Thursday, 5 December 2019

Mata Si Kurus




Oleh: Shabrun Jamil
*pemenang juara II el Asyi Award cabang Cerpen pada peringatan HUT 25 el Asyi


Pukul 03.00 malam.

Aku masih menggerayangi alam mimpi, menjelajahi ruang dan waktu yang tak menentu. Bagaimanapun juga itu masih mimpi wacana mata yang sama. Mata yang telah menyerap semua kebahagianku. Bagaimana mungkin saya bisa tersenyum senang sedang tiap malam saya dikejar-kejar dosa.

Di luar gerimis semakin lebat, perlahan tapi niscaya hujan deras menyusulnya. Suara guruh bersahutan, yang terakhir berhasil menarikku ke alam nyata.

Aku terbangun. Masih mirip malam-malam sebelumnya juga, berpeluh-peluh dan tersengal. Aku menarik beberapa napas berat sambil mencoba santai. Setelah berhasil menguasai diri, saya berwudu. Lalu kubentangkan sajadah hijau yang gres beberapa ahad kemudian kubeli. Tak usang setelahnya saya sudah larut dalam shalat.

Di sujud yang terakhir saya berdoa panjang. Kusampaikan segudang penyesalanku dan betapa saya ingin kembali ke pelukan-Nya. Setelah itu, kusebut semua nama yang mempunyai jasa tak terlupa dalam hidupku. Kepada ayah, kepada ibu dan beberapa teman baikku. Terakhir, saya memohon ampunan untuk orang-orang yang pernah kuzalimi haknya, saya teringat Si Kurus.

Aku sadar betul siapa saya dan bagaimana seharusnya orang sepertiku berakhir. Tapi saya ingat Ustaz Amir, sang imam mesjid, pernah berkata bahwa orang sepertiku juga punya kesempatan untuk berakhir baik, husnul khatimah istilahnya waktu itu.

Tapi mengingat apa yang sudah kulakukan, rasanya tidak mungkin saya bisa husnul khatimah.

*****

Kutendang-tendang lelaki kurus itu. Ia megap-megap mengambil napas. Salah ia sendiri mau mencampuri urusanku. Ia meraba-raba tanah, mencari kacamatanya yang jatuh ketika muka polosnya itu kutunjang.

“Cukup bang… cukup…” ia merengek mirip bayi. Aku meradang.

Setengah jam kemudian berlagak jadi pahlawan, kini ia merengek-rengek minta ampun. Dasar anjing!!! Kutendang lagi dadanya. Ia terjengkang. Kopiah putihnya terlepas dari kepalanya, rambutnya tersisir rapi. Aku tertawa mengejek.

Kupalingkan muka ke ujung jalan, di sana bocah berseragam yang tadi kupalak masih berdiri ketakutan. Bocah itu hampir saja menyodorkan potongan lima ribu padaku, kalau saja sampah kampung ini tak menggangguku.

Kuinjak dada Si Kurus, ia tak lagi bersuara. Napasnya sudah satu-satu, saya juga sudah bosan memukulinya. Kurogoh sakunya, ada potongan sepuluh ribuan dua lembar. Aku tertawa lagi, kucium potongan bergambar Cut Nyak Dhien itu dengan puas. Aku melangkah pergi.

Sekilas kulihat Si Kurus itu, dadanya naik turun tak keruan. Matanya persis mata bocah tadi, ketakutan dan tersiksa. Sedikit banyaknya hal itu mengintimidasiku, tapi saya menentukan tidak peduli. Aku harus segera mengisi perut, lagi pula sudah dua hari tak ada yang menyodorkan rokok. Dua puluh ribu cukuplah.

Beberapa hari setelah tragedi itu, secara misterius saya diserang mimpi buruk. Aku merasa ketakutan dan amat gelisah. Berkali-kali dalam semalam saya harus terbangun, berpeluh-peluh dan sangat ketakutan. Tak peduli seberapa hening pun malam, saya tetap merasa dihantui.

Rasanya apa yang tempo waktu kutatap di mata Si Kurus kini berpindah ke mataku dan mata semua orang yang kutatap, saya mirip melihat bola matanya di mana-mana. Segala sesuatu yang bulat berkembang menjadi mata Si Kurus. Aku tak bisa lari.

Kuceritakan apa yang kualami pada Dimas, teman satu kosku. Ia hanya tertawa. Sambil menutupi kepala dengan tudung jaketnya ia berkata, “Ah, kau ini macam banci. Berapa udah usang kau malak orang, hah? Gitu aja kok takot. Aku pernah kuhajar anak Sekolah Menengah Pertama sampek sekarat, mungkin pas saya pergi mati ia tu, tapi saya biasa aja.” Ia bangun berdiri.

Sebelum keluar rumah, ia berbalik, “Kalau kau mau hidup, kau ikut ajalah apa yang sudah kita sepakati, kalo enggak… ya kau mintaklah duet sama ayah kau itu. Jangan sibuk sama istri gres aja dia. Kita butuh uang buat hidup, uang, uang, uang. Hidup atau mati.” Di kalimat terakhir Dimas sengaja mempertegas suaranya.

