Thursday, 5 December 2019

Pintaku Di Atas Jabal Musa



Oleh: A'marel Basyiry
*pemenang juara III el Asyi Award cabang Cerpen pada peringatan HUT 25 el Asyi

Apa ini? dimana saya ini? Angan-angan apa ini? Di bawahku ada gunung tinggi bebatuan yang memukau.

Di atas gunung itu saya melihat rumah kecil yang mengeluarkan bunyi yang sangat merdu. Sedangkan di atas ku ada lautan biru mempersona, di dalamnya banyak ikan-ikan elok yang memanjakan mataku.

Aku sempurna berada di tengah keduanya, melayang dan terbang menikmati keelokan mereka. Sungguh halusinasi ini mengantarkanku khyalan tingat dewa.

“Moy… Moy… Moy…” Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Panggilan itu merusak kesenanganku. Dasar.

Aku terjatuh. Tapi tidak ke bawah, melainkan ke atas. Tanganku mencoba menggapai sesuatu, tapi itu sia-sia.

BUAAMM… badanku terhempas ke dalam maritim yang sempurna di atas kepalaku tadi. Aku tenggelam. Ikan-ikan yang menawan tadi berubah menyeramkan.

Seluruh tubuh mereka diselimuti dengan duri, menyerupai bulu babi. Ikan-ikan itu menyerangku, menyakitiku dengan duri mereka. Aku merasakannnya, kaki ku ditusuk-tusuk kuat. Aku mencoba untuk menghindar, tapi saya tak berdaya.

Aku tak sanggup mengelak, terpojok. Sakitnya bukan main. Aku ingin menyampaikan sesuatu, menyerupai mereka ucapkan dikala keadaan bahaya. Iya… kata itu, ‘All…’, ‘All…’, tapi mulutku membisu, saya tak sanggup melanjutkannya. Aku lupa, saya sudah lupa, apa yang harus saya lakukan.

“Rahmoy… bangun…!!!” PLAKK. Tamparan berpengaruh menyambar pipiku, saya terkejut. Sekarang semuanya menjadi gelap. Aku sadar, saya sedang bermimpi.

Mataku terbuka perlahan, kulihat tangan Bima ingin menamparku lagi, saya tersentak dan eksklusif sadarkan diri. Ku lepaskan badanku dari rangkulan Bima. Aku tak mau tamparan tadi mengenai pipiku lagi, sakit tau.

“Allhamdulillah…” ucap Agung begitu nikmat.

“Gila kau Bim !! Orang pingsan kau tampar.” Ekspresi Agung berubah melihat saya yang kesakitan.

“Yang lebih gila itu kau, membangunkanku menggunakan jarum. Dasar sinting.” Cetusku kepada Agung. Aku melihat ajun Agung memegang jarum. “Pasti ia yang menusuk-nusuk kakiku dikala pingsan tadi.” Dugaku berpengaruh dalam hati.

“Ya… gimana lagi Brow… kau pingsan sudah terlalu lama, jadi dikala jarum ini menusuk ke kakimu, saraf-saraf pada kakimu akan merespon…” Ternyata dugaan benar.

“Ya ya ya… sudahlah.” Aku berdiri dan memotong pembicaraannya. Seperti biasa, ocehannya terlalu panjang untuk di dengar, malas.

Aku melihat anak tangga itu, ternyata tinggi. Wajar saya sanggup bisa pingsan dan berandai-andai yang nggak jelas, gila.

Tadi saya terlalu semangat. Aku sangat bahagia. Aku mendapatkan penghargaan dari Sony Photography Awards 2016. Aku melompat riang. Tak sadar di belakangku ada tangga dan… huaahhh… kakiku kananku terpelekok anak tangga itu, badanku terguling 12 kali, kayaknya.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Aku mendengar adzan dari hp Agung. Seperti biasa, saya pergi menjauh dari bunyi itu. Sungguh bunyi itu tak sedikitpun menyentuh hatiku.

