Thursday, 6 February 2020

Menakar Ancaman Golput Dalam Islam


Oleh: Tgk. H. Muakhir Zakaria, MA.*

TIADA terasa, pemilu 2014 hanya tinggal beberapa ahad lagi. Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, perhelatan akbar demokrasi tahun ini juga “dihantui” oleh satu kekhawatiran paling signifikan, yaitu masih tingginya jumlah masyarakat yang tidak mau berpartisipasi sama sekali sebagai pemilih, atau yang sering dikenal dengan istilah golput (golongan putih).

Kekhawatiran ini tentu saja sangat beralasan. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Riset dan Polling Indonesia pada 15 November hingga 19 November tahun lalu, sebagaimana dilansir Antara, memprediksi bahwa jumlah golput pada pemilu 2014 ini melebihi 50 persen. Walau hasil survei ini tidak menggambarkan persentase yang bersama-sama pada pemilu bulan April nanti, namun tetap saja memberi indikasi besar lengan berkuasa bahwa jumlah masyarakat yang tidak mau memakai hak pilihnya masih sangat tinggi.

Pertanyaan yang muncul adalah, bolehkan kita menentukan untuk golput dan tidak berpartisipasi dalam pemilu? Seberapa besar mudharat yang ditimbulkan dari pilihan ini ditinjau dari nilai dan aliran Islam? Tulisan yang sederhana ini berupaya untuk mendiskusikan dua pertanyaan ini dalam koridor Alquran, hadis dan sejarah Islam.

Urgensi Memilih Pemimpin dalam Islam

Sebagai agama yang sempurna, Islam menempatkan keberadaan seorang pemimpin pada posisi sangat urgen dan wajib adanya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW memerintahkan tiga orang yang bepergian untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. Jika menentukan pemimpin hukumnya wajib dalam masalah bepergian, maka dalam konteks Indonesia yang lebih luas, dengan jumlah penduduknya yang mencapai lebih dua ratus juta jiwa, menentukan pemimpin tentu lebih wajib lagi.

Fakta sejarah Islam juga mengisyaratkan betapa kuatnya kesadaran para sobat terhadap pentingnya masalah kepemimpinan. Fakta ini sanggup kita pahami dari berkumpulnya para sobat dari golongan Anshar dan Muhajirin di sebuah daerah berjulukan Saqifah Bani Sa’idah, eksklusif sehabis mereka memastikan wafatnya Rasulullah SAW. Padahal, Rasulullah ketika itu belum dikuburkan.

Berangkat dari hadis dan fakta sejarah di atas, pemilu legislatif dan eksekutif, yang tidak lain ialah agenda lima tahunan untuk menentukan unsur-unsur pimpinan dan perwakilan umat Islam, wajib diikuti oleh setiap muslim yang telah mencukupi syarat. Kewajiban ini tidak semestinya diabaikan oleh seorang muslim, alasannya ialah pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam.

Berkaca Pada Sikap Abubakar dan Umar

Dalam kitab Tarikh Al-Khulafak, Imam Suyuthi menyebutkan bahwa ketika kaum Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat khalifah pengganti Rasulullah SAW, sampailah gosip tersebut ke pendengaran Umar bin Khattab. Umar kemudian eksklusif menyampaikan kepada Abubakar, “Wahai Abubakar, ikutlah bersama kami untuk berkumpul dengan saudara-saudara kita kaum Anshar.”

Mendengar undangan tersebut, Abubakar tidak lagi mengulur-ngulur waktu dan eksklusif menuju Saqifah, diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain. Di tengah jalan, keduanya bertemu dengan dua orang lain di tengah jalan. Kedua orang tersebut bertanya, “hendak kemana kalian wahai kaum muhajirin?” Umar menjawab, “Kami ingin ke daerah saudara-saudara kami kaum Anshar.” Kedua orang tersebut kemudian mengatakan, “janganlah kalian dekati mereka, urus saja urusan kalian sendiri.” Namun perkataan ini dijawab oleh Umar, “Demi Allah kami akan mendatangi mereka.”

Sebagai penerus panji-panji Islam sehabis Rasulullah Saw. wafat, Abubakar dan Umar wajib kita jadikan sebagai panutan, alasannya ialah Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin setelahku.”

