Sunday 23 February 2020

Allamah Debu Ghuddah: Mahkota Penuntut Ilmu

Oleh: Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary*


Dalam goresan-goresan sederhana ini, penulis ingin mengajak para pembaca yang budiman, sejenak mengenang salah seorang ulama besar, penuntut ilmu sejati, peneliti berkelas dunia. Dialah Syekh Allamah Abdul Fattah Abu Ghuddah. Mudah-mudahan goresan pena sederhana  ini menjadi motivasi bagi kita para penuntut ilmu di negeri para anbiya ini. Amin.

Salah seorang anak Syekh Abu Ghuddah, Muhammad Zahid namanya, menceritakan acara harian Syekh Abu Ghuddah,  "Harimu dimulai dengan salat Fajar dan sunnahnya, membaca Al-Quran, sejenak merenung, lalu mulai meneliti buku-buku, hingga mendekati jam delapan atau sembilan pagi. Disiapkan untukmu sarapan pagi, engkau sarapan ala kadar saja, lalu shalat dhuha disertai doa yang panjang untuk kebaikan dunia dan akhiratmu. Setelah shalat, engkau kembali ke meja membaca, meneliti ,mengoreksi tulisan-tulisanmu hingga azan dhuhur berkumandang. Ketika azan berkumandang, Engkau tinggalkan segala aktivitasmu untuk memenuhi panggilan-Nya. Selesai shalat, engkau beristirahat sejenak, menyegarkan kembali kepenatan yang menerpamu. Sebelum kembali menelaah buku-buku di meja baca(baca: Qimatuzzaman hal. 6)

Sengaja penulis awali dengan kesaksian keluarga ia , alasannya ialah mereka-lah yang banyak bergelut dan menemani hari-hari beliau.

Allamah Mustafa az Zarqa (penulis buku monumental Al Madkhal ila fiqhil 'am) misalnya, salah seorang guru beliau, memberi komentar, "Sesungguhnya Aku telah mengenal al akh al jalil allamah (ulama besar) syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah sekitar enam puluh tahun, bahkan lebih. Semenjak ia sampaumur di masa tiga puluhan". Ya! enam puluh tahun bukan masa yang singkat untuk mengenal kepribadian seseorang.  Abu ghuddah dikala wafat berusia delapan puluh satu tahun, sedangkan guru ia berusia hampir seratus tahun (baca: tahun lahir dan wafat).

Komentar selesai syekh Az Zarqa untuk murid ia syekh Abu Guddah, "Aku bersaksi sejak mengenalnya dalam waktu yang lama, belum pernah saya melihat celaan dalam ketaqwaan, wara', kesopanan, menjaga persahabatan, amanah . Bahkan, saya mengenalnya sebagai seorang  ulama yang ikhlas, tawadhu', lebih mengedepankan keridhaan Allah dari kasus lainnya.(baca: Immdadul Fattah hal. 17-20)

Diantara pewaris ilmu Syekh Abu Ghuddah dan mempunyai banyak kesamaan dengan beliau, murid ia Syekh Muhammad Awwamah (ulama pentahqiq berkelas dunia, pakar hadis dan fiqh, penulis handal. Diantara bukunya: Atsaru al hadist as syarif fi ikhtilafil aimmatil fuqaha, Adabul ikhtilaf  fi masaili ilmi wad din. Beliau juga mentahqiq beberapa buku antara lain: Taqribu at Tahdzib, AlQaulu al Badi', dan lain-lain. Menurut penulis,  buku-buku Syekh Awwamah penting untuk dibaca).

Syekh Awwamah telah mengenal dan menjadi murid Abu Ghuddah sekitar tiga puluh sembilan tahun, Sehingga bila pembaca sempat membuka buku Atsaru al hadist syarif di halaman depan, kita akan menemukan kalimat "ila ruhil ustaz alhujjah, almuhaddist, alushuli, alfaqih, allughawi, annadzhar Syekh Abdul Fattah Abu ghuddah. Buku yang dihadiahkan untuk gurunya. Mengenai kebiasan para ulama saling menghadiahkan buku, penulis  tidak ingin membahasnya sekarang, mungkin  dalam waktu yang lain.

Syekh Awwamah berkomentar untuk guru ia Syekh Abu Ghuddah, "Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa Aku belum pernah mendengar dari Sidi Syekh(Abu Ghuddah) ucapan dalam waktu yang usang dan saya tidak pernah memandang sebuah perbuatan beliau, hingga saya berkata, "Alangkah baik jikalau ia tidak menyampaikan dan melakukannya, Aku berlindung kepada Allah dari mendakwakan ia  terpelihara dari dosa, hanya saja hal tersebut  merupakan petunjuk Allah swt., dan bimbingan-Nya  bagi mereka yang tulus dalam ucapan dan perbuatan".