“Rahmoy, kau mau kemana ?”

“Aku mau pulang, tidur !!!.”

“Kita sholat dulu !”

“Iya, ntar di rumah aja.”

“kalau sempat” saya menyambungnya dalam hatiku.

Tapi entah kenapa undangan Agung kali ini sangat berbeda. Badanku seperti ingin peduli, bergerak ikut dengan seruannya.

Betul sekali, dikala saya pingsan tadi, yaa… waktu itu saya sempat ingin mengucapkan nama-Nya, nama yang sudah lama, sangat usang tak pernah keluar dari dua bibirku. ALLAH...

Ahh... apa peduliku. Itu kan cuma imajinasi kurang akil tak berguna. Dasar Agung sok alim. Tampangnya menyerupai mirip orang kampung yang selalu menghalangiku. Pengen kujitak juga kepalanya. Yang penting saya masih percaya sama Allah, jikalau sholat jangan sekarang, saya lagi sibuk.

Kupacu motor Satria F-ku pergi meninggalkan suasana yang menyesakkan itu. lebih baik di rumah, mendengar music metalica kesukaanku. Asyik.

Di dalam kamar badanku terhempas di atas kasur, saya terpelongok memandang langit-langit kamarku, hampa. Aku merasa apa yang kulakukan selama ini tak berarti, apa yang kugapai tak kumengerti. Padahal saya telah mempunyai segalanya.

Musik, saya andal bergagam macam alat music. Wajah, saya sering di kejar-kejar para wanita, mereka terkesima dengan ketampananku. Suara, saya yakni seorang penyanyi café, dan populer di kampusku. Ehhh… apalagi, ngg…. Oo yaa… Uang, nggak banyak sihh, tapi lumayanlah sanggup hidup di Bali, punya motor, dan rumah (ngekos).

yang pada dasarnya apa ?, segala yang kuraih selama ini sangat memuaskan. Tapi itulah, menyerupai ada yang janggal dalam hati ini. Tidak merasa puas. Seakan-akan saya haus, tapi air yang selalu saya minum tidak menghilangkan rasa dahaga dalam tenggorokanku. Aku bosan, saya sangat BOSAAAANNN.

Tiba-tiba terpintas dalam benakku ingin menelpon kampung. Sudah 3 tahun saya tak berjumpa dengan keluargaku. Jauh sehabis saya kabur dari rumah, saya tak pernah lagi berjumpa dengan mereka.

Aku rindu kepada Ayah yang selalu menasehatiku. Aku rindu sama Ibu yang selalu menyuruh memotong rambutku. Aku rindu kepada senyuman imut adikku. Aku rindu sekali kepada keluargaku. Ahaa… mungkin ini yang menjadi kejanggalan dalam hidupku.

Ahh.. bodo amat. Nggak mungkinlah, Aku yakin mereka niscaya sudah lupa denganku. Apalagi ayah, huu… ke maritim ajalah. Lebih baik saya mengurus diriku sendiri.

Kring… kring… bunyi hp-ku berdering. Nomor asing, tak ada namanya.

“Hallo, dengan siapa ? dan mau apa?”

“Hallo Rahmoy, apa kabar ?…”

“Ini saya Shinta. Moy, malam ini kita jalan yuk…”

“sialan, ternyata cewek centil yang biasa menggangguku” gumamku dalam hati.

“Sorry saya lagi capek, kini saya mau istirahat. Ok, bye…”

Tut… tut… tutt… saya eksklusif memutuskan pembicaraan. Dasar cewek sialan. Emangnya saya ini pemuda apaan. Cuihh… ingin ku ludahi aja mukaknya.

Seperti yang kubilang tadi, wajahku tampan, banyak gadis Bali mencoba mendekatiku. Tapi tak satu pun dari mereka yang sanggup mengetuk pintu hatiku. Aku pun tak tahu mengapa ?, seperti ada seseorang yang selalu berdoa untuk menjaga kehormatanku.

