Friday, 14 February 2020

Budaya ‘Senewen’



Oleh: Zahrul Bawady M. Daud

Dulu, sinetron Korea mungkin hanya dinikmati oleh segelintir orang. Tapi seiring perjalanan waktu, penyebaran penikmat film Korea semakin meluas. Tidak mengherankan kalau beberapa pakar perfilman memprediksikan Bollywood dan Hollywood akan tersaingi beberapa tahun ke depan, dalam waktu yang singkat.

Secara objek pangsa pasar, sinema Korea tak hanya menjadi tontonan cowok pemudi bermata sipit. Tak jarang lelaki berjanggut dan berwajah bernafsu turut menyimak episode demi episode berbau korea. Di kalangan wanita, tak hanya ABG labil, akhwat-akhwat halaqah pun fasih kalau disuruh bercerita kelanjutan sinetron Full House.

Fenomena “merakyatnya” film Korea di satu sisi menciptakan kita miris. Di tengah maraknya tanyangan low-edukasi, malah kembali diperparah dengan hadirnya tontonan minim nilai budaya lokal. Maka tepatlah kalau mengguritanya perfilman Korea di Indonesia digambarkan sebagai gerakan invasi, atau dalam keadaan yang lebih parah bisa bermakna agresi.

Masuk ke Aceh, sinetron Korea tidak hanya dipandang sebagai film anti budaya, tapi juga nihil nilai-nilai relegius. Menjamurnya dewasa pencinta Korea bisa jadi sedikit melenakan mereka dari kiprah sebagai anak bangsa, yang akan diberikan tanggung jawab pelaksanaan Syariat Islam ke depan.

Jika ingin merunut, maka demam Korea tidak hanya salah masyarakat. Namun lihatlah bagaimana bangsa kita dididik. Kita dikenalkan sebagai bangsa yang mempunyai aneka ragam budaya dalam banyak sekali catatan sejarah dan buku panduan. Namun pada praktiknya pemerintah hanya menganggap Bali sebagai objek wisata, batik sebagai baju lokal dan wayang sebagai hiburan.

Maka tidak salah kalau kita mengalami krisis identitas, alasannya yaitu memang kebanyakan identitas kita secara sistematis tidak mempunyai pengukuhan yang memada. Padahal kita punya aset yang jago untuk melahirkan sebuah budaya popular dengan nilai-nilai global yang dituntut.

Agresi atau Invasi

Kita tentu masih ingat betapa maraknya  media Indonesia ketika menyambut kedatangan Super Junior (SuJu), sebuah grup musik asal Korea. Saya kira ini hanya blow up media yang berafiliasi dengan sponsor. Nyatanya memang ekspresi dominan masyarakat membuncah. Mereka rela antri dari pagi hingga malam kemudian hingga pagi lagi. Miris.

Kita mesti waspada. Melihat geliat dunia hiburan Korea sedikit ke belakang, sebetulnya yang menimpa kita yaitu efek infiltrasi (penyusupan) budaya Barat (baca: Amerika). Ketika Amerika menjajah budaya Korea, kemudian dengan banyak sekali pergulatan mereka berdiri untuk mencari mangsa baru. Indonesia dengan berbesar hati menerimanya.

Kejadian tersebut mengingatkan kita dengan pendudukan Jepang di Indonesia. Lalu Amerika menjatukan bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Kesamaannya yaitu Indonesia selalu menjadi imbas. Baik itu invasi fisik ataupun mental. Jika dulu diuntungkan, maka sekarang (maaf) merugikan.

Jadi sebetulnya (menurut musisi) kita sedang disodorkan dengan alternatif  berkualitas super copy (KW). Bahasa kerennya imitasi. Tapi kita merasa nyaman saja. Entertainment Korea sama sekali tidak perlu melaksanakan akulturasi (penyesuaian) budaya ketika masuk Indonesia. Kita menjadi pelahap tanpa penyaring.

Parahnya lagi kita tak hanya menjadi penikmat. Tapi melaksanakan plagiat. Saat ini muncul boyband atau girlband beraliran Korea. Beberapa laki-laki pun harus rela jadi laki-laki metroseksual atas nama seni (estetika).  Mereka rela keluar masuk salon, facial demi sebuah sugesti; Kamu seolah-olah artis korea.

