Thursday 26 December 2019

Rahasia Keindahan Doa Istiftah (2)

Ketika kami shalat bersama dengan Rasulullah Rahasia Keindahan Doa Istiftah (2)


Lafadz Istiftah Kedua:

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata“Ketika kami shalat bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang dari suatu kaum mengucapkan dzikir Istiftah.”
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan kebanggaan yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi maupun sore
Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu bersabda,
مَنِ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا؟
Siapa yang mengucapkan kalimat begini dan begitu?
Seseorang dari suatu kaum tersebut berkata,
أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ
Saya wahai Rasulullah
Beliau bersabda :
عَجِبْتُ لَهَا، فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ
Aku kagum terhadap kalimat tersebut, dibukakan akhirnya pintu-pintu langit”.
Ibnu Umar pun berkata,
فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ذَلِكَ
Aku tidak pernah meninggalkan doa ini semenjak ia bersabda begitu” (HR. Muslim).
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullahu menjelaskan lafadz Istiftah ini:
وهذا كله ذكر لله و ثناء عليه سبحانه بهذه الكلمات العظيمة  (اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا) فكله تكبير و تحميد و تسبيح لله، فهو مخلص في الثناء على الله عز و جل
“Dan dzikir Istiftah ini semuanya yakni aktifitas mengingat Allah dan memuji-Nya -Subhanahu- dengan kalimat yang agung
(اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا)
Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan kebanggaan yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi maupun sore. Maka seluruh kalimat ini berisikan takbir (mengagungkan), tahmid (memuji) dan tasbih (mensucikan) Allah,  maka dzikir Istiftah ini hakikatnya murni mengandung kebanggaan untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Faidah dari lafadz Istiftah ini:
Berikut beberapa faedah dzikir Istiftah ini, yang penulis intisarikan dari http://www.saaid.net/Doat/ageel/9.htm dengan sedikit tambahan.
1. Di dalam dzikir Istiftah ini terdapat korelasi kata-kata yang indah
  • Kata Allaahu Akbar sangat cocok digandengkan dengan Kabiira, faidahnya semakin menyampaikan kemahabesaran Allah.
  • Kata Alhamdulillaah sangat sesuai kalau diringi dengan Katsiira, lantaran demikian banyaknya alasannya yakni keterpujian Allah, tidak ada satu nikmatpun yang diterima oleh hamba kecuali dari-Nya.
  • Kata Subhanallaah pantas digabungkan dengan bukrataw wa ashiila, lantaran setiap orang melihat kekurangannya dalam rentang waktu pagi hingga sore, sedangkan Allah disucikan dari kekurangan-kekurangan tersebut.
2. Penggabungan antara takbir (mengagungkan), tahmid (memuji) dan tasbih (mensucikan) Allah, menyebabkan dibukakan pintu-pintu langit.
3. Keutamaan dua waktu, yaitu pagi dan sore, oleh lantaran itu pantas kalau disyari’atkan di dalam waktu tersebut, dzikir pagi dan sore.
4. Lafadz pertama dari Istiftah ini yakni takbir, ini sangat sesuai dengan perilaku orang yang menunaikan shalat dengan baik, yaitu mengagungkan Allah dan meninggalkan seluruh perkara selain Allah yang tidak terkait dengan ibadah shalat, lantaran ia yakin bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah. Dengan demikian orang yang menunaikan shalat dengan baik akan bersesuaian antara ucapan dengan sikap, yaitu sama-sama mengagungkan Allah.
Apalagi kalau dikaitkan dengan ucapan sebelum Istiftah dalam shalat, yaitu takbiratul ihram, maka akan tergabung dua ucapan takbir. Takbiratul ihram dan takbir yang terdapat di dalam lafadz Istiftah ini, sehingga semakin menguat perilaku mengagungkan Allah di dalam shalat.