Kring… Kring… Kring… hp-ku berbunyi kembali. Masih nomor asing juga. “Ini niscaya cewek yang tadi” Emosiku naik.

“Sudah kubilang saya lagi isrirahat… !!!” bentakku kuat.

“Astaghfirullah…” kejar seorang laki-laki dari ujung telpon genggamku.

“Sorry salah orang, hehe… ini dengan siapa ?”

“hhmm… kami dari Sony Photography hanya ingin memberitahukan, bahwa para pemenang perlombaan kemaren akan pergi ke Mesir. Tolong persiapkan berkas-berkas anda. Sekian , assalamu’alaikum.” Tutttt…

Eeee… Yah… malah ditutup lagi, daasar. Ke Mesir… apa nggak salah, Mesir kan tempatnya… aduh… malas saya membahasnya di sini.

Coba ke Amerika, akan lebih ‘Woow’ sanggup jumpa dengan grup band papan atas kesukaanku. Atau ke Paris, yang lebih indah pemadangannya. Atau ke Thailand ajalah, sebatas pengen ngomong sama mereka ‘suwadi khap khap lung’, kurasa itu lebih asyik dari pada ke Mesir. Betul nggak.

***

“Moy !!!” tok… tok… tokk…

“Iya… ada apa?” Aku membuka pintu, saya melihat muka Bima ketakutan, pucat.

“anu… si bocah alim di pukuli Moy” Bocah alim ?!... otakku eksklusif nyalar, ia niscaya Agung.

“Di mana ?”

“Dekat nongkrongan anak-anak”

Kulaju kencang motorku untuk menyelamatakan anak itu. ia memang banyak tingkah, sok ngajari orang. Tapi saya yakin 100 persen, ia tak salah.

“Itu dia” mataku melotot tempat yang ditunjuk Bima.

“Kurang ajar, nggak seimbang, 6 lawan 1” Geramku.

Kami berusaha secepatnya menyusul, tapi telat. Agung sudah tergeletak tak berdaya, kepalanya berdarah. Aku melihatnya dari kejauhan, kepalanya di pukul keras dengan botol minuman. Preman gadungan itu eksklusif lari dengan kedatangan kami.

“Woowww… ------ (sensor), jangan lari…!!” Aku berusaha mengejar, tapi melihat Agung yang sekarat, saya tak tega.

Bima memegang kepala Agung, berusaha menghentikan darah yang keluar dari kepalanya. Darahnya tak henti mengalir. Aku panik, apa yang harus saya lakukan. Jangan hingga temanku ini mati.

Aku dan Bima saling berpandangan. Tubuh Agung lemas, bibirnya menjadi putih, sangat pucat. Desahnya berbunyi tiada henti “Allah…, Allah…, Allah…”

“Anak ini memang gila” Keluhku,

Tiba-tiba kendaraan beroda empat sedan Toyota meleset di hadapan kami.

“Ayo… cepat masuk.” Kami tak mengenalnya. Aku tak peduli. Yang penting kini Agung selamat. Mobil itu melaju kencang menuju rumah sakit. Agung eksklusif di larikan ke kamar UGD.

“Aku kemaren membentak mereka, alasannya dikala Adzan Maghrib berkumandang, mereka malah main gitar sambil mabuk-mabukan. Aku tak terima, terus saya patahkan gitar mereka.”

“Dasar bocah edan, hampir saja nyawamu melayang.” Akhirnya, sehabis 2 hari di rawat, saya sanggup bercanda lagi dengan Agung. Orang baik yang pernah saya kenal. Ia lah orang yang pertama menolongku, dikala saya pergi kabur ke Bali dengan tangan kosong.

Tapi hanya sebentar, omelannya kian memanjang. Ceramahnya menciptakan saya bosan, malas. Ohh… Akhirnya, ia berhenti bicara, ketiduran.