Penulis berharap komentar dari anak, guru dan murid ia telah mencukupi pengambaran seorang Abu Ghuddah. Banyak kebanggaan lain dari para ulama yang pernah berjumpa dan mengenal sosok Abu Ghuddah. (baca: Sahafahat min shabril ulama hal. 29-32)

Abu Ghuddah dan Ilmu

Bila kita membaca Safahat min shabril ulama dan Qimatuzzman 'inda ulama, akan terlihat kedalaman ilmu penulisnya. Alangkah letih dan penat ia menulis buku tersebut. Menghabiskan waktu dua puluh tahun dalam menyusun buku-buku tersebut. Bahkan Prof. DR. Rajab Al Bayyumi (Guru Besar Al Azhar) berkomentar, "Seandainya Abu ghuddah tidak menulis buku lain selain Safahat, pasti telah cukup baginya". Subhanallah!

Abu ghuddah telah mengukir hidupnya di dunia yang fana  ini dengan ilmu dan amal. Hal semacam ini senada dengan ucapan Imam al Ghazali, "Ilmu tidak akan kau miliki sebagiannya hingga kau menawarkan segalanya" .Benar! Setelah waktu, harta dan tenaga, letih hingga seseorang bisa hingga ke dingklik keilmuan.

Dalam buku Imdadul Fattah misalnya, tercantum seratus delapan puluh tiga ulama besar dari banyak sekali penjuru dunia yang pernah menjadi guru Abu Ghuddah, mereka berdomisili di banyak sekali belahan dunia, antara lain :Mekkah, Madinah, Halab (Syiria), Istanbul, Baghdad, Hadhra-maut, Humah, Hims, Tarabilis Syam, Palestina, Maroko, Yaman, India, dan Pakistan.

Perlu diketahui pula, ia mulai mencar ilmu dan fokus terhadap ilmu sejak usia sembilan belas tahun, sebagaimana dituturkan salah seorang putra beliau, Syekh Salman Abu Ghuddah.

Abu Ghuddah dan Tahqiq

Dunia pentahqiqan merupakan lapangan bagi mereka yang memiilki kesabaran, ketekunan dan fokus. Sehingga sangat sedikit para pentahqiq handal yang kita temui. Berbeda dengan mereka yang mendakwakan diri mentahqiq, padahal cuma mengomentari atau mentakhrij hadist, itupun mengutip pendapat orang-orang tertentu. Salah satu buku yang penulis anggap dizalimi, buku Hasyiah al Bajuri, dicetak salah satu percetakan di Kairo. Di sampul depan buku, tertera nama pentahqiq. Namun, di dalamnya tidak terdapat tahqiq sama sekali, yang ada hanya komentar belaka.

Bila pembaca membandingkan ketelitian Abu ghuddah dan para ulama yang mumpuni dalam ilmu, bandingkan pula dengan pentahqiq pasaran, pasti para pembaca akan melihat perbedaan yang sangat jauh. Diantara para pentahqiq handal ialah, : Syekh Ahmad Syakir, Allamah Kausari, Syekh Habiburrahman Al A'dhami, Syekh Muhyiiddin Abdul Hamid, Syekh Mahmud Syakir, Syekh Awwamah, Syekh Abdul Salam Harun, Syekh Ahmad Zaki Basya, Syekh Abdul Wahab Abdul Latif, dan lain-lain.

Abu Ghuddah dan Dunia Tulis-menulis

Selain pentahqiq, Abu Ghuddah juga merupakan salah seorang ulama yang produktif dalam menulis. Karya-karya ia sangat berkualitas dan berbobot, serta sanggup dijadikan tumpuan dalam keilmuan. (baca: Immdadul Fattah hal. 178-215). Beliau telah menulis dan mentahqiq sebanyak 73 judul buku. Beberapa buku ia sempat penulis baca dan sangat bermutu. Buku-buku ia sebagian besar dicetak di Beirut, di Maktabah Matbu'ah Islamiyah. Ada pula beberapa buku ia yang dicetak di Maktabah Darussalam Kairo, dan harganya sangat bersahabat.

Buku ia juga telah diterjemahkan ke banyak sekali bahasa. Antara lain: Turki, Cina, Inggris, Indonesia". Penulis juga sempat membaca terjemahan buku ia dalam bahasa Indonesia, tapi disayangkan nama yang tertulis di sampul depan  "Syekh Abdul Fattah" saja. Padahal nama Abdul Fattah banyak sekali, ada Abdul Fattah Qadhi, Abdul Fattah Rawah, Abdul Fattah Syekh, Abdul Fattah Hilwa. Wallahu a'lam tujuan pentadlisan nama tersebut.

Demikianlah goresan pena singkat dan sederhana ini, mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran berharga dari perjalan hidup seorang Abu Ghuddah, khususnya ketekunan ia dalam menuntut ilmu. Wallahua'lam bissawab.



*Penulis ialah alumni Universitas Al-Azhar, Fakultas Ushuluddin;
tulisan ini telah dimuat di buletin el Asyi KMA Mesir edisi 105
banner
Previous Post
Next Post