Meminjam istilah pasaran, sikap mencontoh pada budaya Korea sama dengan menyontek pada balasan yang salah. Tak heran kalau apresiasi seni sangat minim. Karena memang hiburan Korea secara budaya yang dipandang sebagai hasil cipta, kehendak (karsa) dan rasa belum dikategorikan memenui syarat. Kaprikornus kita tidak sedang mempraktikkan seni budaya, namun budaya ‘senewen.’

Sekarang kita pantas bertanya, adakah tanah air kita sedang diinvasi atau diagresi? Invasi sanggup dimaknai dengan acara berbondong-bondong memasuki suatu tempat atau memasuki tempat lain dengan niat menguasai wilayah tersebut. Sedangkan aksi dimaknai dengan penyerangan secara fisik maupun psikis(jiwa-mental). Jawabannya ada pada realitas masyarakat kita.

Ketika penggiat entertainment Korea menerapkan gaya Amerika dalam dunia hiburan, mereka menyempatkan diri untuk memadukan dengan latar Asia (tepatnya Korea). Namun kita selalu minder, tidak berani menampilkan unsur kedaerahan. Kita selalu menjadi bangsa yang pengekor. Bangsa yang cenderung lebih suka ‘mangat na meurasa tan,’ ketimbang mengolah dengan cita rasa sendiri.

Saat ini kita mulai bangga banyak tahu wacana Korea. Siapa, apa dan bagaimana sikap bangsa dan bahasa mereka. Makin hari, kenyataan masyarakat kita sebagai bangsa kelas dua semakin terbukti. Ternyata kita sendiri yang menciptakan bangsa ini inferior(merasa rendah). Beberapa orang yang sudah masuk tahap ekstrim malah tak hanya mengetaui, tapi mencintai. Naas.

Seharunya efek Korea di Indonesia bisa berbua manis. Ide-ide atraktif  harus lahir demi mewujudkan bangsa kita yang tidak low-entertaiment. Tanyangan televisi seharusnya bisa mewujudkan identitas kehidupan kita sehari hari dengan format yang maju, lazimnya drama Korea.

Berharap menjadi orang Korea

Sadar tidak sadar aneka budaya Korea diikuti muda-mudi. Seperti bubuk yang terbawa angin dari Korea kemudian hinggap di Indonesia dan menyebar  hingga melekat dikulit masyarakat kita. Lalu kita terhipnotis dan merasa sudah menjadi orang Korea dengan bubuk itu.

Adakah efek hiburan separah itu? Pertanyaan ini muncul sehabis kita melihat apa tujuan dibalik dunia hiburan. Apakah mereka hanya memperjuangkan sebua dagelan untuk sebuah tertawaan atau menampilkan kezaliman terhadap tokoh protogonis semoga mata kita lembab menangis. “Gop dikliek meureumpok peng, troh tanyo meureumpok male.”

Kalla, tidak sekali kali. Merujuk kepada sebuah kontradiksi kebudayaan, ada nilai-nilai ajaib yang ingin ditempuh dari setiap hiburan korporasi. Mereka tidak akan membuang uang begitu melimpah hanya untuk sebuah hiburan murni. Jika ada, maka sang sutradara benar benar miskin ide.

Sebagian tujuan drama dan aneka hiburan Korea bisa dikatakan sudah menemui hasil. Lihatlah, betapa banyak ketika ini muda-mudi yang berjalan diterik matahari sambil mengenakan syal. Itu hanya pola kecil. Betapa tontonan bersfat korea sukses meninggakan living ideology, yaitu sebua tatanan universal berlandaskan nilai sosial murni. Ini gres yang menggurita, belum lagi kalau kita melihat sikap satu persatu dewasa ‘gila’ Korea.

Hemat saya pribadi, tontonan Korea lazimnya sebuah tontonan berusaha membawa kita ke arah wishfull thinking, sebuah daya khayal alam bawah sadar yang merayap ke dalam state of mind. Masuk dan meracuni pikiran kita. Lalu kita berharap benar- benar menjadi orang Korea dan bersikap kekorea- koreaan. Buktinya banyak anak muda terobsesi untuk menjadi Lee Min Ho, Le Min Jung ketimbang menjadi Ampon Leman yang berwibawa.

Akhirnya, beruntunglah anda yang tidak terpengaruh dengan tontonan Korea, dan sungguh beruntung bagi anda yang tidak menontonnya sama sekali. Wallahu A’lam.


*Tulisan ini telah dimuat pada Buletin el-Asyi KMA Edisi 119
banner
Previous Post
Next Post