Oleh; Tarian Langit
Benar-benar tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tanggal satu bulan depan yaitu hari wisuda S2 ku.
Ternyata saya hampir tujuh tahun tinggal di negeri menara kembar. Jika dulu Aku tidak lulus sarjana dengan predikat istimewa, mungkin skenario hidupku tidak akan ibarat ini. Aku tak mungkin sanggup kuliah S2 di Universitas Malaysia dan tak akan selama ini Aku di negeri orang.
Malam itu begitu kelam, di luar apartemen terdengar bunyi Guntur terus mengganggu makhluk di bumi, angin bertiup tidak karuan, suasana begitu mencekam. Rintik-rintk hujan mulai membasahi bumi, sesekali kulirik keluar apartemen untuk memecahkan rasa gundah di hati ini.
Hatiku begitu risau. Aku teringat tanah air, juga calon istriku di Aceh sana. Hari ijab kabul kami semakin dekat. Namun, rasa-rasanya ingin saya menundanya. Karena jadwal ijab kabul kami begitu bersahabat dengan jadwal sidang masterku.
"Ya Allah tenangkanlah hati hambamu." Ucapku.
Tiba-tiba saja Aku ingin menelpon calon istriku di tanah air. Tanpa pikir panjang Aku eksklusif menelpon Aya.
"Halo… salamu'alaimum"
"Walaikumsalam...kok tumben telpon malam-malam begini bang?" Tanya Aya.
"Adek sehat? tak tau ini dek kakak risau kali malam ini.”
"Alhamdulillah adek sehat bang, kakak shalat sunnah gi semoga ilang rasa risaunya, kakak fukus wisuda saja dulu jangan risaukan kami yang di Aceh ya, kami baik-baik saja di sini". Jawabnya.
"Ya sudah jika begitu, adek jaga ibu ya. Insya Allah pertengahan bulan depan kakak pulang ke Aceh".
"Ya bang, ya sudah kakak jaga kesehatan ya. Salamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..." Jawabku.
Selesai Aku berbicara dengan Aya, hand phone ku berbunyi lagi. Kulihat layar hp-ku, ternyata dokter senior di rumah sakit Aku bertugas menelpon.
"Salamu'alaikum... apa hal pak, tak biase malam-malam?"
"Walaikumsalam...macam ni dokte Asyraf, esok pagi I am waiting Asyraf di daerah biasa. Kawan Asyraf, Razzak sudah bapak call juga, pasal ape esok kita bicarakan okay."
"Ya pak, Saya tiba esok Insya Allah."
"Sampai jumpa esok hari. Assalamu'alaikum..."
"Walaikumsalam..."
Keesokan harinya, Aku sengaja berangkat ke rumah sakit lebih awal dari pada hari-hari biasanya, ada kiprah yang harus Aku kerjakan sebelum bertemu dengan bapak Direktur rumah sakit di Café KL.
***
Ditemani alunan musik jaz ditambah dengan secangkir kopi hangat. Aku, Razak dan Pak Ismail mulai larut dalam suasana café di daerah Aku dan Razak menghilangkan penat selepas kerja.
"Macam ni nak Asyraf dan Razak," Pak Ismail memulai pembicaraan.
"Mengingat biadapnya perlakuan israel kepada rakyat Palestina, jadi rumah sakit kita menerima surat dari Lembaga Kemanusiaan Negeri Malaysia untuk mengirimkan relawan dokte bedah sebanyak 8 orang. Tapi Saya hanya ingin mengutuskan lima saje dari dokte kita untuk berangkat ke Palestina, termasuk Asyraf dan Razak." Jelas Pak Ismail.
"Macam mana Razak dan Asyraf, awak bedua boleh ikot sekali?" Tanya Pak Ismail lagi.
"Bagi kami waktu pak, esok hari kami buat keputusan, Sebab kite orang tak nak gegabah dalam tetapkan pekare yang pelek ini seorang-seorang", balas Razak.