Dimas ada benarnya, kami memang butuh uang untuk hidup. Setelah bisnis kami gulung tikar dan kuliah amburadul, apa lagi pilihan kami biar tetap bertahan di ibukota selain cara-cara haram. Mencari kerja di sini mirip mencari jarum dalam tumpukan jerami, sia-sia.

Untuk minta uang pada ayah, itu bukan pilihan. Semenjak saya punya ibu tiri, saya tak pernah lagi dihubungi ayah. Aku pun tak berharap dihubunginya. Lagi pula, suaranya sudah muak kudengar.

Bagiku dan Dimas, pulang ke kampung juga sudah tak mungkin. Kami sudah kepalang malu. Kuliah tak tamat, kerja tak ada. Bisa kubayangkan seribu pertanyaan akan dilontarkan masyarakat awam itu. Dalam bayangan mereka yang kerjanya cuma mengangon lembu, hidup di rantau semudah memberi makan lembu setiap sore. Hanya menuntunnya ke padang, kemudian tambatkan tali, selesai.

Aku tak sudi mempermalukan diri di sana, apalagi kudengar Rahmi sudah menikah. Tanpa Rahmi, kampung itu hanya akan menambah kepedihanku. 

Maka mencopetlah kami, mengompas, mencuri, apasaja yang bisa menyambung napas untuk esok hari. Dimas mengajarkan banyak hal wacana operasi ini padaku, saya berguru dengan cepat.

Maka mulailah hari-hari penuh kisah itu. Di terminal, di angkutan umum, di pasar, dan dimana saja keramaian terlihat, ke situ kami berangkat. Awalnya kami hanya mencopet kemudian kabur. Seiring berjalan waktu agresi kami mulai lebih berani. Beberapa kali tertangkap juga mengajarkan kami banyak hal detil yang sering terlewati.

Awalnya hanya membentak dan mengancam, lama-lama tangan ikut bergerak, kemudian kaki juga mulai sering terangkat. Aku tak tahu bagaimana awalnya, tapi rasanya ketika menghajar orang-orang itu rasanya sangat menyenangkan. Semakin menderita si korban makin nikmat sensasinya.

Aku dan Dimas bahkan sudah menyepakati kegiatan piket, tentu saja dengan janji akan menjalankan kegiatan sebaik-baiknya. Jika pagi tiba, saya yang bekerja. Nanti bila matahari sudah memerah jam kerjaku usai. Waktu senja itu jatah Dimas yang beraksi. Besok subuh gres ia pulang.

Hari Jumat setiap minggunya kami libur, mengumpulkan pendapatan dan menghitung pengeluaran. Jadilah kami partner in crime.

Lalu tibalah saya pada sore yang aneh itu, ketika itu saya gres pulang dari pasar. Karena sedang ada penertiban pasar, maka polisi berkeliaran. Aku tak bisa beraksi, terpaksa saya pulang dengan tangan kosong.

Ketika melewati gang sepi tak jauh dari rumah, kulihat seorang bocah berseragam SD berlawanan jalan denganku. Pikiranku berputar cepat, SD mana yang jam pelajarannya hingga sore? Anak ini niscaya tersesat. Aku menoleh ke belakang, takut kalau-kalau ada yang melihat.

Setelah tahu jalanan lenggang, segera kudekati anak itu.

“Anak mana kau dek?” Bentakku.

Ia mendongakkan kepala, wajahnya pucat.

“Abang belum makan dua hari, mintak jajan kau sikit lah.” Kali ini suaraku senagaja kutekan biar tampak menyeramkan.

Dengan cepat bocah itu merogoh sakunya, saya senang ini berjalan mudah. Tapi tanpa kusadari di belakangku sudah ada cowok kurus itu, ia menarik tangan bocah itu dengan cepat.

“Pulang!!!” katanya singkat.

Bocah itu urung menyerahkan potongan lima ribu ditangannya, ia berbalik lari sebelum saya sadar apa yang sedang terjadi. Terlalu lelah membuatku tidak fokus. Saat saya menyadari apa yang terjadi, kulihat Si Kurus sudah lari menyusul bocah tadi.

Dengan penuh emosi kukejar dia, terjadilah apa yang terjadi. Habis-habisan kuhajar dia.

Lalu sekarang, saya mulai dihantui bayang-bayangnya. Kemana saja saya bergerak, seakan matanya memperhatikan. Matanya mirip ada di mana-mana.

Karena sudah tak tahan, seminggu setelah tragedi itu saya kembali ke gang itu, berharap bertemu cowok misterius itu. Aku ingin minta maaf. Tak tahan saya dikejar-kejar bayangan mengerikan itu. Bahkan dua hari kemudian sudah kuputuskan untuk meninggalkan Dimas, tentu saja setelah tabrak verbal yang panjang.

