Oleh; Azmi Abubakar*
Matahari sempurna berada di atas kepala, saat aku turun dari bus 80, depan mesjid Nurul Khattab, Nashr City. Panas masih menghujam kota Kairo padahal hari sudah ashar. Saya menyeberang jalan melewati gedung Al-Azhar Conference Center (ACC), tujuan aku ialah Pustaka Mahasiswa Indonesia yang terletak di Wisma Nusantara, tempat Rabea el- Adawiya, Masuk tempat Rabea dari mesjid Nurul Khattab menempuh perjalan satu kilo meter lebih.
Setelah melewati bangunan-bangunan elit tempat Wahran, hasilnya aku datang Wisma Nusantara, Di lantai lima sudah menunggu Kepala Pustaka Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK), Tgk Mukhlis Hasballah, dan rekan-rekan staf. “Ahlan, neupiyoh… Saya disambut dengan sangat bersahaja.
Silaturrahmi aku kali ini bukanlah untuk meminjam buku, namun untuk mencari tahu lebih detil seluk beluk Pustaka Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK) yang merupakan aset penting mahasiswa Indonesia di Mesir. PMIK telah menjadi acuan untuk menulis karya ilmiyah, tesis dan disertasi mahasiswa. Tercatat untuk periode 2012-2013 ini Kepala Pustaka dijabat oleh Tgk Mukhlis Hasballah, anggota Keluarga Mahasiwa Aceh (KMA) Mesir.
Pustaka ini berdiri atas inisiatif Persatuan pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kairo periode 1992-1993, sejak tahun 2002 pengelolaan pustaka telah berada dibawah Wisma Nusantara. Data yang aku peroleh bahwa Pustaka Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK) atau Maktabah At-Thalabah Al- Andunisiyyin bil Qahirah ini memiliki 6409 judul buku, dengan rincian 394 judul buku berbahasa Arab, 2096 judul buku berbahasa Indonesia dan 359 judul buku Berbahasa Inggris.
Saya melihat dalam dua tahun terakhir pelajar Aceh telah banyak memainkan tugas bersama-sama dengan pelajar Nusantara lainnya dalam mewarnai Pustaka Mahasiwa Indonesia Kairo. Secara tak langsung, ini telah mewarnai dinamika PMIK sendiri dengan staff dari latar belakang daerah yang berbeda. Selain itu, PMIK sebagai aset mahasiswa Indonesia di Kairo dituntut untuk membenahi bacaan –bacaan yang memperkuat khasanah nusantara. Literatur yang menyentuh dilema sosial, budaya dan politik lokal.
Dalam beberapa kali kunjungan, aku telah banyak mendapati literatur yang sarat dengan aneka macam khasanah lokal nusantara. Sekitar dua bulan lalu, buku-buku yang bertema kecehan juga telah ikut menambah koleksi Pustaka. Kita menyambut baik akan hal ini, artinya pembacaan khasanah lokal lewat tulisan telah merambah secara serius dalam tataran mahasiwa Indonesia di Kairo.
Diantara judul buku-buku kecehan dimaksud rata-rata diterbitkan oleh Bandar Publishing; Aceh dan Romantisme Politik; Mukhlisuddin Ilyas, Aceh di Mata Urang Sunda; Arif Ramdan, Teriakan Merdeka; Irwandi Zakaria. Tasawuf Aceh; Sehat Ihsan Shadiqin. Aceh Pungo; Taufik Mubarak, dan beberapa judul buku lainnya dari penerbit yang berbeda. Dalam lingkup , juga memiliki pustaka mini, namun meuligoe KMA sendiri terbilang kecil, sehingga untuk pengadaan pustaka secara serius masih belum sanggup dikerjakan secara maksimal.
Tak terasa sudah dua jam kami larut dalam dialog kepustakaan, sehabis menunaikan shalat magrib, aku pamit. Sang Kepala Pustaka dan beberapa rekan mengantarkan aku hingga ke anak tangga. Mereka melempar senyum ramah, senyum yang mengisyaratkan wacana pesan-pesan kemajuan pustaka Aceh kedepan. Pustaka Kairo menitipkan pesan wacana betapa pentingnya tanggung jawab keilmuwan, termasuk pembacaan khasanah lokal Nusantara yang harus dijaga dengan baik. Miliyun mabruk ya Vandem!
*Aktivis kajian Zawiyah KMA Mesir.