"Baik-baik, saya faham. Saya tunggu tanggapan awak bedua. Tapi jujur saya katakan, saya sangat berharap kalian bersedia mendapatkan panggilan umat Islam yang tersiksa di Palestina", tutup Pak Ismail.
***
Palestina, 20 September 2010.
Sore ini tak ibarat hari-hari sebelumnya. Setelah sepuluh hari kelam ditemani alunan peluru, rudal dan bom. Tangis, jerit, darah, dan kehilangan orang yang dicinta, sekarang seolah menjadi hal yang biasa.
Teringat ketika pertama kali Aku injakkan kaki di tanah al- Quds ini, suasana aneh sangat mewarnai perasaanku. Semua terlihat gersang dan terasa sulit digambarkan.
Hari-hari Aku lalui dengan banyak sekali tantangan. Setiap harinya Aku harus menangani sepuluh hingga lima belas pasien korban kekejaman zionis. Tak kenal usia, bahkan kebanyakan korban dari kalangan anak-anak.
Pernah suatu malam ketika tubuhku terasa ibarat hilang rasa. Aku sangat ingin memejamkan mata sejenak untuk memulihkan stamina sesudah seharian penuh mengobati para korban.
Tapi, ketika Aku hampir terlelap, "Asyraf, Asyraf…", bunyi Razak membangunkanku.
Dia memintaku untuk membantunya membedah seorang pasien terkena ledakan bom di serpihan kaki kirinya. Sungguh nyawa tak berharga di sini.
Terkadang, ingin rasanya berdiri di depan sana, mengakhiri perang tak berprimanusiaan ini. Lelah rasanya Aku harus melihat mereka yang seharusnya bermain ceria dan berlari untuk menggapai impian tapi harus mencicipi pahitnya kehilangan. Setiap ketika dalam genangan air mata bercampur darah.
Sepertinya Aku, Razak juga dokter-dokter lain dari seluruh dunia sangat diperlukan di sini. Meskipun begitu, Aku berharap semoga semua yang kulakukan ini menjadi jihadku di jalan Allah. Seandainya simpulan hidup menjemputku, semoga matiku dalam keadaan syahid di jalan-Nya.
''Allahumma amin'' doaku dalam hati.
Tiba-tiba sekelebat banyangan dari atas lewat dan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri.
"Dhuuuuummmm…", bunyi ledakan membuyarkan lamunanku.
Samar-samar terlihat bayangan ibuku dan Aya tersenyum lebar kepadaku. Senyuman kali ini beda sekali. Kemudian semuanya menjadi putih.
***
''Razzak…'' lirihku.
Samar-samar terlihat seorang ibu duduk di sampingku, ia membaca Al-Quran. Kalau tak salah ibu dari anak yang kami operasi dengan Razzak. Di samping kiri berjejer kantong infus. Seperti mati rasa, Seluruh badanku terbalut perban dan tak sanggup digerakkan.
''Razzak…'' panggilku lagi.
Ibu itu menunjuk ke luar jendela. Sepertinya Razzak sedang sibuk mengobati pasien lain. Pandanganku semakin kabur. Perasaanku pun terasa aneh sekali.
''Qalam…'' kataku.
Ibu itu memandangku tak berkedip. Diambilnya secarik kertas dan pulpen. Dengan sekuat tenaga, kucoret kertas yang diberikan ibu itu.
''Razzak…'' kataku padanya.
Diambilnya kertas pemberianku. Mataku kembali berkunang-kunang, kepala berat, pulpen di tangan terjatuh.
Terlihat beberapa orang masuk ke kamar, mereka kukenal. Ada ibu, ayah, adikku Leha yang sudah meninggal, nenek dan yang terakhir Aya, Calon bidadariku. Mereka memegang tangan, dan menarikku berdiri membawa pulang kembali ke Aceh.
---Tamat---