Dari siang saya menunggu cowok itu lewat, tapi hingga menjelang gelap tak sesiapa kujumpa. Aku sudah sangat gelisah, bagaimana bila si kurus sudah meninggal? Kemana saya harus meminta maaf? Sedangkan daerah tinggalnya saya tak tahu, keluarganya tak ada yang kukenal.

Esoknya saya kembali menunggu di gang itu, besoknya lagi, lagi dan lagi. Sampai beberapa hari sesudahnya saya masih menunggu, tapi ia lenyap. Selama menunggu kemunculannya semakin hari saya semakin gelisah, bahkan rokok tak bisa menenangkanku lagi.

Si Kurus itu benar-benar lenyap, meninggalkan tatapan matanya yang tersiksa dan kesakitan menghantuiku. Sejak ketika itu, tak satu malam pun saya tidur nyenyak. Selalu saja saya tersentak dengan badan penuh peluh dan napas tersengal-sengal. Mata itu mengawasiku lekat.

*****

Selesai witir saya terpekur lama, lucu rasanya membayangkan hidupku tak usang lagi. Aku mulai sering bertanya pada diriku, bagaimana mungkin secepat ini kematian mau menjemputku? Bahkan umurku belum genap 20 tahun. Bukankah ini masa menikmati hidup? Ketika semua orang sedang menikmati masa mudanya, saya malah dibayangi kematian.

Aku masih ingat betul ketika Dokter Hanung, mitra ayahku dulu, memberikan gosip musibah itu.

Rasanya ekspresi wajahnya pun saya masih tergambar terang ketika ia memanggilku ke ruang pribadinya. Mengatakan dengan berat hati bahwa paru-paruku sudah tamat riwayat.

“Ndi, ini memang sedikit berat untuk kita terima. Tapi inilah kehendak Allah, di sini kita tidak mempunyai kuasa menolaknya.” Katanya membuka percakapan, saya sudah bisa menebak apa yang kira-kira akan dikatakan selanjutnya.

“Saya benci harus memberikan ini… tapi saya harus mengatakannya. Mm, hasil rontgen menawarkan gosip kurang menggembirakan. Maafkan saya, tapi dengan kondisi paru-paru kau yang sudah teracuni asap rokok sangat susah mendeteksi adanya kanker. Apalagi dengan alat yang tak cukup canggih. Selama ini kami menganggap tanda-tanda batuk dan kelelahan berat yang kau rasakan hanyalah dampak dari merokok.” Ia menarik napas panjang, tampak terang ia gelisah. Aku sudah bersiap untuk kalimat selanjutnya.

“Kamu sudah stadium atas, sel kanker sudah menyebar.” Akhirnya kalimat itu keluar juga. Beliau sengaja tak menyebutkan stadium berapa bahu-membahu saya secara spesifik, saya menghargai itu.

Meskipun sudah kupersiapkan diri, tapi ketika mendengarnya pribadi tetap saja saya terguncang.

Kata-kata Dokter Hanung selanjutnya mengenai proses pengobatan dan penyembuhan… bukan! Bukan penyembuhan, bagi orang dengan kanker yang sudah menyebar tak ada lagi istilah penyembuhan, hal yang akan kujalani selanjutnya dinamakan paliatif. Ini yaitu istilah medis untuk proses pengurangan rasa sakit dan perpanjangan umur pada penderita kanker ganas.

Tak kuperhatikan lagi kata-katanya, saya sudah membayangkan hal lain. Mata itu niscaya punya andil besar dalam penderitaanku ini. Aku menelan karma. Kupikir selama ini batuk berdarah, nyeri di bab dada dan kesulitan bernapas yang kurasakan hanyalah sakit biasa, tak seserius ini.

Aku paham betul seberapa besar biaya yang diperlukan untuk proses paliatif itu. Bahkan untuk hingga ke tahap ini saja saya sudah berutang kemana-mana. Untuk biaya administrasi, kata petugas rumah sakit. Dan lagi, kalau saja tanpa pertolongan Dokter Hanung, bahkan untuk melewati pintu manajemen itu saya tak mampu. Maka dengan kondisi ekonomiku yang mengerikan itu, saya hanya punya satu pilihan; menunggu mati.

Maka disinilah aku, terdiam di penghujung malam, meratapi masa laluku. Kenapa tak jadi lelaki baik saja aku? Kenapa harus jalan haram yang kupilih?

Meskipun ketika ini saya sudah bertaubat, tapi kegelisahanku tak kunjung reda. Bahkan ketika shalat malam begini, saya merasa diawasi. Sungguh menakutkan membayangkan diriku mati dalam kegelisahan, kemudian di hari final zaman nanti dilemparkan ke dalam kerak neraka. Berdaki-daki bersama para pendosa.

Tapi saya harus bagaimana? Aku ‘kan sudah bertaubat? Kenapa saya masih gelisah? Bukankah seharusnya saya sudah layak berada di surga?

Ah, saya masih terbayang mata Si Kurus.

*****





banner
Previous Post
Next Post