalau hadits-hadits dha’if tersebut berkaitan dengan hukum-hukum syar’i dan yang semisalnya? Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang (nekad) melakukannya (yaitu: tidak menjelaskan kelemahan hadits dha’if), maka ia termasuk salah satu dari dua tipe orang berikut ini:
  1. Tipe pertama, ia mengetahui kelemahan hadits-hadits dha’if itu dan ia tidak memperingatkan kelemahannya, maka ia berarti telah menipu kaum muslimin, dan tentulah ia termasuk kedalam bahaya yang disebutkan dalam hadits tersebut di atas (HR. Muslim, pent)Berkata Ibnu Hibban dalam kitabnya (Adh-Dhu’afaa`: 7/ 1-8) “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang ahlul hadits kalau meriwayatkan hadits yang tidak valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didapatkan kedustaan di dalamnya, sedangkan ia mengetahui hal itu, maka ia termasuk ke dalam salah satu dari dua golongan insan yang berdusta. (Bahkan sesungguhnya) lahiriyah dari hadits ini menunjukkan kepada sesuatu yang lebih ketat lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    (من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب …)
    “Barangsiapa yang memberikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta”, beliau tidaklah bersabda: ‘sedangkan ia yakin bahwa hadits itu dusta.’ Makara setiap orang yang ragu-ragu wacana hadits yang ia sampaikan; apakah hadits itu shahih atau tidak, maka ia termasuk ke dalam kandungan yang terdapat dalam hadits ini secara tekstual.”
  2. Dan tipe kedua ialah ia tidak mengetahui lemahnya hadits tersebut (namun berani menyampaikannya, pent.), maka ia juga berdosa lantaran kelancangannya dalam menyandarkan hadits tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ilmu. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
    (كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع)
    “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia memberikan setiap apa yang ia dengar.”Maka dia mendapat pecahan dari dosa orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa orang yang memberikan segala yang ia dengar -termasuk orang yang menulisnya, bahwa ia niscaya terjatuh kedalam dosa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dengan lantaran itulah ia termasuk salah satu dari dua golongan insan yang berdusta, yaitu pertama, orang yang berdusta (atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kedua, orang yang berbagi hadits tersebut.”
    Ibnu Hibban rahimahullah berkata juga (Adh-Dhu’afaa`1/9), ‘Dalam hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk memberikan setiap apa yang ia dengar hingga mengetahui dengan yakin tentang kevaliditasannya.
    Dan An-Nawawi menyatakan dengan terang bahwa orang yang tidak mengetahui kelemahan sebuah hadits, maka dilarang baginya berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya, kalau ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits) atau dengan cara bertanya kepada ulama, kalau ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12”.
Syaikh Al-Albani juga menyampaikan dalam Tamamul Minnah, hal.37,
ويبدو لي أن الحافظ رحمه الله يميل إلى عدم جواز العمل بالضعيف بالمعنى المرجوح لقوله فيما تقدم: . . ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام أو في الفضائل إذ الكل شرع
“Dan yang nampak terang bagiku bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits dha’if (lemah) dengan makna marjuh, menurut ucapan ia yang disebutkan sebelumnya, “…Dan tidak ada perbedaan dalam problem (larangan) mengamalkan hadits dha’if, baik dalam problem hukum, maupun dalam problem keutamaan amal shalih (semua terlarang), lantaran semua itu ialah syari’at.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
Syari’at ini dilarang berlandaskan kepada hadits-hadits dha’if (lemah), yaitu yang bukan kategori shahih dan bukan pula hasan.” (Majmu’ul Fatawa 1/250).
Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها، ولا يجوز أن تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار)، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف
Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), dilarang pula hadits-hadits tersebut disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali kalau dijelaskan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if.  Barangsiapa yang memberikan dari Rasulullah sebuah hadits yang dipandangnya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan insan yang berdusta. Dan telah benar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ia bersabda,
من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil daerah duduknya dari Neraka”.  (HR. Al-Bukhari)jadi dilarang berzakat dengan hadits dha’if” (Islamqa.info/ar/131106).
Adapun untuk “Dalil-dalil wacana tidak bolehnya  meriwayatkan suatu hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya”, maka akan kami sampaikan di artikel pecahan kedua. Wa billahit Taufiq.
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post