Malam ini hati seakan terpanggil, untuk membentangkan sajadah. Nasehat-nasehat dari Agung selama ini perlahan masuk dalam benakku. Tau nggak ?!, bapak yang menolong Agung kemaren, sangat absurd brow…

ia begitu cepat menghilang sehabis hingga di rumah sakit. Sepanjang perjalanan ia tak berbicara selain berbisik sendiri, kurasa ia sedang berdzikir. Tak sedikit pun ia melirik kami. Yang lebih seramnya lagi, ia menggunakan baju dan peci putih.

Hiihh… bulu kudukku meriang mengingat bapak itu, mistis. Kejadian yang menimpa Agung menciptakan hatiku tersedu. Hanya dengan mengucapkan kata ‘ALLAH’, insan sanggup menjadi keramat. Mungkin Allah sanggup mengobati kehampaan dan kejanggalan yang saya alami.

Aku mencoba mengingat sedikit gerakan wudhu’. Muka atau tangan dulu ya…? Sialan, saya sudah lupa.

“Aisshh… di mana saya meletakkannya.” Aku membongkar semua rak bukuku, mencari buku panduan sholat. Hari ini saya harus sanggup berwudhu’, nggak ada certia, harus bisa. Titik.

“Iya Pak…” saya mengangguk-ngangguk di hadapan Pak Kasman, Ustads tempat komplekku. Mulai insiden yang menimpa Agung, hatiku bagaikan tersentuh embun di siang bolong, sejukkk. Aku meminta nasehat dari Pak Kasman di Mushalla.

“Jadi, kenapa kau kabur dari rumahmu…?”

“Aku kabur alasannya ayah tak mendukung kemauanku.”

“Terus kenapa kau ke Bali ?”

“Di Jakarta terlalu banyak mesjid, saya sering mendengar bunyi adzan Pak, berisik. Soalnya untuk apa mendengar adzan, sedangkan kita nggak sholat. Aku mencari tempat yang sedikit mesjidnya. Yaa… dan itu cuma ada di Bali.”

Pak Kasman menelan ludah, seperti hingga ke tali sentra jantungya, seram.

“Apakah Allah masih sanggup menerimaku Pak ?”

“Kenapa nggak, Allah itu benci sama dosa, bukan pendosa. Rahmat-Nya selalu terbuka untuk hambanya”

“Tapi badanku tatoan Pak, gimana saya akan sholat !!”

“Anak metal yang sholat, itu luar biasa, orang tatoan beribadah tulus pada Allah, itu gres mantap”

Pak Kasman mengajukan jempolnya sempurna di hadapanku. Aku tersenyum, seakan melangkah lebih maju kejalan Allah.

Di setiap doaku, saya meminta ampun kepada Allah. Hati ini seakan diciptakan hanya untuk menyebut nama-Nya. Aku sedang mabuk, asyik berdzikir di atas sajadahku.

***


“Allhamdulillah… hingga juga.” Ehh… saya mulai ketularan sifat Agung. Negara Mesir nggak ada uniknya bagiku. Baru hingga di Mesir saya sudah tak tertarik, panas. Tak menyerupai digambarkan novel-novel, omong kosong.

“ngg… Mas, gadis itu siapa namanya…?”

“Ooo itu, ia istri aku”

Huk hk… hukk… saya tersedak mendengar ungkapan dari laki-laki berkepala botak itu. Aku tak yakin.

“Bukan yang itu Mas, tu… yang make jilbab biru sedang baca Al-Qur’an”

“Ohhh… itu si Afifah, dari Aceh.”

Wihh… Aceh punya, cantik, mana hidungnya mancung lagi.

Huhh… huuuhhh, ampun… ampun.

Malam ini kami para pemenang Photography akan mendaki gunung Sinai. Katanya di situ tempat Nabi Musa berbicara dengan Allah, tempat mustajab untuk berdoa. Kami berangkat di malam hari, hingga sana dikala adzan shubuh. Begitu.

Aku harus ke sana. Tapi seperempat perjalanan saya kecapean, saya ketinggalan. Untung ada orang ada orang Mesir, sehingga saya tak tersesat.