Berpijak pada hadis ini, tidak semestinya seorang muslim golput, bersikap masa bodoh dan hirau tak hirau terhadap agenda pemilihan pemimpin, alasannya ialah perilaku tersebut sangat bertentangan dengan sunnah Abubakar dan Umar yang segera menuju Saqifah dan meninggalkan kegiatan-kegiatan lain biar sanggup berpartisipasi dan memperlihatkan suaranya dalam pemilihan khalifah pengganti Rasulullah SAW.

Pemilu Sebagai Kewajiban dan Amanah Sosial

Prof. Nashr Farid Washil, Mantan Mufti Mesir, menyebutkan bahwa Islam mewajibkan ummatnya untuk menunaikan segala bentuk amanah, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Annisak ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kau untuk memberikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” Salah satu amanah yang Allah bebankan kepada umat Islam ialah menentukan unsur-unsur pimpinan, baik legislatif, administrator maupun yudikatif, dalam koridor sistem syura dan demokrasi.

Oleh alasannya ialah itu, seseorang yang telah mencukupi syarat, sudah semestinya menjalankan amanah ini dan mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Orang yang tidak mau memakai hak pilihnya, berdasarkan beliau, akan berdosa secara agama, alasannya ialah dia tidak menunaikan amanah dan kewajibannya terhadap masyarakatnya.

Senada dengan itu, Prof. Abdurrahman Albar, seorang ulama hadis Universitas Al-Azhar, menyebutkan bahwa salah satu kewajiban seorang muslim yang hidup dalam sebuah masyarakat ialah memperlihatkan donasi positif dalam menuntaskan aneka macam masalah yang dihadapi masyarakat tersebut, sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh alasannya ialah itu, orang yang mendapatkan kesempatan untuk menentukan perwakilan umat Islam di legislatif atau administrator dihentikan menyiakan-nyiakan kesempatan tersebut.

Beliau juga menambahkan bahwa bila seorang muslim tidak ikut serta dalam pemilihan, maka ia tidak melaksanakan salah satu kewajiban sosial lainnya, yaitu menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Alasannya adalah, alasannya ialah orang tersebut membuka peluang bagi orang-orang yang jauh dari agama dan gemar melaksanakan kerusakan di muka bumi untuk terpilih sebagai salah satu unsur pemimpin masyarakat. Akibatnya, masyarakatlah yang nantinya akan menderita dengan ulah pemimpin yang menyerupai itu.

Kewajiban Mengenali Pemimpin

Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan bahwa kaum muslimin wajib mengenal pemimpinnya, baik nama, orangnya maupun sifat-sifatnya. Beliau kemudian mengutip pernyataan Sulaiman bin Jarir yang menegaskan bahwa kewajiban mengenal pemimpin menyerupai halnya kewajiban mengenal Allah dan Rasul-Nya.

Berdasarkan penegasan ini, kita dianjurkan untuk mempunyai pengetahuan mendalam terhadap sifat dan track record orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, biar kita sanggup menentukan orang yang paling tepat. Rasulullah SAW bersabda, "jika sesuatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah ketika kehancuran." Maka, bagaimana mungkin kita sanggup mengenal dan menemukan orang yang tepat untuk posisi legislatif dan administrator bila kita bersikap “masa bodoh” dengan identitas para kontestan pemilu dan malah tidak mau menentukan orang yang jujur dan amanah.

Walhasil, berdasarkan pemaparan di atas, golput dalam Islam ternyata mempunyai mudharat yang sangat besar, alasannya ialah pilihan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap beberapa prinsip penting dalam Islam.

Dengan demikian, seorang muslim yang tidak berpartisipasi dalam pemilu tanpa alasan yang terang telah melanggar kewajiban menentukan pemimpin, tidak menjalankan sunnah Abubakar dan Umar, tidak menunaikan amanah dan kewajiban sosial, dan tidak melaksanakan kewajiban mengenal pemimpin. Mudharat yang ditimbulkan pun tidak sanggup dikatakan kecil, alasannya ialah akan membuka peluang yang cukup besar bagi orang-orang yang nantinya akan merusak sendi-sendi kehidupan umat Islam dengan kezaliman mereka.Allah Musta'an.


*Penulis ialah guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee, Siem, Aceh Besar, goresan pena ini telah terbit di www.darulihsanabuhasan.com







banner
Previous Post
Next Post