Do’a Istiftah yang paling sahih

Tahukah Anda hadits yang paling sahih perihal problem do’a Istiftah dalam shalat? Simaklah keterangan ulama berikut ini.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari mengatakan,
وحديث أبي هريرة أصح ما ورد في ذلك
Dan Hadits Abu Hurairah yakni Hadits yang paling shahih dalam hal itu (Hadits do’a Istiftah).”
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi mengatakan,
أصح ما ورد في الاستفتاح حديث أبي هريرة
“Hadits yang paling shahih dalam problem do’a Istiftah yakni Hadits Abu Hurairah.”
Ulama menjelaskan bahwa hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjadi hadits paling sahih dalam problem do’a Istiftah lantaran hadits itu diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits tersebut yakni hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sejenak (iskatah) antara takbir dengan membaca (Al-Faatihah dalam shalat), saya (Abu Zur’ah) menyangkanya (Abu Hurairah) berkata hunayyah (diam sejenak). Lalu saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ayah ibuku menjadi penebusmu. Anda termangu sejenak antara takbir dan membaca (Al-Faatihah). Apakah yang Anda baca?’ Beliau bersabda, ‘Aku membaca
اللَّهُمَّ بَاعدْ بيني وبين خطاياي، كما باعدت بين المشرق والمغرب، اللَّهُمَّ نقِّني مِن خطاياي كما يُنقَّى الثوبُ الأبيضُ مِن الدَّنسِ، اللَّهُمَّ اغسلني مِن خَطَايَاي بالماءِ والثَّلجِ والبَرَدِ
Ya Allah, jauhkanlah antara saya dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan butiran es” (Muttafaqun ‘alaih, dan lafadz ini dari  Al-Bukhari).
Beberapa catatan penting perihal makna kosakata dalam Hadits di atas
1.  Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari mengatakan,
قوله (بأبي وأمي) الباء متعلقة بمحذوف اسم أو فعل والتقدير أنت مفدي أو أفديك، واستدل به على جواز قول ذلك ، وزعم بعضهم أنه من خصائصه -صلى الله عليه وسلم-
“Ucapan Abu Hurairah Bi abi wa ummi (dengan ayah dan ibuku) abjad al-baa` terkait dengan sesuatu yang tidak disebutkan, berupa isim (selain kata kerja) atau fi’il (kata kerja), sedangkan kata yang tidak disebutkan tersebut yakni Anda tertebus (dengan ayah dan ibuku) atau saya tebus Anda (dengan ayah dan ibuku). Ini merupakan dalil yang menyampaikan bolehnya mengucapkan kalimat itu, namun sebagian orang menyangka bahwa kalimat ini yakni khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
2. Al-Barad adalah butiran es. Dalam surat An-Nuur: 43, Allah berfirman,
وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ
Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit sebanyak  gunung-gunung.
وقال ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أخبر الله -عز وجل- أن في السماء جبالا من برد
“Ibnu Abbas radhiyallahu ta’ala ‘anhuma berkataAllah ‘Azza wa Jalla mengkabarkan bahwa di langit ada  butiran-butiran es sebanyak  gunung-gunung” (Tafsir Al-Baghawi).
Al-Khattabi rahimahullah mengatakan,
ذكر الثلج والبرد تأكيد، أو لأنهما ماءان لم تمسهما الأيدي ولم يمتهنهما الاستعمال
“Penyebutan salju dan butiran es merupakan penegasan atau lantaran keduanya air yang tidak pernah disentuh oleh tangan-tangan (manusia) dan keduanya tidak pernah menjadi benda yang hina lantaran digunakan” (Tafsir Al-Baghawi).
Secara bahasa Al-Barad adalah
البَرَدُ الماءُ الجَامِدُ ينزلُ من السَّحاب قِطَعًا صِغَارًا
Al-Barad adalah Air beku yang turun dari awan, bentuknya butiran-butiran kecil.”
3. Makna “diam sejenak
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari menyebutkan klarifikasi perihal hal itu,
وسياق الحديث يدل على أنه أراد السكوت عن الجهر لا عن مطلق القول، أو السكوت عن القراءة لا عن الذكر
“Konteks hadits ini menyampaikan bahwa yang ia (Abu Hurairah) maksud yakni membisu dari mengeraskan suara, bukan membisu tidak mengucapkan ucapan apapun juga atau maksudnya membisu dari membaca Al-Qur’an, bukan membisu dari mengucapkan dzikir.”
4. Perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ , بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي
“Lalu aku  berkata, “Wahai Rasulullah, ayah ibuku menjadi penebusmu.” Kalimat ini menyampaikan kecintaan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghormatan terhadap ia dan beradab kepada ia dalam berkomunikasi.
Hal ini juga menyampaikan betapa tinggi kedudukan kedua orang bau tanah di jiwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lantaran ia menebus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesuatu yang termasuk hal paling mahal dalam hidupnya, yaitu kedua orang tua.
5. Pertanyaan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Anda termangu sejenak antara takbir dan membaca (Al-Faatihah). Apakah yang Anda baca?” Ini menyampaikan semangat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal fatwa agama Islam yang belum diketahuinya.
Sikap ini menjadi pola bagi kita semua semoga tidak aib dalam bertanya perihal urusan agama Islam yang tidak kita ketahui atau kurang terang bagi kita. Tanya jawab yakni termasuk metode termudah dalam menuntut ilmu syar’i.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post