Subhanallah, bunyi yang sangat merdu. Aku begitu khusyuk sholat shubuh di atas gunung Sinai. Ayat-ayat yang di lantunkan imam itu menggugahkan hatiku. Aku hingga ke puncak sempurna dikala adzan shubuh berkumandang.

Setelah sholatku, saya berdoa, meneteskan air mata. Hatiku terbawa suasana.

Ya Allah… saya mengingat ayah. Aku rindu sama ibu dan Nisa, adikku.

“Tolong pertemukan saya dengan mereka Ya Allah…” Pintaku tulus pada-Nya.

Aku berniat dalam hati, sehabis dari Mesir saya akan pulang ke Medan, jumpa dengan keluargaku. Berbakti pada orang tuaku.

Masya Allah, udara yang segar, pemandangan yang memukau. Sama menyerupai khayalanku dikala pingsan 2 ahad lalu, menakjubkan. Pagi hari di atas gunung tempat nabi Musa berbicara pada Allah. “Allahu Akbar” takbirku menggema dalam hatiku.

Sekarang saya gres sadar bahwa seseorang hanya akan merasa damai apabila taat kepada Allah dan Rasulnya. Dulu, saya mencari popularitas, ingin terkenal. Tapi kesannya apa ?, kosong, tak ada isinya.

Sepulang dari gunung Sinai, kami pergi ke kota Dahab. Di sana ada laut, keren dan cantik. Kawan-kawanku mengajak pergi untuk main, snorkeling di atas maritim Blue Hole. Kedalamannya hingga 110 meter. Dan katanya tempat menyelam terbaik ke-2 di dunia, ahh… tapi saya tak tertarik.

Aku bersikeras tak mau ikut. Aku takut kakiku di tusuk oleh bulu babi, cukup dalam mimpi saja saya menderita. Tak mau ku bawa ke alam nyata.

Begitu banyak tempat yang kami jelajahi, luar biasa. Aku merasa puas. Sebelum pulang ke tanah air, kami singgah ke masjid Al-Azhar.

Allaaaahu Akbarr… air mataku mengalir sangat deras. Mungkinkah saya dalam mimpi, kucubit pipiku begitu kuat, sakit. Ya Allah… ini kenyataan. Allah begitu cepat mengabulkan permintaanku.

Di masjid Al-Azhar. Sumpah, bulan dan bintang pun sanggup menyaksikannya. Aku berjumpa dengan keluargaku. Semuanya, Ayah, Ibu, bahkan Nisa. Aku memeluk mereka, terlebih kepada Ayah, saya rangkul berpengaruh badannya. Bayangkan, penyesalan begitu dalam selama 3 tahun, Allah beri kesempatan pada hari ini, di masjid agung ini, untuk berjumpa dengan mereka. Subhanallah.

Ayah dan Ibu pergi umrah plus sekalian melihat Nisa yang ternyata kuliah di Mesir, Universitas Al-Azhar. Kami berbincang begitu banyak. Ayah sudah melupakan insiden diantara kami. Alhamdulillah. Aku sangat senang ya Allah.

Obrolan kami terhenti. Aku tak tahu apa tujuannya. Ia menghampiri kami, saya tertegun. Itu Afifah, ia menyalami Ayah, Ibu juga Nisa. Terus bagaimana denganku ??, sedih… saya di kacangi. Ternyata Afifah yakni tetangga kami di Medan. Ia orang Melayu bukan orang Aceh. Bapak berkepala botak itu asal ngomong.

Senyumku melebar, seakan peluangku begitu besar, melihat perbincangan Afifah, Ibu dan Nisa begitu akrab. Ya Allah… apakah ini bertanda juga bagiku ?. ehmm.

Terima kasih ya Allah… engkau masih terima taubatku. Engkau masih mendengar doaku. Engkau terus menegurku. Tiada lagi yang saya pinta ya Allah… selain menjaga keluarga ini tetap bersamaku.



banner
Previous Post
Next Post