Google Image |
Oleh: Husni Nazir, Lc.
(Mahasiswa Pascasarjana Kuliah Syariah, Universitas Al-Azhar)
Kita sering mendengar orang yang mengatakan, “Kesucian seorang perempuan atau kehormatan terletak dalam diri perempuan itu sendiri, bukan pada pakaian dan busana yang dikenakan. Berapa banyak perempuan yang berhijab tetapi malah karam dalam dunia maksiat. Dan sebaliknya, justru perempuan yang tidak menutup aurat dan hijab yang diajarkan Islam justru lebih bisa menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.”
Dalam bentuk sederhana pernyataan ini terkadang bernada, “Bukan kerudungnya tapi Hatinya.” Mereka yang tidak suka dengan Islam, ataupun terbodohi dengan racun keberhasilan barat, kadang tidak puas dengan mempraktekkan apa yang beliau yakini. Akan tetapi ia terus mencoba untuk menarik orang lain.
Syubhat menyerupai ini kerap ditujukan kepada muslimah yang telah konsisten menentukan hijab sebagai jalan hidupnya. Gunanya untuk menggoyang keyakinan dan menimbulkan hijab yakni sesuatu yang tidak masuk logika dan aneh. Dari sana juga sanggup melahirkan keraguan terhadap hukum-hukum Islam. Meski syubaht ini sering kita dengar dari lisan-lisan saudara seiman, akan tetapi ia yakni materi impor dari barat yang sengaja dikirim untuk melemahkan Islam dari dalam.
Pernyataan diatas benar adanya. Pakaian memang tak bisa memperlihatkan kehormatan dan menimbulkan si perempuan untuk istiqamah dalam berperilaku baik. Maksudnya seseorang tidak akan serta merta menjadi baik dengan hanya berhijab. Terkadang seseorang justru menimbulkan pakaian sebagai alat untuk menutupi keburukannya.
Akan tetapi, siapa yang menyampaikan bahwa Allah Swt. mensyariatkan hijab untuk membuat kesucian dan mejadikan seorang perempuan menjadi baik kolam malaikat? Siapa juga yang terfikir bahwa agama mewajibkan hijab bagi perempuan untuk menyampaikan bahwa semua perempuan yang tidak berhijab yakni perempuan yang tidak baik-baik?
Allah Swt. Hanya sanya mensyariatkan hijab pada perempuan untuk menjaga kebersihan jiwa kaum laki-laki, supaya tidak terkotori dengan syahwat hayawaniah. Meskipun pada banyak kesempatan masing-masing dari perempuan dan pria memperoleh keuntungannya tersendiri. Akan tetapi manfaat yang diperlukan pada kaum pria lebih besar dan lebih berbahaya.
Jika benar hijab bukan untuk menjaga mata para pria tetapi ia yakni untuk menimbulkan seorang perempuan menjadi suci dan baik dalam kelakuannya, maka bagi perempuan yang bisa menjaga kesuciannya dan istiqamah dalam perbuatan dengan suka hati sanggup tampil tanpa busana didepan khalayak laki-laki. Tepi orang gila mana yang beropini demikian.
Musibah yang menimpa pria ketika pandangan mereka jatuh pada fitnah perempuan yakni problem terbesar yang sedang dihadapai oleh cowok hari ini. Bagaimana tidak, cowok yang intinya diharapakan menjadi agent of change sebuah negara menjadi tak karuan, punahnya kreatifitas, malas untuk bekerja dan berfikir. Bukankah ini problem besar?
Untuk menuntaskan problem besar ini Islam punya tanggapan dan cara yang sangat sempurna. Yaitu dengan memerintahkan kaum hawa untuk menjaga amanahnya. Musibah yang dialami kaum pria ini tidak hanya berdampak pada diri mereka sendiri, akan tetapi juga berbahaya bagi kaum perempuan itu sendiri.
Jadi tidak menjadi malu katika seorang muslimah berhijab malah masih belum bisa istiqamah dan benar dalam perbuatannya. Paling tidak ia telah bisa menjaga amanah, dan tidak menjadikannya fitnah bagi saudara seinsaniahnya kaum adam. Barangkali hijab akan menjadi titik hidayah yang akan menuntunnya kepada jalan yang benar dalam berperilaku.
Lagi-lagi goresan pena ini hanya bisa dipahami oleh para perempuan yang telah mantab hakikat kepercayaan dalam hatinya. Sedangkan lainnya, belum saatnya untuk berbicara perihal hijab yang merupakan permasalahan juz-iyyah. Ada baiknya terlebih dahulu berbicara perihal problem yang lebih asasi dari hijab itu sendiri, yaitu iman.
*Disarikan dari buku “Likulli Fatatin Tukminna Billah”, karangan Syeikh Ramadhan Al-Buthi. Baca juga goresan pena sebelumnya, “Untukkmu Duhai perempuan yang beriman.”